Dalam kitab Al-Isyarah fi Ilmil-Kalam karya Imam Fakhruddin Abi Abdillah Muhammad bin Umar Ar-Razi dijelaskan bahwa sepanjang sejarah Islam ilmu kalam merupakan paling utamanya ilmu. Hal itu didasari karena ilmu kalam adalah bagian dari ilmu akidah Islam. Beliau juga menambahkan bahwa kesalahan dalam memahami ilmu kalam dapat dihukumi kafir. Dewasa ini, banyak kita mendengar paradigma yang memepermasalahkan ilmu kalam, sehingga mereka tidak mau menggunakan ilmu tersebut. Hal ini disebabkan mereka menyamakannya dengan ilmu filsafat Yunani yang memang banyak ditolak oleh agamawan. Hingga dengan demikian, merekapun menolak ilmu kalam. Padahal, apabila kita membicarakan pemahaman Ahlusunah wal Jamaah, maka tidak akan lepas dengan pembahasan ilmu kalam. Kenyataan ini merupakan riwayat kelam ilmu kalam sepanjang sejarah, karena mulai pudarnya kepercayaan umat terhadap ilmu kalam sebab salah pemahaman.

Dalam kitab yang sama, Ar-Razi menjelaskan beberapa istilah yang disematkan terhadap ilmu kalam. Di antaranya adalah ilmu kalam yang disebut sebagai ilmu Ushuluddin, karena keberadaannya merupakan pembahasan pokok dalam agama. Sedangkan Imam Abu Hanifah mengistilahkan ilmu kalam dengan Al-Fiqh al-Akbar sedangkan hal-hal yang membahas tentang ilmu syariat, seperti shalat, puasa, haji dan muamalah diistilahkan dengan Al-Fiqh al-Ashghar. Adapun ulama lain mengistilahkannya dengan ilmu nadzar dan istidlal, karena pembahasannya tidak lepas dari dalil al-Quran dan Hadis.

Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya Al-Madzahib At-Tauhidiyyah wal-Falsafat Al-Mu’asirah berkomentar bahwa definisi yang paling bagus terkait ilmu kalam adalah penjelasan yang dikutip dari Imam Ibnu Khaldun, yaitu ilmu yang mampu menguatkan keyakinan dalam agama dengan berdasarkan dalil, serta menolak terhadap paham ahli bidah yang menyimpang dari keyakinan Ahlusunah wal-Jamaah. Penjelasan tersebut sama dengan pendefinisian ilmu tauhid secarta syara’. Oleh karena itu semua hal yang terkait dengan ilmu tauhid, juga masuk pada komponen ilmu kalam. Di antaranya adalah buah dari mempelajari ilmu tauhid, yaitu makrifat kepada Allah dengan beberapa dalil qath’i, meyakini akidah yang haq, membersihkan dari kekafiran dan mencapai kebahagiaan abadi di akhirat.

Baca Juga: Buku Yang Kaya Falsafah Ilmu

Imam Nukman bin Tsabit al-Kufi atau yang dikenal dengan Imam Abu Hanifah dalam kitabnya Syarhu-Kitabil-Fiqh al-Akbar menjelaskan bahwa ilmu tauhid (kalam) adalah pondasi utama bagi setiap ilmu. Dengan syarat tidak keluar dari batasan al-Quran, Hadis dan Ijmak ulama. Berbeda dengan kelompok yang meyakini bahwa ilmu kalam hanya berlandaskan dari akal manusia tanpa mengambil penjelasan syariatnya. Hal demikian jelas bertentangan dengan tujuan dan maksud dari ilmu kalam itu sendiri.

Dalam buku Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlusunah wal Jamaah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi dijelaskan beberapa perbedaan antara ilmu kalam dan ilmu filsafat. Pertama, Dari segi metodologi (manhaj), karekter penelitian, objek dan tujuan. Pertama, dari segi metodologi. Para filosof membicarakan eksistensi Allah, para malaikat dan lain-lainnya hanya berlandaskan pada pemikiran dan rasio. Mereka menjadikan akal sebagai pokok bagi keyakinan tanpa mempertimbangkan prisip-prinsip yang dibawa oleh para Nabi. Demikian ini berbeda dengan ulama tauhid atau ahli ilmu kalam yang membicarakan hal-hal tersebut dalam konteks menjadikan akal sebagai satu-satunya perangkat untuk membuktikan kebenaran ajaran yang datang dari Allah dan ajaran yang dibawa oleh para nabi. Menurut ulama tauhid, akal adalah sarana yang dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajaran agama, bukan sebagai fondasi atau titik tolak bagi keyakinan dalam beragama.

Baca Juga: Konteks Penolakan Imam Syafi’i Terhadap Ilmu Kalam

Kedua, dari segi objek (maudhu’). Kalau kita amati objek yang menjadi materi kajian ilmu tauhid atau ilmu kalam adalah meliputi akidah-akidah yang diterima oleh syariah. Dalam pandangan ahli kalam, ajaran-ajaran yang diterima dari syariah itu dianggap sebagai sesuatu yang menjadi titik permulaan kajiannya. Sedangkan para filosof, tidak memulai kajiannya dari hal-hal aksioma, karena dalam asumsi mereka kebenaran itu masih misterius dan belum diketahui secara pasti. Kerenanya para filosof membuat perangkat-perangkat rasional untuk menelusuri dan mencari kebenaran dan tempat kebenaran tersebut berada. Hal ini berbeda dengan seorang ahli ilmu kalam. Ia membuat perangkat yang sama untuk membuktikan kebenaran prinsip yang telah ada padanya yaitu akidah-akidah yang dibawa oleh agama.

Ketiga, dari segi tujuan. Bila kita perhatikan tujuan bidang studi ilmu kalam, akan kita dapati bahwa seorang ilmu kalam memiliki tujuan yang konkrit, yaitu bertujuan memperkokoh dan memperkuat akidah yang menjadi keyakinan dalam agama. Hal ini berbeda dengan para filosof yang memiliki tujuan yang masih belum jelas, yaitu mencari kebenaran seperti apa pun bentuknya. Perbedaan antara kedua tujuan ini jelas sekali.

Setelah memahami definisi dan perbedaan antara ilmu kalam dan filsafat Islam, maka kita sebagai paham Ahlussunnah wal-Jamaah tidak sepantasnya menolak ilmu kalam. Sebaliknya, dengan memahami ilmu kalam seharusnya menambah pengetahuan kita terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan serta menambah keimanan, sehingga lebih memantapkan diri dalam beribadah kepada Allah. Perlu kita ketahui pula, bahwa ketika setan hendak menjerumuskan iman seseorang maka dengan cara mengerubungi akidahnya. Oleh karena itu, orang yang menolak ilmu kalam maka akidahnya dianggap lemah. Jika akidahnya dianggap lemah, maka imannya pun dianggap lemah.

Dede Febiyan H/sidogiri

Spread the love