Lagi-lagi tentang cinta yang selalu menjadi humor meskipun si pecinta sedang sendiri, selalu menjadi cerita meskipun ia hanya berdua dengan hatinya. Seorang pecinta tak ubahnya seorang pemabuk yang tak bisa menggambarkan nikmatnya setiap teguk yang masuk ke dalam tubuhnya. Bedanya, seorang pemabuk masih bisa menguraikan kenikmatan ketika mabuk saat ia telah sadar seperti sedia kala.
Berbeda dengan seorang yang sedang dimabuk oleh cinta. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa mengumpamakan rasa itu pada siapapun jika belum pernah merasakannya sendiri.
Kisah percintaan Qais dan Laila misalnya. Sebuah kisah yang tak pernah usang untuk dibahas. Apa yang dialami oleh Qais semuanya adalah tentang Laila. Segala sesuatu seakan tidak berarti apa-apa baginya meskipun itu adalah dirinya sendiri. Yang ada hanya Laila dan segala sesuatu tentangnya.
“Hai, Qais! Apakah Laila itu yang membuatmu segila ini, sehingga hari-harimu hanya diisi dengan bersenandung dan menyebut namanya? Padahal, dia hanya perempuan biasa yang tak ubahnya perempuan pada umumnya,” tanya seorang pria yang setiap hari menyakasikan kegilaannya.
“Ambil bola mataku, lalu letakkanlah di matamu. Lihatlah dia dengan bola mataku ini maka kamu akan tahu jawabannya,” timpal Qais pada lelaki itu.
Qais sadar seperti apapun ia menguraikan tentang kecintaannya kepada Laila tidak akan pernah mewakili sedikitpun isi hatinya. Sungguh dahsyat kekuatan cinta Qais kepada Laila hingga seakan dia hanya bisa melihat Laila dan menjadi buta kepada selainnya, menjadi mayat karena cintanya. Sungguh benar orang yang tadi mengatakan bahwa Laila adalah wanita biasa, seorang makhluk yang kekurangannya merupakan sifat alamiyah dalam dirinya. Lalu apa jadinya jika ia mencintai Yang Maha Sempurna, mencintai Dia yang menciptakan Qais dan Laila dan mati karena kecintaannya pada-Nya.
Ulama mencontohkan gelar Syahîd al-Akhirah dapat diperoleh oleh seorang yang mati disebabkan luhurnya sebuah cinta pada sang kekasih. Lalu gelar apa yang pantas bagi seorang yang mati karena mencintai Penciptanya tanpa mengharap balasan apa-apa meskipun itu surga.
Banyak orang yang pandai mengaku telah mencintai Allah dan Rasul-Nya tetapi hakikatnya ia adalah hamba yang durhaka. Jangan pernah tertipu dengan hal yang demikian ini. sebab setiap cinta pasti memiliki sebuah tanda dan isyarat yang muncul dari hati lalu nampak pada setiap perbuatannya. Di antara tanda-tanda tersebut sebagaimana berikut.
Pertama, seorang pecinta akan melakukan segala cara untuk bisa melihat dan bertemu dengan sang kekasih di manapun itu. Sebab tidak ada seorang pecinta pun kecuali dia pasti menginginkan hal itu. Jika seseorang telah bisa mencintai Tuhannya dengan baik pasti dia akan berusaha untuk bisa bertemu dengan-Nya meskipun kematian adalah sarana untuk ia bisa sampai kepada tujuannya itu.
Kedua, akan selalu mendahulukan apa-apa yang disenangi oleh orang yang ia cintai. Kemudian akan memenuhi dan taat pada apa saja yang ia perintahkan. Maka sangatlah mengherankan jika ada seorang yang mengaku sebagai seorang pecinta tetapi menghianati kecintaan sang kekasih. Seorang yang mencintai Tuhannya tidak akan dia durhaka padanya.
Ketiga, namanya akan selalu ia sebut di manapun ia berada. Dengan mudah kita dapat mengetahui siapa yang sedang dicintai oleh seseorang hanya dengan sekedar mendengarkan obyek yang selalu ia ceritakan dalam kalimat per kalimatnya.
Melalui uraian di atas dapat kita pahami bahwa ungkapan cinta yang sering kita senandungkan lebih banyak mengundang kedustaan yang kita olah tanpa rasa malu kepada Dzat yang lebih dulu mencintai kita.
Baca juga: Beginilah Hubbul Wathan
Bahkan tidak sedikit orang yang sudah berhasil mencintai-Nya telah tertipu dengan cintanya sendiri. Ia merasa telah berhasil mencintai-Nya tetapi sesungguhnya kecintaannya pun adalah sebuah makhluk yang telah diciptakan oleh Dzat Maha Cinta untuk dirinya. Bukan hanya kebanggaan yang harus ditonjolkan sebab telah berhasil sampai pada hakikat cinta tetapi juga yang lebih penting dari itu adalah rasa syukur yang telah Allah persembahkan kepadanya. Tanpa pertolongan-Nya apalah kita.
Sanusi Baisuni