Beberapa waktu lalu soal ajaran dan hukum Islam kembali ramai diperbincangkan, baik di sosial media, website atau di sejumlah artikel. Perbincangan ini bermula setelah sekelompok orang dari golongan ekstrim kiri atau para liberalis lagi-lagi memunculkan statement bahwa hukum Islam yang ada sekarang sudah tidak relevan untuk diterapkan mengingat zaman sekarang sudah modern, canggih dan sebagainya serta sudah tidak sama dengan masa awal Islam datang.
Para liberalis beranggapan bahwa perlu ada revisi hukum atau ketetapan Islam agar cocok dengan realita dan konteks saat ini, salah satunya mengenai nikah beda agama. Mereka mengutip pendapat dalam buku Fikih Lintas Agama (2004) yang diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta bahwa muslimah sekarang sudah tidak masalah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Dalam buku tersebut ditulis, “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”
Inilah contoh penggunaan metode kontekstual historis yang menjadikan satu hukum menjadi relatif dan tidak tetap. Padahal, dalam pandangan Islam, masalah agama dalam perkawinan adalah hal pinsip. Seorang muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Begitu pula seorang Muslim diharamkan menikahi perempuan non- Muslim. Hal ini telah jelas Allah tegaskan dalam al-Quran.
وَلَا تَنْكِحُوْا اْلمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُوْا إِلَى اْلجَنَّةِ وَاْلمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita wanita musyrik, sebelum mereka beriman Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [02]: 221)
Teks al-Quran tidak berubah sepanjang masa, dan maknanya tetap terjaga, sejak diturunkan hingga sekarang dan nanti. Jadi, tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengubah hukum yang telah ditetapkan dalam Islam, baik karena konteks yang sudah berbeda dengan awal Islam diturunkan ataukah tidak, seperti masalah pernikahan antar agama.
Cara memandang Islam sebagai ”produk budaya” menjadi akar dari pola pikir yang merusak syariat Islam. Padahal, Islam adalah agama wahyu yang final. Konsep finalitas dan universalitas teks al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia, sampai saat ini memiliki sikap yang sama berbagai masalah mendasar dalam Islam.
| BACA JUGA : EMBRIO KHAWARIJ DI ERA MODERN
Syekh Abdul Wahhab Khalaf dalam mukadimah Ushul Fikih-nya mengatakan bahwa tidak satupun sisi kehidupan manusia di dunia ini, kecuali terdapat aturan, tuntunan, serta arahan syariat berdasarkan petunjuk dari al-Quran dan sunah di dalamnya. Hal ini seakan menutup pintu bagi seorang Muslim untuk mengambil referensi sebagai pedoman hidup dari selain Islam karena semuanya sudah ada dan paripurna dalam ajaran Islam.
Karena itu, tentu merupakan kesalahan dan kemunduran yang cukup besar jika kemudian seorang Muslim menyontek aturan atau hukum dari orang-orang asing (orang kafir). Allah berfirman:
أَفَحُكْمَ اْلجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَمَنْ أَحْسَنَ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [05]: 50)
Islam adalah agama universal, bisa melewati batas waktu, ruang dan konteks budaya, atau bisa berlaku kapanpun, dimanapun dan bagi siapapun. Contoh hukum khamr. Kendati diturunkan di Arab, dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan sudah kecanduan khamr. Maka, khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau banyak, baik untuk orang Arab atau tidak; baik untuk wilayah beriklim panas atau beriklim dingin.
Islam menunjukan kepada kondisi yang lebih baik. Dengan agama Islam, roda kehidupan seseorang akan sempurna, satu sama lain bisa saling bersandar dan bersanding. Bahkan, Islam tidak sekadar mengatur tataran kehidupan antar sesama Muslim, tetapi ketentuan dan aturan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Antara agama dan kehidupan manusia saling berkaitan, tidak seperti yang disangka oleh musuh-musuh Islam yang mengatakan bahwa agama akan membikin terbelakang dan ketinggalan dari kehidupan dunia.
Rasulullah diutus untuk semua manusia, sampai akhir zaman. (QS. Saba: 28). Karena itu, syariat Islam bersifat universal; lintas zaman dan lintas budaya. Allah menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal (QS. al-Maidah: 3). Jadi, kita patut bersyukur menjadi seorang Muslim, sebab memiliki panduan hidup yang abadi dan tidak berubah.