Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistem politik Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syariat Islam.
Jadi, kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktivitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan syariat dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan makmur.
Ada dua tugas pokok yang harus dipenuhi pemerintah pada rakyatnya. Pertama, memberikan kesejahteraan secara merata dan adil kepada rakyat. Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa diskriminasi.
Bila dua hal tersebut diabaikan oleh pemerintah maka chaos dan kezaliman akan merajalela, oleh karena itu wajib bagi ulama lainnya untuk meluruskan pemerintah bila terindikasi melenceng dari tugas mereka dengan cara menasehati ataupun kritik yang membangun disertai etika yang baik.
Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh diabaikan, sebab pemimpin tidak sama dengan rakyat umumnya. Jika menasehati kaum Muslimin, secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasehati para pemimpin lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.
Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda, ”Barangsiapa yang ingin menasehati pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasehatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasehat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad].
Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang perorang. Seharusnya, menasehati para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat privat, sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid ketika menasehati Utsman bin Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau medsos.
Ada juga cara lain untuk menasehati pemerintah, yaitu dengan membuatkan karya khusus yang dihadiahkan kepada pemerintah, dan itulah yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali kepada Sultan Malik Syah dari Dinasti Saljuk.
Nasehat Al-Ghazali ditulis dalam sebuah karya kitab yang berjudul At-Tibrul Masbuk fi Nasihatil Muluk (Serpihan emas yang dilebur: Nasehat untuk para penguasa). Kitab ini diyakini sebagai karya terakhir Imam Al-Ghazali, beliau menulis karya ini di pengujung usianya. Dengan bahasa Persia yang elegan Al-Ghazali mempersembahkan kitab ini untuk Sultan Malik Syah bin Alp Arslan yang menjabat sebagai Sultan Dinasti Saljuk. Setelah Al-Ghazali wafat kitab ini diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Safiyuddin Ali bin Mubarak Al-Irbili, salah satu murid Al-Ghazali atas perintah Atabig, Gubernur Mosul.
Dalam kitab ini Imam Al-Ghazali menjabarkan tiga hal pokok yang harus dilakukan oleh para pemimpin. Yang pertama, pemimpin harus mempelajari akidah yang benar, dengan akidah yang benar dia benar-benar menjadi khalifatullah di muka bumi.
Yang kedua, harus berlaku adil pada rakyatnya, karena dengan keadilanlah kesejahtraan rakyat akan tercapai, dan kejahatan akan menurun.
Yang ketiga, yaitu hal-hal yang harus dihindari oleh pemimpin, hal-hal yang kontraproduktif dengan keadilan seperti zalim, takabbur, tak mau mendengarkan keluhan rakyat dan lain sebagainya.
Dan yang menarik, di akhir kitab beliau secara spesifik menulis bab tentang wanita, kenapa harus wanita? Ya karena yang bisa mempengaruhi pemimpin dalam kemajuan dan kehancuran sebuah negara adalah wanita.
Fauzan Imron/sidogiri