‘’Apakah kalian sanggup menulis tafsir al-Quran yang akan aku diktekan?” “Kira-kira seberapa banyak, ya Syekh?” “Tiga puluh ribu lembar?” “Oh, hingga usia kami habispun, mungkin ini tidak akan selesai.” Akhirnya, Imam ath-Thabari meringkas kitab tersebut hingga tersisa sepuluh persennya saja. Beliau mendiktekan kira-kira tiga ribu halaman kepada murid-muridnya.
Beberapa waktu setelah itu, beliau kembali bertanya kepada murid-muridnya. “Apakah kalian sanggup untuk aku diktekan sejarah umat manusia sejak Nabi Adam hingga sekarang?” “Kira-kira seberapa banyak, ya Syekh?” “Tiga puluh ribu lembar?” “Oh, hingga usia kami habispun, mungkin ini tidak akan selesai.” Mendengar jawaban yang sama dari murid-muridnya itu, kali ini Imam at-Thabari menjadi agak kesal. Seraya menyimpan kekecewaan yang sangat mendalam beliau bergumam, “Innâ lillâh, semangat dan kemauan benar-benar sudah mati!”
Kisah ini dituturkan oleh banyak sejarawan kondang, di antaranya adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm, Ibnu al-Jauzi dalam al-Muntazham, al-Khathîb al-Baghdadi dalam Târîkh Baghdâd, juga Ibnu Asakir dalam Târîkh Dimasyqâ.
Imam ath-Thabari hidup hampir sepanjang Abad Ketiga Hijriah hingga satu dekade dari Abad Keempat Hijriah. Beliau wafat pada tahun 310 H dalam usia 86 tahun. Sebenarnya, beliau hidup di masa-masa keemasan ilmu pengetahuan Islam, di mana umat Islam waktu itu masih dalam ketekunan yang luar biasa dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan maupun ilmu-ilmu yang lain. Namun demikian, Imam ath-Thabari tetap saja merasakan adanya pergeseran yang cukup parah mengenai kesungguhan generasi muda dalam menuntut ilmu agama, dibandingkan generasi sebelumnya.
Sejarah seringkali menjadi mata rantai yang turun temurun, hingga mencapai klimaksnya di suatu hari. Begitu pula semangat mengkaji dan mendalami pengetahuan agama terus mengalami penurunan dari satu generasi ke generasi yang lain. Hal itu merupakan buntut dari kecenderungan umat manusia yang semakin hari cenderung semakin kurang ‘respek’ terhadap agama. Maka, kajian agama pun kalah bergengsi dibandingkan kajian-kajian yang lain, semacam ilmu sosial dan sains.
Para pemerhati kajian agama kontemporer sebenarnya sudah berusaha mempermudah kajian keagamaan menjadi lebih sistematis, praktis, bahkan instan. Tidak hanya dalam bentuk kitab, tapi juga dalam bentuk media digital dan online.
Sayangnya, masalah yang sesungguhnya bukanlah terletak pada media dan sarana, melainkan pada kemauan dan kepedulian terhadap ilmu agama.
Kemudahan sarana kadangkala tidak berjalan seiring dengan kemauan dan kesungguhan. Dahulu kala, sebelum umat Islam mengenal produksi kertas, mereka aktif mencatat dalam lembaran daun, pelepah kurma, tulang-tulang ternak, juga batu-batuan. Syekh al-Bakri dalam I’ânatut-Thâlibîn menyebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pada masa kecilnya gemar mencatat apapun yang beliau dengar dari para ulama, di tulang belulang dan benda-benda lain, hingga catatan-catatan tersebut memenuhi sekian banyak tenda.
Oleh karena itu, umat Islam di generasi awal lebih mengandalkan hafalan, sebab sarana untuk menulis masih sangat sulit diperoleh. Nah, ketika umat Islam mulai menemukan cara membuat kertas, maka ‘euforia’ tulis-menulis menjadi tumpah, seperti bendungan yang baru terbuka. Berjuta-juta kitab ditulis oleh para ulama dalam berbagai macam tema di Abad Pertengahan lalu.
Sayangnya, di era modern, gairah itu tidak berlanjut. Tradisi penulisan kitab terus memudar bersamaan dengan semakin lesunya minat umat terhadap ilmu agama. Lebih-lebih pasca ulama muta’akhirîn seperti Syekh Zakariya al-Anshari, Imam as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitami, Taqiyuddin as-Subki, Abdul Wahhab asy-Sya’rani dan lain-lain.
Mengenai pudarnya kesungguhan, cerita al-Khatib al-Baghdadi dalam ar-Rahlah fi Thalabil-Hadîts bisa kita jadikan perbandingan. Suatu ketika Imam Hasan al-Bashri pergi dari Basrah ke Kufah untuk menemui shahabat Kaab bin Ajrah. Beliau mendengar riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah mengizinkan Kaab mencukur rambut saat ihram karena dipenuhi kutu. Kaab membayar tebusan untuk hal itu. Namun, Imam Hasan tidak mengetahui bentuk tebusannya.
“Apa denda yang engkau bayarkan ketika engkau terkena penyakit (kutu)?” “Seekor kambing,” kata Kaab bin Ajrah.
Bayangkan… Imam Hasan al-Bashri rela menempuh jarak hampir 300 mil Basrah-Kufah hanya untuk menanyakan suatu persoalan yang jawabannya sangat singkat: “Seekor kambing.” Nyaris tidak masuk akal. Dan, selain beliau, masih ada ribuan kisah yang menggambarkan betapa luar biasanya semangat orang-orang terdahulu untuk memperoleh ilmu pengetahuan agama. Militansi tersebut adalah buah dari keyakinan kuat bahwa setiap huruf dari ilmu agama akan menjadi sejengkal jalan menuju surga.
Bandingkan dengan masa kini, ketika semua sarana pengetahuan agama sudah tersaji dengan serba mudah, praktis dan gratis. Alih-alih mengkajinya dengan mendalam, kebanyakan dari kita justru acuh tak acuh dengan semuanya.
Baca juga: Membangunkan Nyali Hijrah
Kalaupun ada satu komunitas yang masih memiliki perhatian serius dan militansi terhadap hal ini maka mereka adalah orang-orang pesantren. Kaum santri memilki kemauan dan kemampuan untuk mengkaji ilmu pengetahuan keislaman secara komprehensif dari sumber aslinya, yaitu kitab kuning. Bahkan, mereka terbiasa membahas satu kalimat atau bahkan satu kata dalam kitab kuning hingga berjam-jam. Fakta itu menunjukkan ketelitian yang luar biasa dari mereka terhadap teks-teks keagamaan.
Di luar kalangan pesantren, sulit sekali ditemukan. Hal itu karena untuk bisa membaca kitab kuning diperlukan kemampuan gramatika dan bahasa Arab yang mumpuni. Sementara untuk memiliki kemampuan tersebut dibutuhkan kesungguhan, bahkan waktu yang cukup lama.
Syukurlah, di balik kabut tebal tersebut, muncul secercah fajar. Beberapa pesantren sudah menyelenggarakan pendidikan belajar cepat membaca kitab kuning dengan metode-metode tertentu. Dipelopori oleh Kiai Taufiqul Hakim Jepara dengan Metode Amtsilati, berikutnya muncullah metode-metode yang lain. Misalnya Metode Nubdzatul-Bayân dari Pesantren Bata-Bata Pamekasan, dan al-Miftâh lil Ulûm dari Pondok Pesantren Sidogiri.
Munculnya metode-metode tersebut melahirkan harapan baru untuk mengurangi angka ‘buta kitab’ dari umat Islam di Indonesia. Hal itu menjadi sangat penting lantaran kitab kuning merupakan kunci utama untuk bisa memahami Islam secara benar, lengkap dan tidak sepotong-potong.
Sebagaimana telah maklum, pemahaman yang sepotong-potong merupakan sumber lahirnya paham menyimpang yang radikal dan kontraproduktif bagi masa depan umat di masa-masa yang akan datang. “Terjadinya kekacauan di Timur Tengah saat ini, salah satunya, disebabkan karena gerakan keislaman di sana didominasi oleh orang-orang yang tidak mendalami kitab kuning.” Demikian pernyataan K.H. Najih Maimoen, Sarang Rembang, dalam halaqah bertajuk Antara Akidah dan Ukhuwah di Sidogiri beberapa tahun yang lalu.
Ahmad Dairobi/Sidogiri