اَلْعَجَبُ كُلَّ الْعَجَبْ مِمَّنْ يَهْرَبُ مِمَّا لَا انْفِكَاكَ عَنْهُ وَيَطْلُبُ مَا لَا بَقَاءَ لَهُ مَعَهُ. فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Sungguh sangat mengherankan, seseorang lari dari sesuatu yang tidak mungkin terlepas darinya, justeru mencari sesuatu yang tidak abadi bersamanya. Sesungguhnya dia tidak buta mata, akan tetapi buta hati yang ada di dalam dada.”
Di dalam kalam hikmah ini, Syekh Ibnu Athaillah menyampaikan keheranannya, tatkala ada seorang hamba mencoba lari dari yang pasti menyertai, lalu mencari sesuatu yang tidak pasti. Di manakah akal sehat hamba tersebut?
Boleh dikata, kalam hikmah ini merupakan teguran keras bagi hamba yang belum bisa total di dalam berserah diri kepada Allah. Padahal, sejak kali pertama seorang hamba diciptakan, hingga akhir cerita kehidupannya kelak, entah di surga ataupun di neraka, Allah sebagai sang maha di atas maha, pasti akan selalu menyertai. Baik dia beriman ataupun tidak. Baik laki-laki ataupun perempuan. Baik dia seorang ibâd ataupun pendosa. Maka kemana kalian bisa lari? Sedangkan Allah akan selalu menyertai. Allah berfirman (artinya): “Dia (Allah) bersama kalian dimana pun kalian berada.” QS. Al-Hadid (57): 4
Akan tetapi kita harus memahami, bahwa kebersamaan Allah dengan hambanya tidaklah diartikan sebagaimana dua manusia duduk bersama di sebuah meja. Saling memandang tanpa sekat, lalu berinteraksi dengan bebas. Kebersamaan yang demikian adalah cela bagi Allah. Karena sesungguhya Allah tidak sama dengan segala sesuatu. Apapun yang terbesit di dalam pikiran, sudah pasti Allah berbeda dengannya.
Kebersamaan Allah dengan hambanya merupakan kebersamaan maknawi yang kasat mata. Allah selalu bersama setiap hamba dengan sifat ilmu-Nya. Setiap yang kita lakukan, kita lihat, kita dengar, kita ucap, pasti diketahui oleh Allah dengan sempurna, bahkan melebihi pengetahuan kita sebagai seorang hamba.
Ketika arwah kita pertama kali ditiupkan ke dalam rahim ibu kita, Allah tahu dan kita tidak. Ketika kita menikmati indahnya bulan purnama, Allah tahu hakikat rembulan dan kita tidak. Ketika kita duduk-duduk di sebuah tanah lapang, Allah tahu apa yang tersimpan di dalam tanah dan kita tidak.
Begitulah keikutsertaan Allah di dalam setiap masa yang kita habiskan. Maka masih adakah kesempatan kita untuk lari dari Allah?
Adapun sesuatu yang tak pasti, dan kita tidak pantas untuk mencari dan menyandarkan harap padanya, adalah semua hal selain Allah. Ada sebuah kaidah umum yang berlaku kepada semua makhluk. Bahwa keberadaan semua makhluk berawal dari tiada, lalu diadakan oleh Allah, hingga akhirnya kembali tiada. Sedangkan fase kehidupan semua makhluk pun sama. Dia lemah, lalu kuat, hingga akhirnya kembali lemah tanpa daya.
Lihatlah bagaimana perjalanan manusia di dunia, dari tiada dia ada, lalu kembali menjadi tiada. Sedangkan kehidupannya di dunia, dia lahir dalam keadaan lemah. Lalu semakin kuat dan semakin kuat, hingga akhirnya kembali melemah dan semakin lemah di usia senja. Begitupun yang terjadi kepada semua jenis hewan dan tanaman. Apapun dan dimanapun mereka berada.
Perhatikan juga matahari. Laju peredarannya yang telah ditetapkan oleh Allah. Dia ada lalu tiada. Lalu ada lagi. Lalu tiada lagi. Begitulah seterusnya, hingga masa yang hanya Allah yang tahu. Matahari hari di ufuk pagi, cahayanya masih lemah tak berdaya. Lalu menguat dan semakin kuat, dengan berpijar dengan ganas di siang hari. Lalu apa yang terjadi? Cahayanya kembali melemah dan semakin lemah, hingga akhirnya padam, kala senja dijemput malam.
Lantas, bagaimana seharusnya akal sehat seorang hamba berfikir di dalam hal ini? Tentu akal sehat dengan pemikiran jernih akan segan untuk lari dari Allah yang selalu menyertai. Kebersamaan dengan Dzat yang Maha Ada adalah pilihan paling tepat. Di saat semua teman hilang tak menemani. Di saat semua keluarga menjauh tak lagi menyambangi. Di saat yang berharga tak lagi berharga. Di saat semua makhluk hanya berfikir tentang dirinya sendiri. Maka di saat itu pula Allah masih ada sebagai tempat kembali.
Kebersamaan ini akan semakin baik di saat kita juga semakin baik. Kesadaran untuk mengoreksi kualitas shalat kita, puasa kita, zakat kita, dan semua ibadah kita. Introspeksi diri dari semua khilaf yang pernah menoda. Melakukan semua yang Allah perintahkan dengan penuh keinsafan dan kesadaran. Maka begitulah cara terbaik atas kebersamaan Allah dengan hamba-Nya.
Selanjutnya, kita harus memilih untuk meninggalkan semua yang tidak pasti. Bukankah semua yang ada ini akan tiada? Bukankah orang yang menjadi sandaran kita hari ini akan musnah? Dan bukankah mereka yang kuat hari ini, akan sampai pada masa lemahnya di hari esok?
Adakah yang masih menyertai saat kita menghembuskan nafas terakhir? Adakah yang masih menyertai kita saat berada di alam barzah? Adakah yang masih menyertai kita saat huru-hara mahsyar? Adakah yang masih menyertai kita saat gugup menghadapi mizan? Adakah yang masih menyertai kita saat gamang di atas jembatan? Adakah? Seandainya masih ada, pasti itu adalah Allah yang Maha Ada.
Maka pelarian kita dari Allah adalah sebuah kedunguan berfikir. Pelarian dengan maksiat. Pelarian dengan dosa. Pelarian dengan kufur. Pelarian dengan sekutu. Pelarian dengan cara-cara yang tak pantas bagi hamba yang sangat lemah di hadapan Yang Maha Perkasa. Dan bila hamba itu masih nekat berlari, “Sesungguhnya dia tidak buta mata, akan tetapi buta hati yang ada di dalam dada.” QS. Al-Hajj: (46)
Baca juga: Kemuliaan Allah di atas Segala-Galanya