Penjajahan Sebelum Islam
Sebelum Islam datang, dunia ada dalam cengkeraman imperium-imperium besar yang datang silih berganti. Sehingga pada saat itu, setiap bangsa dikuasai oleh penguasa-penguasa yang berbeda dari waktu ke waktu. Siapa yang bisa mengalahkan suatu imperium di sebuah wilayah, maka dialah yang akan mengganti menjadi penguasa di wilayah itu, dan memberlakukan aturan menurut kehendak mereka. Semua wajib tunduk pada aturan itu, betapapun tidak adilnya. Begitu seterusnya, ketika datang imperium baru dan berhasil mengalahkan imperium lama di wilayah itu.
Wilayah Syam, misalnya, dalam sejarahnya ada begitu banyak kelompok yang menguasai dan memerintah di daerah itu. Sebut saja misalnya bangsa Kanaan, Israel, Mesir, Asyiria, Fainiqia, Aramia, Kaldan, Persia, Yunani, hingga Romawi. Bangsa-bangsa tersebut pernah menguasai wilayah Syam dalam tempo yang berbeda-beda, bergantung pada kuat dan tidaknya bangsa yang berkuasa itu menahan gempuran dari bangsa pendatang yang juga ingin menguasai Syam.
Begitu pula yang terjadi pada bangsa-bangsa lain, seperti penghuni Irak. Karena itu, seperti dikatakan Karen Armstrong, pada masa lalu, bangsa-bangsa itu bahkan sama sekali tak memiliki cita-cita untuk merdeka. Wilayah mereka selalu diperebutkan oleh imperium-imperium besar dengan kekuatan militer yang menghancurkan, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk di bawah hukum imperium yang berhasil menguasai mereka.
Dari gambaran dunia peperangan yang seperti itulah terlahir konsep perbudakan, pemaksaan kehendak untuk memeluk suatu agama, pemaksaan untuk membayar upeti yang menekan dan tidak wajar, dan setumpuk ketidak-adilan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya, sehingga bisa dikatakan bahwa setiap bangsa yang ada di bawa kekuasaan suatu imperium itu pada hakekatnya ada dalam cengkeraman para penjajah.
Baca Juga: Merdeka Tanpa Bendera
Pembukaan Kota-Kota
Ketika Islam muncul dan dalam tempo yang teramat singkat menjelma sebagai kekuatan besar yang disegani imperium-imperium seperti Romawi dan Persia, wilayah-wilayah dunia ada dalam dua bagian. Bagian pertama adalah wilayah-wilayah yang berada di bawah cengkeraman imperium besar yang menjajah rakyatnya, sebagaimana diterangkan di atas. Bagian kedua adalah wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan imperium-imperium penjajah tersebut, sehingga mereka tidak dijajah.
Meka begitu umat Islam sudah berhasil menguasai seluruh semenanjung Arabia, mereka segera mengarahkan pandangan ke luar, untuk membebaskan umat dari cengkeraman para penjajah yang menjelma sebagai dua imperium besar: Romawi dan Persia. Itulah sebabnya kenapa banyak riwayat mengatakan bahwa ketika pasukan Muslim datang, mereka justru disambut gembira oleh masyarakat setempat. Bahkan masyarakat setempat seringkali memberikan informasi akan kekuatan dan kelemahan lawan, yang mempermudah pasukan Muslim untuk mengalahkan militer lawan. Hal demikian karena mereka telah mendengar bahwa kekuatan baru yang datang ini adalah calon penguasa yang adil, dan diharapkan memberikan jaminan kemakmuran kepada rakyat.
Dan, begitu pasukan Muslim sudah benar-benar bisa menguasai suatu wilayah dengan mengusir tentara yang sebelumnya menjajah wilayah itu, maka masyarakat setempat diberi kebebasan sebebas-bebsnya dalam setiap sisi kehidupan mereka; tanpa ada pemaksaan sama sekali. Mereka bebas apakah mau memeluk Islam atau tidak, mereka juga diberi kebebasan bersosial, berekonomi dan sebagainya, tentu dalam bingkai aturan-aturan Islami.
Kini, rakya benar-benar merasa merdeka dan jauh dari penjajahan yang dilakukan oleh penguasa sebelumnya. Itulah sebabnya kenapa gerakan militer Islam ini disebut dengan “Futûhât” (pembukaan kota-kota), bukan “Isti‘mâr” (penjajahan). Dampak positif yang bisa segera dilihat kemudian adalah: tidak satupun kota yang dibuka oleh pasukan Islam, melainkan kota itu menjadi maju dalam berbagai hal, mulai dari keilmuan, sosial, ekonomi, dan sebagainya, sehingga ia menjadi kota yang berperadaban tinggi. Ini berbeda dengan kota-kota yang ditaklukkan oleh militer non-muslim, yang justru menjadi bodoh, terbelakang, miskin, dan sangat memprihatinkan, seperti Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun.
Baca Juga: 10 November 1945, Peran Ulama Dalam Merpertahankan Kemerdekaan
Islam Memerdekakan Indonesia
Adapun bagian kedua, yakni wilayah yang tidak ada dalam kekuasaan para penjajah manapun, maka Islam tidak mengerahkan pasukan militer ke wilayah tersebut. Maka yang datang ke wilayah ini adalah para dai yang berdakwah dengan cara berbaur dengan masyarakat, larut dalam kultur dan budaya mereka. Selain itu, yang datang ke wilayah-wilayah seperti ini adalah para pedagang Muslim, yang disamping berdagang mereka juga berdakwah dengan cara memperlihatkan keindahan agama Islam kepada umat.
Hal ini seperti yang dilakukan oleh para dai dan para pedagang Muslim ketika memasuki tanah Jawa dan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Tidak ada peperangan apapun yang menyertai masuknya agama Islam ke wilayah-wilayah ini. Islam masuk ke dalam sendi-sendiri umat melalui proses alami, dengan cara berbaur dengan keseharian mereka. Hasilnya adalah seperti yang kita lihat di Indonesia saat ini: Islam menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia. Alhasil, agama Islam dipeluk oleh bangsa Indonesia dengan penuh kemerdekaan.
Ketika kemudian penjajah dari Barat datang melakukan pemaksaan kepada umat Islam di wilayah Nusantara, baik pemaksaan ekonomi, budaya maupun keyakinan, maka sesungguhnya spirit “Islam yang memerdekakan” itulah yang menggerakkan mereka untuk melakukan perlawanan terharap para penjajah itu. Inilah yang menyebabkan banyak peneliti mengatakan: andaikan bukan karena para kyai dan kaum santri, niscaya Indonesia tidak akan bisa mencapai kemerdekaannya hingga detik ini.
Hal ini dibuktikan dengan fakta yang kita lihat, bahwa semua Pahlawan Nasional kita adalah para pemuka agama Islam, para imam dan para kiai. Tidak ada yang pendeta atau biksu. Dan, apa yang kemudian kita dapati dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, benar-benar sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang memerdekakan, sebagai berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah SWT Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Semestinya pembukaan UUD 1945 ini membuka kesadaran segenap bangsa, bahwa kemerdekaan yang kita capai ini adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yang diperjuangkan oleh para ulama, para kyai pengasuh pesantren, dan para pemuka umat Islam. Namun sialnya, kini sekian banyak hal yang berbau Islam justru hendak dikaburkan dan atau bahkan dipadamkan oleh sebagian anak bangsa yang pikirannya terjajah oleh pemikiran-pemikiran asing.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri