ألقاه في البحر مكتوفا وقال له …إياك إياك أن تبتل بالماء

“Dia melemparkannya ke laut dengan tubuh terikat, seraya berkata: Jangan sampai tubuhmu basah kuyup oleh air.”

Aslinya, bait ini adalah potongan dari serangkaian sajak yang dibuat oleh Syekh Abdul Ghani an-Nabulusi, pujangga sufi dari Damaskus, ketika menyinggung nalar teologis aliran Qadariyah. Qadariyah menyatakan bahwa iradah Allah harus sejalan dengan perintahNya. Mereka beranggapan bahwa jika Allah menghendaki sesuatu yang tidak sejalan dengan perintah-Nya, maka ibarat melarang seseorang agar jangan sampai basah, seraya melemparkannya ke laut dengan tubuh terikat. An-Nabulusi mengkritik nalar itu dalam lanjutan sajaknya. Beliau menyatakan bahwa tamsil Qadariyah itu terlalu sumir dan tidak sesuai fakta yang sesungguhnya. Takdir tidaklah seperti itu!. Takdir memberi keleluasaan kepada manusia untuk berusaha dan memilih jalannya, tidak seperti orang yang dilemparkan ke dalam laut dengan tubuh terikat.

Namun demikian, potongan sajak ini kadangkala digunakan untuk menyinggung persoalan-persoalan di luar konteks teologis tersebut. Salah satunya Muhammad al-Hamd. Dalam makalah yang berjudul al-Taqshîr fi Tarbiyatil-Awlâd dia menggunakan sajak ini sebagai ilustrasi kegelisahan generasi tua di masa kini. Tidak sedikit di antara mereka yang menumpahkan rasa kecewa, bahkan geram atas berbagai fenomena negatif anak-anak zaman ini. Padahal, jika dirunut dari hulu hingga ke hilir, sebenarnya para orangtualah yang justru menjadi penyebab lahirnya generasi anak yang mengecewakan itu.

Oleh karena itu, jika generasi tua merasa kecewa terhadap perkembangan generasi anak, maka seharusnya mereka lebih kecewa lagi kepada diri mereka sendiri. Sebab, kecenderungan generasi anak yang mereka anggap ‘mengerikan’ itu, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kecenderungan generasi tua, sebagai pembawa estafet moralitas, budaya dan peradaban kepada generasi setelahnya. Dalam sebuah syair disebutkan: “Bila pemilik rumah gemar menabuh gendang… maka jangan kau salahkan jika anak-anak di rumah itu suka menari!”

Pandangan hidup dan cita-cita para orangtua tentang anaknya sudah banyak berubah dibandingkan generasi orangtua sebelumnya. Hal itu berakibat pada perubahan perlakuan orangtua masa kini terhadap anak, pergeseran pilihan mereka tentang pendidikan anak, juga pergeseran sikap mereka terhadap lingkungan dan pergaulan anak. Hal itu merupakan efek domino dari perjalanan roda kehidupan manusia yang semakin hari semakin praktis dan mudah. Kemajuan teknologi membuat manusia semakin mudah mendapatkan keinginan dan kesenangannya, semakin merasa berdaya, semakin terpaku pada kalkulasi-kalkulasi profan yang mengabaikan hal-hal metafisika. Hal ini, selain membuat umat manusia cenderung manja dan hedonis, juga mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai spiritualitas dari dalam diri mereka.

Kondisi zaman seperti ini tentu saja sulit melahirkan orang-orang yang memiliki ketangguhan spiritual dan moral seperti dahulu kala. Arus budaya global yang hedonik cenderung membuat nalar manusia semakin beku dalam menerima jiwa agama. Padahal arus budaya merupakan faktor yang paling menentukan terhadap perkembangan manusia secara massif, bahkan bisa mengalahkan fitrah alamiah manusia itu sendiri.

Al-Habib Salim bin Abdillah asySyathiri dalam Asâlib Tarbawiyah menyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi perkembangan anak adalah sumber pendidikan tidak langsung, seperti keluarga, lingkungan, budaya dan tradisi masyarakat. Orang yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang islami, sudah barang tentu dia akan tumbuh dalam kecenderungan budi pekerti yang mulia. Sebab, dia tidak akan mendapatkan sumber negatif yang dapat merusak jiwanya. Dan, begitu pula sebaliknya.

Habib Abdurrahman as-Sakran pernah bercerita: “Ketika masih kanak-kanak dulu, saat berada di rumah, aku senantiasa mendapati ayahku berada di atas sajadah, seraya berzikir kepada Allah. Aku mendatangi ibu, beliau juga berzikir di atas sajadah. Aku mendatangi kakak-kakakku mereka juga berzikir di atas sajadah. Akhirnya aku keluar ke jalan untuk bermain. Ternyata, di luar rumahpun aku tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa aku buat bermain. Akhirnya, akupun terpaksa mengambil sajadah. Aku duduk seperti keluargaku dan berzikir kepada Allah.” Dalam suasana keluarga seperti, mau tidak mau, anak akan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang baik dan religius.

Maka, untuk menyelamatkan masa depan anak-anak kita, kunci pertamanya adalah teladan dari orangtua, lalu suasana religius keluarga. Barulah setelah itu, tradisi dan budaya masyarakat. Jangan sekali-kali pikiran kita terfokus untuk mengkambinghitamkan faktor-faktor yang tidak terjangkau oleh peran realistis kita, sehingga melupakan akar yang paling bersentuhan dengan persoalan anak, yaitu faktor orangtua dan keluarga. Teladan orangtua dan suasana religius keluarga adalah faktor yang paling terjangkau untuk kita ubah, dibandingkan tradisi masyarakat, kebijakan pemerintah, apalagi arus budaya global. Terlalu banyak orangtua yang lalai dan lupa terhadap hal-hal realistis yang sudah seharusnya dia jalani sehari-hari , karena perhatiannya terjebak untuk mengkambing-hitamkan arus-arus besar yang hampir mustahil untuk dia hentikan.

Baca juga: Delegitimasi Ulama Oleh Dunia Maya

Tentu saja kita sangat miris dengan berita-berita yang menyesakkan dada tentang anak-anak zaman sekarang. Cukup sering muncul berita mengenai anak-anak yang melakukan perbuatan asusila, terjerat narkoba, minuman keras, tawuran, hingga perampokan. Namun sangat tidak adil, jika pikiran kita terlalu fokus menyalahkan mereka. Meskipun menjadi pelaku, pada hakikatnya anak-anak itu juga merupakan korban. Yakni, korban dari kesalahan orangtua dan keluarga, kesalahan budaya masyarakat dan kebijakan pemerintah, juga korban dari perkembangan peradaban manusia yang semakin melesat meninggalkan nilai-nilai kearifan.

Namun demikian, pintu utama dari semua faktor itu tetaplah orangtua dan keluarga. Jika orangtua dan keluarga bisa memberikan teladan yang baik, pendidikan yang tepat dan pengawasan yang seimbang, maka arus pengaruh negatif dari dunia luar cenderung menjadi kecil, atau bahkan tertutup.

Oleh karena itu, marilah kita mulai untuk memperbaiki generasi anak-anak kita dengan memperbaiki diri kita sendiri, lalu dengan membangun suasana keluarga kita yang islami. Daripada kita terus menerus mengutuk kegelapan yang menyelimuti permukaan bumi ini, sungguh akan lebih baik jika kita mau melangkah untuk menyalakan lilin-lilin kecil di dalam bilik-bilik kita itu!

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love