لَا تَفرَحكَ الطَاعَةُ لَأنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ، وَافْرَحْ بِهاَ لِأنَّهَا بَرَزَتْ مِنْ اللهِ إِلَيْكَ، قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا، هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Janganlah engkau bahagia karena merasa telah berbuat taat. Tapi bahagialah karena Allah telah menolongmu menunaikan ketaatan.”
Setiap capaian manusia di dalam beragam hal, pasti akan membuat bahagia. Setidaknya itu apresiasi paling mudah diungkapkan; berbahagia. Meskipun terkadang capaian itu terlihat kecil di mata orang lain yang melihatnya.
Maka begitulah perasaan seorang hamba ketika bisa menunaikan ibadah sesuai perintah. Seketika rasa bahagia akan menjalar merasuk ke dalam jiwa. Hal itu sangat wajar dan dapat dimaklumi.
Hanya saja, sebagai hamba yang ingin terus menggapai kebaikan, perlu kiranya kita mengetahui bahwa kebahagiaan itu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Inilah penekanan bahasan yang disampaikan Syekh Ibnu Athaillah dalam kalam hikmahnya kali ini.
“Janganlah engkau bahagia karena merasa telah berbuat taat. Tapi bahagialah karena Allah telah menolongmu menunaikan ketaatan.”
Dari Kalam hikmah ini, dapat diketahui bahwa kebahagiaan seorang hamba yang taat kepada Allah dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, hamba yang bahagia karena merasa dirinya telah mampu berbuat ketaatan. Dengan kemauan, kemampuan, dan kekuatannya sendiri. Serta bangga mendaku semua ketaatan yang diperbuatnya. Ini adalah kebahagiaan yang tercela. Bisa menjerumuskan pelakunya pada sifat ujub, sombong, riya’ dan jauh dari rahmat Allah.
Baca Juga: Satu Warid Tiga Anugerah
Ini berbeda dengan kelompok hamba kedua. Yang ketika melakukan ketaatan, mereka juga berbahagia. Namun motivasi terbesar kebahagiaan mereka adalah rasa syukur kepada Allah yang telah memberi pertolongan untuk melakukan ketaatan. Diberi sehat dan sempat. Diberi kuat dan selamat. Sehingga ketaatan itu sempurna dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan. Maka tiada daya dan upaya melainkan milik Allah semata.
Maka jelas kebahagiaan yang kedua ini akan mempertajam rasa, bahwa dirinya sangat kecil dan hina di hadapan Allah. Allah yang telah menciptakannya, serta semua apa yang dikerjakan. Maka ketaatan ibadah mana yang bisa dikerjakan tanpa izin dan pertolongan dari Allah?
Perasaan demikian yang akan memompa semangat bersyukur kepada Allah. Tidak akan mudah membanggakan diri sendiri. Serta mendapatkan pahala yang berlipat-lipat dari Allah. Pahala ketaatannya. Pahala kebahagiaannya. Lalu pahala syukurnya. Demikianlah Allah melimpahkan anugerahnya kepada tiap-tiap hamba yang dikehendaki.
Demikian sebaliknya, bila kebahagiaannya karena merasa dirinya mampu beribadah dengan baik. Kemudian dia lalai akan kekuasaan Allah. Maka bukankah dia telah menyekutukan Allah dengan dirinya sendiri? Lalu dosa apa yang lebih besar dibanding menduakan Allah dengan makhluknya?
Bagaimana mungkin dia bisa bahagia karena dirinya telah mampu bersujud kepada Allah. Padahal jika Allah menghendaki, sangat mudah bagi Allah untuk membuatnya berpaling pada kemaksiatan. Atau ibadahnya tak sempat terlaksana karena musibah. Atau bahkan ibadahnya sudah terlaksana, tapi Allah sertakan di dalamnya sifat riya’ dan sombong. Sangat mudah bagi Allah untuk melakukan semua itu. Lalu bagaimana mungkin dia bahagia dengan ibadahnya sendiri? Merasa telah mampu melakukannya sendiri? Inilah hamba yang celaka di dalam berbuat kebaikan. Sungguh nauzubillah.
Selanjutnya, perhatikanlah efek yang akan terjadi ketika dua kebahagiaan itu terus-menerus dinikmati. Perhatikan pula perbedaan mencolok dari keduanya.
Ketika kebahagiaan yang pertama -dan itu dicela- dibiarkan bersemai, maka kekuatan dan kekuasaan Allah akan terus tertutupi dari mata hati kita. Kita mulai terbiasa merasa ‘bisa’ tanpa Allah. Semakin lama semakin terbiasa untuk tidak melihat anugerah Allah. Semakin jauh dari kata syukur. Dan pada akhirnya, sifat riya’ dan menyombongkan diri di hadapan sesama manusia akan menjalar. Lalu akalnya akan berfikir bahwa dirinya sudah pantas mendapatkan surga berbekal segala amal ibadahnya. Dan bila sudah kronis, maka ibadah yang selama ini dijalani akan dihentikan. “Bukankah amal ibadahku selama ini sudah banyak?” Boleh jadi pikirannya akan berkata sedemikian rupa.
Baca Juga: Agar Lebih Dekat Dengan Allah
Maka tanpa disadari, kita telah terlalu lancang untuk menghitung amal ibadah yang kita lakukan. Kemudian dengan congkaknya merasa ibadah kita sudah bagus dan cukup. Bukankah kita adalah makhluk dan Allah adalah Tuhan? Lalu siapakah sebenarnya yang paling pantas menghitung amal makhluk dan memberikan sebuah kesimpulan? Bukankah sikap yang demikian telah melampaui batas ketentuan kita sebagai makhluk? Demikianlah tipu daya setan yang sangat halus dan mulus. Bahkan ketercelaan itu dibingkai sedemikian rupa sehingga terlihat sebagai kebaikan.
Adapun ketika kebahagiaan itu hadir berlandaskan pertolongan Allah. Membuat akal, hati dan seluruh tubuhnya bisa mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan. Maka hamba itu akan merasa semakin tidak berdaya di hadapan Allah. Dia akan bersyukur telah ditolong melaksanakan shalat. Bersyukur bisa menunaikan puasa dan haji. Lalu tiba-tiba sadar, bahwa Allah telah memberi pertolongan selanjutnya. Berupa kesadaran jiwa dan hati sehingga muncul kalimat syukur. Alhamdulillah…
Lalu syukur yang pertama itu kembali disyukuri. Lalu tiba-tiba sadar, bahwa Allah telah memberi pertolongan selanjutnya. Berupa kesadaran jiwa dan hati sehingga muncul kalimat syukur yang kedua. Lalu syukur yang kedua itu kembali disyukuri. Alhamdulillah…
Begitu seterusnya hingga tidak ada waktu lagi untuk memikirkan selain-Nya. Satu ibadah yang telah dia laksanakan, pada hakikatnya telah membuat dia senantiasa beribadah kepada Allah di masa-masa selanjutnya. Terus menerus tanpa henti. Begitulah anugerah Allah diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Lalu hamba yang telah mendapatkan makrifah dengan pertolongan Allah ini tidak akan sekali-kali merendahkan manusia lainnya. Sebejat apapun orang yang dilihatnya. Sekeji apapun orang yang ditemuinya. Dia tidak akan merasa lebih baik dari pada mereka. Karena hatinya tahu dengan sebenar-benarnya, bahwa kebaikan yang dilakukannya selama ini boleh jadi ditolak oleh Allah. Dan seandainya diterima, maka semua itu adalah anugerah Allah.
Sebaliknya, mereka yang sedang bermaksiat, boleh jadi semua yang mereka lakukan diampuni oleh Allah. Lalu dia bertaubat dengan sebaik-baiknya taubat. Lalu menjadi manusia pilihan yang akan menghuni surga-Nya. Semua hal bisa saja terjadi. Sehingga tidak ada waktu bagi dirinya untuk membanggakan diri dibanding orang lain. Karena pada hikakatnya semua sama. Sama-sama dari Allah. Sama-sama atas kehendak dan takdir Allah. Wallahu a’lam.