Terkait aksi pembakaran bendera HTI, -sebantar dulu, ada sisipan perspektif, masih terjadi polemik apakah itu bendera HTI atau bendera tauhid?- tindakan pembakaran tersebut menciptakan kegaduhan yang luar biasa.

Kita mulai dari bendera tauhid. Insyaallah semuanya sudah tahu, hadisnya juga jelas, warna background putih dan hitam dengan tulisan kalimat tauhid, lâ Ilâha illallah, atau disebut juga tahlil, adalah ar-râyah dan al-liwa Rasulullah. Jadi bendera itu milik umat Islam bersama, siapapun boleh memakainya. Di Indonesia bendera ini dipakai oleh ormas yang telah resmi dibubarkan pemerintah, HTI. Di sinilah polemik dimulai. Opini terbentuk. Tak bisa dipungkiri, bendera ini diidentikan dengan HTI. Siapa yang salah? HTI yang menggunakan lambang itu untuk kelompoknya, atau mereka yang mengidentikkan bahkan mematenkan lambang tersebut untuk HTI.

Bendera itu muncul di tengah perayaan Hari Santri 2018 lalu di Garut. Kabarnya panitia sudah melarang atribut apapun selain bendera merah putih. Banser sigap. Bendera warna hitam itu diamankan. Tapi cara mereka sepertinya kelewatan. Bendera dibakar di tengah keramaian. Diambil gambar dan video lalu diviralkan. Entah siapa yang memviralkan. Tapi yang mengambil gambar berseragam Banser. Terlihat mereka melakukannya dengan penuh kebanggaan. Merasa melakukan kebenaran. Entahlah, mungkin khilaf. Husnuzhan saja, hilangkan sû’uzhan, termasuk sû’uzhan HTI yang katanya menyusup untuk mencoreng.

Munculah kegaduhan. Akar masalahnya sama; perbedaan paradigma, apakah itu bendera HTI atau Tauhid? Terlepas dari polemik itu, toh meski itu bendera HTI sekalipun, membakarnya di tengah keramaian tetap dianggap aksi yang kelewatan.

Muncul hujatan di mana-mana. Kegaduhan makin tak terbendung. Markas Banser Jawa Tengah kedatangan banyak tamu tak diundang. Mereka membawa hitam-putih bendera tauhid. Pembelaan bermunculan. Ketum GP Ansor memberikan justifi kasi. Tindakan Banser Garut itu untuk menghormati kalimat tauhid. Meski itu bendera HTI, ada tulisan tauhid di dalamnya. Sama seperti al-Quran, jika berserakan juga anjurannya dibakar. Pembelaan yang sepertinya memaksakan. Banser terpojok.

Narasi dibangun. Anti bendera HTI berusaha diarahkan pada anti tauhid. Alergi bendera HTI, dianggap alergi tauhid. Logika ini cacat. Cenderung memaksakan. Sama memaksakannya seperti pembelaan ketum GP Ansor tadi. Bagaimana mungkin Banser anti tauhid? Sedangkan mereka tiap hari membacanya, utamanya ketika zikir bersama sehabis shalat. Bahkan tahlilan menjadi ciri khas amaliyah mereka sehari-hari. Amaliyah yang tidak dimiliki HTI malah.

Gejolak semakin menjadi-jadi. Gelombang tuntutan pembubaran Banser membesar melalui petisi. Tuntutan yang konyol dan cenderung memaksakan. Sama memaksakannya dengan logika anti tauhid tadi. Lebih terlihat seperti dentuman suara-suara iri, dari barisan sakit hati, tapi “hanya seperti” lho ya, tidak pasti. Belum terbukti. Bisa jadi dari suara-suara para pakar provokasi, yang tak ingin umat Islam bersinergi. Jadi hati-hati.

Sosial media ikut menambah speed viralnya kegaduhan ini. Tidak bisa dipungkiri kegaduhan ini berhasil menutupi isu-isu tranding nasional yang lain. Hoax freeport 51 %, skandal buku merah Kapolri, Meikarta, dan lain sebagainya. Tidak salah jika ada juga yang bersumsi; ini skenario pengalihan isu yang luar biasa. Entahlah.

Dari itu semua, mari merapat, hilangkan sekat, jangan mau diadudomba oleh orang-orang keparat. Mari isntropeksi diri, hilangkan ego diri, tidak merasa benar sendiri.

Alil Wafa/Sidogiri

Baca juga: NGAPUNTEN KIAI

Baca juga: Cinta Tanah Air, Belajar Dari Ulama

Spread the love