Dalam perdagangan, kecurangan memang tidak ada habisnya. Karena itu, syariah memberi batasan dalam transaksi apa pun, untuk menjaga dua pihak yang bertransaksi terjamin, tidak mengalami kerugian. Barang yang dijual (mabi’) dan alat tukar (tsaman) dalam akad jual beli, diberlakukan beberapa syarat, sehingga tidak ada yang dirugikan bagi penjual (ba’i) atau pembeli (musytari).
Salah satu kasus yang sering didengar adalah terkait beras oplosan. Kejadian ini tak dapat dihindari. Sebab, Beras adalah komoditas penting di Indonesia karena negara ini memiliki konsumen beras per kapita terbesar di dunia. Sebagai komoditas penting, perdagangan beras memiliki nilai omset tinggi, sehingga seiring kebutuhan masyarakat yang meningkat dengan ragam jenis beras di pasaran, tidak jarang ada pedagang yang mengoplos beras, beras kualitas tinggi, dicampur dengan yang sedang atau rendah.
Tentunya, beragam praktik yang digunakan dalam pengoplosan beras. Namun, yang umum pengoplosan dilakuan dengan cara mencampur beras berkualitas tinggi, dengan beras kualitas sedang atau bahkan rendah. Pencampurannya, tergantung kadar yang diinginkan.
Motif pengoplosan ini, selain keuntungan yang besar, juga terkait dengan pola konsumen. Kebanyakan konsumen menginginkan beras yang cukup bagus dengan harga murah. Keinginan pasar seperti ini, akhirnya penjual melakukan pencampuran beras dengan kualitas yang berbeda agar harga bisa dijangkau oleh konsumen.
Tentu saja, banyak ragam praktik yang dilakukan oleh penjual, termasuk di dalamnya penjual sudah memisah dua beras berkualitas dengan harga yang berbeda. Akan tetapi, pembeli menginginkan agar kedua beras dioplos, dengan menawar harga. Namun, pembahasan ini hanya menyangkut, bagaimana hukum menjual beras oplosan antara beras berkualitas dengan di bawahnya.
Beras dimaksud di sini berarti mabi’ barang yang dijual. Dalam fikih, syarat dari mabi’ selain bermanfaat juga disyaratkan harus diketahui kadar timbangan dan kualitasya. Untuk itu, disyaratkan bagi penjual dan pembeli mengetahui barang yang ditransaksikan. Hal itu untuk menghindari gharar atau penipuan yang dilarang oleh syariah, yang tentunya juga merugikan pembeli.
Landasan dari ketentuan ini, sebuah hadis riwayat Imam Muslim:
من غشنا فليس منا
“Orang yang menipu kita, bukan bagian dari kita.” (H.R. Imam Muslim) Dalam riwayat Imam Thabrani juga disebutkan:
من غشنا فليس منا، والمكر والخداع في النار
“Orang yang yang menipu, bukan bagian dari kita, perbuatan makar dan tipu daya masuk neraka.” (H.R. Thabrani)
Baca Juga: Hukum Makanan Mengandung Alkohol
Jika beras kualitas bagus dioplos dengan kualitas di bawahnya, kemudian saat penjualan dijelaskan oleh penjual dan pembeli tahu beras yang akan dibeli adalah oplosan. Pembeli tahu kadar prosentasenya dengan cara mengamati, melihat, memegang atau memperkirakan, misalnya. Artinya, pembeli tahu kondisi mabi’, atau penjual menjelaskan “Beginilah berasnya, per kilo harganya sekian”.
Untuk hal ini, berarti pembeli memang ingin membeli beras tersebut, apa adanya, sesuai dengan yang ia lihat. Jika kemudian berlanjut pada transaksi, jual beli dihukumi sah dan tidak haram. Tentu saja, jika tidak ada unsur lain yang bisa membatalkan pada akad.
Jika kemudian, pembeli tidak tahu beras yang dibelinya adalah oplosan dan ia bermaksud membeli beras berkualitas tinggi. Kadar oplosan beras yang di bawahnya juga tidak diketahui kadarnya, padahal yang dia maksud adalah beras kualitas tinggi. Akhirnya, pembeli tertipu dengan barang yang ia beli. Penjualan semacam ini hukumnya haram, karena ada unsur penipuan.
Pembeli dirugikan dengan transaksi ini. Terkait dengan hal ini, dalam kitab Bughiyah al-Mustarsyidin: 126 disebutkan redaksi demikian.
)مسئلة ب) يحرم بيع التنباك –إلى أن قال—ويجوز خلط الردئ بالطعام الجيد، إن كان ظاهرا يعلمه المشتري وليس ذلك من الغش المحرم، وإن كان الأولى إجتنابه إذ ظابط الغش إن يعلم ذو السلعة فيها شيئا لو اطلع عليه مريدها لم يأخذها بذلك المقابل، فيجب إعلامه حينئذ
“Boleh mencampur barang kualitas rendah dengan makanan kualitas super, jika secara lahir pembeli tahu kondisi tersebut, dan hal itu bukan bagian dari kecurangan yang diharamkan, meski sebaiknya hal itu dihindari, sebab batasan tindak kecurangan (ghasy) jika pemilik barang tahu di dalamnya ada sesuatu yang jika ada orang ingin memanfaatkan barang tersebut tahu, ia tidak akan memakainya. Oleh karenanya, wajib bagi pemilik barang untuk memberitahu terkait dengan kondisi tersebut.”
Baca Juga: Serambi Masjid Dalam Kaitan Orang Haid
Setidaknya, dari ibarat ini bisa digambarkan bagaimana hukum menjual barang yang dioplos beda kualitas; kualitas super dioplos dengan kualitas di bawahnya. Ketentuannya, jika pembeli tahu secara lahir atas kualitas barang yang ia beli, kemudian terjadi transaksi, praktik demikian bukan bagian dari penipuan yang diharamkan. Meski hal tersebut sebaiknya dihindari.
Jika di dalamnya ada unsur penipuan, pembeli tidak tahu bahwa barang yang ia beli adalah oplosan dan ia menginginkan yang kualitas super, penjualan demikian tergolong penipuan. Penjual mestinya menjelaskan kondisi barang yang dijual, dan itu berhukum wajib. Jika tidak dijelaskan, maka hukumnya haram.
Dengan demikian, jual beli beras oplosan tidak sepenuhnya haram juga tidak sepenuhnya boleh. Tergantung dari penjual dan pembeli. Jika penjual menjelaskan kondisi barang, dengan menyebut, misalnya, “Inilah berasnya dengan harga sekian perkilo” dan pembeli mau, maka hukumnya boleh. Atau pembeli memang sudah tahu kondisi berasnya seperti apa.
Jika memang pembeli menginginkan beras kualitas super dan penjual tidak menjelaskan bahwa beras yang ia jual telah dioplos dengan kualitas di bawahnya, apalagi dengan bumbu kata-kata menarik dengan menjamin kesuperannya, jelas penjualan demikian hukumnya haram. Pembeli tertipu dengan transaksi tersebut.
Meski demikian, pengoplosan beras kualitas super, dengan kualitas di bawahnya, dengan kata lain beda kualitas, sebaiknya dihindari, sebagaimana disampaikan oleh asy-Sayid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar dalam kitab Bughiyatul-Mustarsyidin di atas. Wallahu a’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri