Surga dan neraka tidak ditentukan oleh nasab. Sama sekali tidak semata-mata nasab penentunya. Dari Abu Hurairah, Nabi pernah bersabda, “Barang siapa yang lamban amalnya, maka nasabnya tidak bisa mengejarnya.” (Shahih Muslim no. 2699) Kesempatan menikmati kebahagiaan surga tidak bisa dibeli dengan hanya memiliki nasab yang dianggap terhormat. Kebebasan dari kesengsaraan neraka pun tidak bisa dibayar dengan hanya memiliki nasab yang diyakini tinggi.
Al-Imam An-Nawawi berkata, “Siapa saja yang amalnya kurang, maka kedudukan mulianya tidak bisa menolong dirinya. Oleh karenanya, jangan terlalu berharap dari nasab atau silsilah keturunan dan keutamaan nenek moyang, akhirnya sedikit dalam beramal.” (Syarh Shahih Muslim, 17/21).
Sekali lagi, surga atau neraka tergantung taqwa dan jumlah dosa. Hanya saja, nasab cukup berpengaruh pada kemungkinan. Kemungkinan masuk surga atau masuk neraka juga dipengaruhi faktor nasab. Di samping itu, nasab yang terhormat juga merupakan bagian tak terpisahkan dari risalah nubuwwah. Secara sederhana tanpa bermaksud menyederhanakan makna hadis tersebut yang sangat agung, Anda bisa menangkap, derajat kemuliaan bergantung kepada ketaqwaan, kemudian nasab, kemudian pemahaman terhadap Islam.
Tidak diragukan lagi, bahwa para Nabi yang mulia adalah manusia yang paling mulia nasab keturunannya. Sebagaimana mereka juga adalah manusia yang paling sempurna fisik dan akhlaknya. Sehingga, atas kehendak Allah Al-Akram, Dia tidak pernah menjadikan satu orang nabi dan rasul pun yang terlahir dari ayah dan ibu yang berasal dari keturunan yang hina. Allah Al-‘Alim jelas sudah tahu bahwa pada tabiatnya seluruh manusia selalu memperhitungkan strata nasab sebagai sebuah konsep kemuliaan yang sejatinya semu. Oleh karena itulah Allah Al-Majid mentaqdirkan seluruh nabi dan rasul hadir dari keturunan moyang-moyang bangsa yang mulia.
Dan konsep nasab menjadi konsep kemuliaan yang dipegangi setiap generasi pada setiap masanya Pemegang konsep nasab selalu mempertanyakan nasab sebagai dasar pijakan penghormatan dan kepercayaan. Sampai-sampai, terekam dalam sejarah Islam, Heraklius pernah bertanya kepada Abu Sufyan bin Harb tentang nasab keturunan Nabi SAW, “Bagaimana nasabnya di tengah-tengah kalian?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Di tengah-tengah kami, dia adalah orang yang mempunyai keturunan yang terhormat.” Lalu dia berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya, lalu engkau mengatakan bahwa dia adalah orang terhormat di tengah kalian. Memang demikianlah para Rasul, mereka diutus dengan nasab terhormat di tengah kaumnya.” (Shahih Al-Bukhari 1/42)
Tak hanya Rasulullah Muhammad SAW saja yang dimuliakan bangsa-bangsa di berbagai wilayah karena kemuliaan nasab beliau, nabi-nabi dan rasulrasul lainnya juga demikian. Di antara bukti-bukti akan hal tersebut dalam kisah-kisah para Nabi adalah perkataan kaum Syu’aib kepada Nabi Syu’aib, “Seandainya bukan karena (kedudukan) kaummu, niscaya kami telah melemparimu dengan batu.” (QS. Hud: 91) Dengan taqdir Allah Al-‘Azhim, Allah menjadikan Nabi Syu’aib terlahir dari keturunan yang mulia, untuk melindungi Nabi Syu’aib dari tindak kriminal kaum beliau yang menentang dan membangkang, karena Allah sudah tahu begitulah watak keji manusia pada umumnya, lebih-lebih yang tidak paham syariat Allah.
Begitu pula dengan perkataan kaum Nabi Shalih ketika mereka bersepakat untuk membunuh beliau, “Sungguh kita akan membunuhnya di waktu malam dengan keluarganya, kemudian kita akan mengatakan kepada walinya, ‘Kami tidak pernah menyaksikan kebinasaan keluarganya dan sungguh kami adalah kaum yang benar.” [QS. An-Naml: 49] Lagi-lagi, sosok seorang nabi terlindungi dari tindak zhalim karena memiliki modal nasab yang tinggi.
Sampai disimpulkan oleh Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya, dalam pembahasannya tentang tandatanda kenabian, bahwa salah satu tanda kenabian mereka juga adalah mereka berasal dari kalangan yang mempunyai keturunan terhormat di tengah kaum mereka.
Dengan demikian, hikmah yang patut kita genggam erat sepanjang hayat, kita harus menjaga kemuliaan dengan menjadi insan yang bertaqwa dan kita juga menitiskan ketaqwaan tersebut kepada anak-cucu kita melalui pendidikan dan doa. Insya Allah, secara otomatis, kita akan menjadi orang yang terpandang, dihormati dan bermartabat. Dan dalam perjalanannya, nasab kita akan dikenal sebagai nasab yang mulia, nasab kita akan diakui sebagai nasab yang dibanggakan sepanjang masa. Dengan nasab yang tinggi tersebut, maka keturunan kita akan memiliki kemudahan menjadi pembuka pintu kebaikan, menjadi pewaris risalah kenabian, penjaga keseimbangan semesta ciptaan, penyampai titah suci Allah Al-Ahad di muka bumi, sehingga surgalah tempat tinggal kita, dan neraka sama sekali jauh dari kita.[]
Penulis: Brilly El-Rasheed, S.Pd.
assalamualaikum kak.
kak mau tanya tentang urgensitas nasab yang lebih mendasar soalnya kurang mengerti sama yang di atas
terima kasih kak.
Waalaikumussalam War. Wab.
Terima kasih atas pertanyaannya.
Poin pentingnya adalah nasab saja tidak cukup. Kualitas seorang manusia tergantung kadar ketakwaan dia kepada Tuhannya. Meski begitu, kita tidak bisa menafikan pentingnya nasab. Sebagai bukti, Allah hanya mengutus para nabi dan rasul dari kalangan yang memiliki nasab mulia. Kita pun harus menghormati Ahlul-bayt karena nasab mereka yang bersambung ke Rasulullah saw.
Semoga jawaban ini membantu. 🙂
5