Berbicara tentang kemerdekaan, makna pertama yang paling sering terlintas di dalam pikiran adalah kemerdekaan fisik seseorang dari perbudakan, atau kemerdekaan fisik sebuah bangsa dari penjajahan bangsa lain. Ada pemahaman yang lebih mendalam dari itu, yaitu kemerdekaan ekonomi, lalu kemerdekaan budaya. Dan, yang terakhir adalah kemerdekaan jiwa dan diri. Pemahaman orang terhadap makna Kemerdekaan memang masih beragam. Kemerdekaan lebih sering diartikan sebagai kebebasan dari tekanan dan kekang bangsa lain. Jarang sekali ada orang yang memahaminya sampai kepada tingkat kemerdekaan dari bangsa sendiri.
Pada tahap yang lebih mendalam, kemerdekaan masih lebih sering diartikan sebagai kebebasan dari cengkeraman orang lain, bukan kebebasan dari cengkeraman diri sendiri. Orang-orang sufi menyebut perjuangan untuk memerdekakan diri dari bangsa lain sebagai jihad kecil. Sedangkan perjuangan untuk merdeka dari ego dan nafsu sendiri sebagai jihad akbar.
Rata-rata bangsa kita sudah merasa puas dengan kemerdekaan ‘fisik negara’ yang telah dicapai pada tahun 1945. Sebatas bahwa kita telah memiliki negara sendiri, dengan bendera merah putih, dengan lambang Garuda, dan dasar negara Pancasila. Masih jarang yang memahami kemerdekaan itu sampai pada tingkat bahwa kita telah merdeka dalam menentukan kebijakan, merdeka dari intervensi dan tekanan dari bangsa lain. Apalagi, sampai pada tingkat bahwa bangsa kita telah merdeka dari berbagai kecenderungan negatif yang menjatuhkan moralitas dan menghilangkan jati diri bangsa.
Kemerdekaan Rimba
Tidak sedikit orang yang taraf berpikirnya tentang kemerdekaan masih berkutat di dalam makna yang sangat dangkal, sehingga kemerdekaan itu menjadi “kemerdekaan rimba”. Dia cenderung mengartikan kemerdekaan itu dengan kebebasan mutlak. Tanda tanda orang yang berpaham demikian adalah jika dia mudah membuat pembelaan dengan menggunakan Kalimat, “Terserah saya, mau melakukan apa saja, orang lain jangan ikut-ikut!” Tentu saja pemahaman semacam ini sangat berbahaya. Sebab, jika setiap orang berhak melakukan apapun yang dia mau, maka kemerdekaan itu berubah menjadi barbarianisme, dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.
Pada tingkat berikutnya, ada orang yang mengartikan kemerdekaan itu dengan kebebasan melakukan apa saja asalkan tidak merugikan atau mengganggu hak. Slogan yang sering digunakan adalah “Kebebasanmu dibatasi dengan kebebasan orang lain.” Pemahaman inilah yang banyak dipakai oleh para pembela Hak Asasi Manusia. Tidak jarang, mereka membela orang-orang yang melakukan penyimpangan, dengan dasar bahwa penyimpangan tersebut tidak merugikan orang lain.
Atas dasar HAM inilah, negara-negara Barat menerapkan prinsip kebebasan yang relatif lebih liberal dari pada berbagai negara di belahan dunia lainnya. Kemerdekaan dalam pemahaman ini lambat laun mengalami metamorfosis; dari kemerdekaan berekspresi berkembang menjadi kemerdekaan untuk menodai; dari kemerdekaan berbuat berkembang menjadi kemerdekaan untuk bermaksiat; dari kemerdekaan berijtihad berkembang menjadi kemerdekaan untuk sesat; dari kemerdekaan berpikir berkembang menjadi kemerdekaan untuk kafir. Inilah paham kemerdekaan dan kebebasan yang sementara ini banyak dianut oleh bangsa Indonesia karena terpengaruh dari pola pikir liberal ala Barat.
Nah, kemerdekaan yang ideal tentu saja tidak seperti itu, karena Tentu saja setiap komunitas terikat dengan tata nilai yang harus dijaga dengan baik, di mana tata nilai tersebut merupakan unsur terpenting dalam pembentukan jati diri. Oleh karena itu, sebuah kemerdekaan seharusnya diartikan dengan kebebasan melakukan sesuatu yang baik, atau dalam batas minimal tidak merugikan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya. Dengan makna ini, maka kemerdekaan melarang seseorang melakukan perzinahan, memakai narkoba dan segenap perbuatan buruk, meskipun hal itu tidak merugikan orang lain.
Konsep kemerdekaan dalam Islam dibangun di atas dasar konsep ini. Hanya saja, sangat perlu diingat bahwa cakupan kata “merugikan” dalam kacamata Islam jauh lebih luas daripada kata “merugikan” yang dipahami oleh ‘selain Islam’. Sebab, kerugian yang dimaksud dalam ajaran Islam adalah kerugian duniawi dan kerugian ukhrawi. Bahkan, ketika kepentingan ukhrawi bertabrakan dengan kepentingan duniawi maka Islam tegas memilih kepentingan ukhrawi.
Maka, kemerdekaan sesungguhnya dalam Islam justru ketika seseorang secara suka rela ‘memasung’ kebebasannya sendiri demi mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama. Orang yang menjadikan dirinya sebagai budak Allah, maka dialah orang merdeka yang sejati. Dia memerdekakan dirinya dari berbagai ‘belenggu’ yang datang dari makhluk. Dia tidak mau terjajah oleh kepentingan apapun yang bertentangan dengan ketentuan Tuhan. Inilah kemerdekaan yang paling tinggi.
Bangsa Indonesia menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mengandung filosofi bahwa bangsa Indonesia meletakkan ajaran agama sebagai pedoman yang paling utama. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap agama sudah seharusnya menjadi parameter pertama dalam memahami kemerdekaar sebelum parameter kesejahteraan, persatuan, keadilan sosial, demokrasi politik dan parameter parameter yang lain. Bukan justru sebaliknya; menganggap agama sebagai urusan pribadi masing-masing orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Sila pertama itu memberikan amanat bahwa negara memiliki tugas utama untuk menjamin tegaknya ajaran agama. Sebab, melanggar agama berarti melanggar Pancasila.
Baca juga: Nasionalisme Sebagai Kolega Agama
Dalam konteks inilah, bangsa kita terjebak ke dalam makna kemerdekaan yang semu. Di mana, sudah begitu banyak generasi bangsa ini yang latah dengan Barat, sehingga cenderung memaknai kemerdekaan hanya dengan kebebasan. Merdeka dianggap sekadar upacara bendera, lalu berpesta di atas tetesan darah para pahlawan kita.
Ahmad Dairobi/Sidogiri