أصل كل معصية وغفلة وشهوة الرضا عن النفس . وأصل كل طاعة ويقظة وعفة عدم الرضا منك عنها . ولأن تصحب جاهلا لايرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضى عن نفسه . فأي علم لعالم يرضى عن نفسه وأي جهل لجاهل لا يرضى عن نفسه
Pangkal dari segala kemaksiatan, kelalaian dan syahwat keinginan adalah mematuhi hawa nafsu, sedangkan pangkal dari segala ketaatan, kewaspadaan dan menjaga kehormatan adalah menyalahi hawa nafsu. Karenanya, bersahabat dengan orang bodoh yang tidak mematuhi hawa nafsunya lebih baik bagimu daripada bersahabat dengan orang alim yang mematuhi hawa nafsunya. Tidak ada ilmu bermanfaat bagi orang alim yang mematuhi hawa nafsunya dan tidak ada kebodohan yang berbahaya bagi orang bodoh yang menyalahi hawa nafsunya.
Dari kalam hikmah tersebut dapat disimpulkan bahwa jalan menuju ridha Allah dapat ditempuh oleh seorang salik dengan hanya menyalahi hawa nafsu dan tidak mematuhi keinginannya, dan bahwa jalan menuju murka-Nya dapat ditempuh dengan hanya mematuhi hawa nafsu dan mengagumi diri sendiri.
Namun apakah hawa nafsu? Dan apakah yang dimaksud dengan hawa nafsu dalam konteks kali ini?
Secara etimologi, nafsu memiliki banyak arti. Nafsu bisa berarti ruh, ُsebagaimana kalimat (فاضت نَفْسُه اي خَرَجَتْ نَفْسُهُ). Ia juga bisa berarti darah, sebagaimana redaksi dalam kitab-kitab Fikih (ما لا نفس له سائلة اي ليس له دم يجري عند خروجه). Dan bisa berarti esensi dari sesuatu, seperti contoh (ارأيت الملك نفسه).
Hanya saja, nafsu yang dimaksud oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam konteks kali ini bukanlah nafsu dengan arti-arti tersebut, melainkan sebuah karakter binatang yang tercipta sejak lahir dalam diri manusia, yang selalu membangkang tak mau patuh karena dipenuhi keinginan buruk dan syahwat. Itulah yang dimaksud nafsu dalam konteks ini.
Nampaknya, definisi nafsu yang diinginkan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah tersebut merupakan istilah yang bersifat religi yang disimpulkan dari ayat (artinya), “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53) Sebab, tak satupun dari para ahli bahasa yang mendefinisikan nafsu sebagaimana definisi yang diinginkan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah.
Syekh Ibnu ‘Athaillah menyimpulkan bahwa mematuhi hawa nafsu merupakan pokok dari segala kemaksiatan, kelalaian dan syahwat tentunya dengan berlandaskan pada beberapa ayat, antara lain (artinya):
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (QS: An-Nisa’, 49)
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS: An-Najm, 32)
Dua ayat tersebut melarang seseorang memuji diri sendiri, mengagumi diri sendiri dan mematuhi hawa nafsu. Hal ini senada dengan hadis Nabi, “Ada tiga perkara yang mencelakakan yaitu sifat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan kekaguman seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. At-Thabrani dan al- Baihaqi)
Munculnya kesimpulan bahwa mematuhi hawa nafsu merupakan pangkal dari segala kemaksiatan juga disebabkan fenomena yang dialami oleh salik. Dalam perjalanannya menapaki jalan menuju hadirat-Nya, ia dihadapkan pada dua pilihan. Antara memperoleh ridha Allah dengan menyalahi hawa nafsu atau mematuhi hawa nafsu dengan menyalahi perintah Allah. Sehingga, apabila ia memilih memperoleh ridha-Nya maka otomatis ia akan melakukan berbagai ketaatan dan menjauhi kemaksiatan dengan menyalahi keinginan hawa nafsunya. Sebaliknya, apabila ia memilih mematuhi hawa nafasunya maka otomatis ia akan meninggalkan berbagai ketaatan dan melakukan kemaksiatan atau kejelekan sesuai karakteristik hawa nafsu itu sendiri. Dari sinilah kemudian dapat disimpulkan bahwa mematuhi hawa nafsu merupakan pangkal dari segala kemaksiatan.
Lalu adakah solusi bagi kita yang ingin lepas dari jeratan hawa nafsu atau bahkan ingin dapat mengendalikannya?
Tentu saja ada. Sebab, Allah tidak menciptakan suatu penyakit, baik jasmani maupun rohani, kecuali juga menciptakan obatnya. Dan obat untuk penyakit ini (menuruti hawa nafsu) adalah banyak bertaubat sebagaimana bunyi hadis Nabi, “Setiap manusia pasti punya banyak kesalahan, namun sebaik-baik mereka yang punya banyak kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Manusia sering kali melakukan kesalahan karena Allah menguji mereka dengan kelemahan jiwa saat menghadapi hawa nafsu sehingga mudah terpedaya dan patuh pada perintahnya, sebagaimana bunyi ayat “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS: An-Nisa’, 28)
Oleh karena itu, apabila kita menyadari bahwa Allah sengaja menguji kita dengan kondisi lemah itu saat menghadapi hawa nafsu sehingga mudah terpedaya lalu terpeleset melakukan banyak dosa dan kesalahan, baik sengaja ataupun tidak, maka pasti betapa marahnya kita terhadap hawa nafsu itu sehingga di lain waktu kita semakin mewaspadai keberadaannya.
Baca juga: Urgensitas Nasab
Adapun mengenai pernyataan “bersahabat dengan orang bodoh……”, hal itu karena meskipun semua orang mengakui kemuliaan dan nilai luhur ilmu, namun ilmu itu sendiri tetaplah sekadar sarana atau perantara. Karenanya, jika ilmu dimiliki oleh seseorang yang berhati suci, bersih dan penuh dengan tujuan mulia, maka ilmu itu akan menjadi cahaya lentera yang menuntunnya menuju jalan kebenaran dan menapaki sunah Rasul, melindunginya dari marabahaya, membawanya menuju kebahagiaan dunia akhirat. Akan tetapi, jika ilmu dimiliki oleh seseorang yang berhati kotor, busuk dan penuh niat jahat, maka ilmu itu hanya akan dikendalikan dan digunakan sebagai sarana untuk meraih semua tujuan kotornya. Setiap kali ilmu itu bertambah maka semakin bertambah hebat pula sarana kejahatannya, senada dengan untaian kalam “Bertambahnya ilmu pada orang jahat ibarat bertambahnya air di pangkal-pangkal tanaman hanzhal (jenis labu yang pahit rasanya). Semakin banyak diperas maka semakin pahit rasanya.”