Sudah maklum bahwa demonstrasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi. Malah, bisa dibilang demonstrasi adalah salah satu instrumen terpenting demokrasi, yang seandainya di suatu negara demokratis tidak pernah terjadi demonstrasi, maka bisa dipastikan bahwa mesin demokrasi sedang tidak berjalan sebagaimana mestinya, misalnya karena rezim berkuasa sudah sangat otoriter dan menggunakan tangan besi, atau karena alasan-alasan lain yang tak sejalan dengan falsafah demokrasi.
Sudah maklum pula demokrasi, sebagai suatu paket sistem pemerintahan, tidak muncul dari dalam Islam, melainkan lahir dari filsafat Yunani yang dewasa ini diadopsi oleh negara-negara Barat dan banyak negara di kawasan yang lain, termasuk Indonesia. Namun bagaimanapun, elastisitas Islam membikin sebagian unsur demokrasi bisa diterima, dan bahkan nilai-nilai Islam bisa mengisi unsur-unsur itu, sehingga sistem demokrasi bisa berjalan di negeri-negeri umat Islam secara wajar.
Salah satu unsur itu tentu saja adalah demonstrasi. Bagaimanapun demonstrasi bukan merupakan aspek yang include di dalam sistem pemerintahan Islam, dan karena itu kita tidak menemukan aturan-aturan tekstual atau yang presisi terkait demonstrasi di dalam hukum-hukum atau sistem pemerintahan Islam, dalam arti bahwa Islam tidak menjadikan demonstrasi sebagai instrumen yang secara sengaja dibangun untuk menjalankan roda pemerintahan, tidak sebagaimana dalam sistem demokrasi.
| BACA JUGA : PALESTINA:POLITIK ATAU AGAMA?
Akan tetapi bagaimanapun demonstrasi adalah suatu realitas sosial yang telah ada sejak zaman dahulu, sehingga fenomena seperti itu sebenarnya bisa muncul dalam model pemerintahan apapun, termasuk dalam sistem pemerintahan Islam, tentu saja sebagai sebuah insiden, dan karena itu tidak intens sebagaimana dalam model pemerintahan demokrasi, yang memang menjadikan demonstrasi sebagai bagian dari sistem.
Maka, demonstrasi sebagai suatu pergerakan massa yang terkonsentrasi dan dikoordinir untuk menyatakan pendapat, protes, dan atau menentang kebijakan pemerintah, jika kita lihat dari sudut pandang Islam setidaknya bisa kita pilah sebagai berikut:
Pertama, konsentrasi massa yang dikoordinir untuk protes dan menentang kebijakan pemerintah, namun dengan motif atau agenda makar terhadap pemerintah yang sah, baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi.
Jenis demonstrasi seperti ini dalam hukum Islam bisa dikategorikan sebagai pembangkangan terhadap pemerintah, sehingga pemerintah harus menghalau mereka, tentu dengan SOP yang sesuai dengan syariat Islam. Mula-mula pemerintah akan memberikan peringatan dengan berbagai levelnya, lalu jika tidak mempan pemerintah bisa menurunkan aparat keamanan bahkan pasukan militer untuk menghalau mereka.
Tindakan pemblokiran terhadap usaha makar oleh suatu massa seperti itu lumrah diambil oleh pemerintahan Islam pada masa lalu, terutama dalam periode kerajaan-kerajaan. Tindakan tegas seperti itu diperbolehkan oleh syariat Islam sebab jika itu tidak dilakukan, maka akan membikin pemerintahan tidak stabil, bahkan bisa mengganggu keamanan nasional, yang tentu akibatnya sangat fatal.
Kedua, sekelompok massa yang tidak puas terhadap sebagian kebijakan pemerintah, sehingga mereka bergerak ke suatu titik untuk berdemonstrasi dalam usaha menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka, akan tetapi mereka melakukan itu dengan cara yang tidak baik.
Memang gerakan mereka tidak berbau makar terhadap pemerintah yang sah, akan tetapi tindakan mengganggu kondusifitas sosial, pengerusakan fasilitas umum, caci maki dan kata-kata kotor lain, adalah hal-hal yang jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam, sehingga dalam hal ini pemerintah perlu mengambil tindakan sewajarnya, sekadar untuk menertibkan massa, namun tidak perlu sampai menurunkan kekuatan militer, sebab tidak ada motif makar dibaliknya.
Lumrahnya demonstrasi model inilah yang terjadi di Indonesia, baik dilakukan oleh mahasiswa, para buruh, maupun kelas masyarakat yang lain. Bagaimanapun, melakukan pembakaran ban di tengah jalan, pengerusakan fasilitas umum dan caci-maki pada pemerintah adalah tindakan yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Sehingga usaha aparat untuk menghalau mereka tentu dibenarkan oleh syariat Islam, terkecuali jika tindakan itu berlebihan atau di luar kewajaran.
Ketiga, sekelompok massa yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah, sehingga mereka bergerak untuk
menyampaikan inspirasi mereka secara berjamaah. Namun mereka menyampaikan aspirasi itu dengan cara yang baik, massa bergerak atau terkonsentrasi dengan rapi, tidak melakukan pengerusakan terhadap apapun, dan tidak mencaci-maki siapapun. Mereka menyampaikan kritik mereka dengan baik dan bijaksana, sesuai dengan fakta dan realita yang ada.
| BACA JUGA : SPIRIT ISLAM YANG MEMERDEKAKAN
Nah, bentuk demonstrasi yang ketiga ini tentu diperbolehkan dalam syariat Islam, dan model demonstrasi ini bisa dikategorikan sebagai usaha menasehati dengan baik, atau melakukan amar makruf nahi mungkar kepada pemerintah sesuai dengan panduan syariat. Karena itu, terhadap model demonstrasi seperti ini, pemerintah harus terbuka, dan membuka pintu dialog selebar-lebarnya.
Demonstrasi dalam bentuk seperti ini memang jarang terjadi tidak saja di Indonesia, tapi juga di dunia. Akan tetapi Indonesia punya catatan luar biasa dalam hal ini, di mana jutaan umat Islam berdemonstrasi di Jakarta, dalam tajuk gerakan 212, menyampaikan aspirasi mereka dengan cara yang baik, tanpa caci-maki, pengerusakan, dan bahkan tanpa ada sampah yang berserakan.
Apa yang dilakukan oleh umat Islam tersebut seakan merevisi terhadap model-model demonstrasi mainstream, di mana umat Islam memberikan visi baru yang sangat positif terhadap aksi-aksi demonstrasi. Tentu, hal itu tidak saja patut dilestarikan di Indonesia, namun juga perlu dicontoh oleh dunia.