IMAM asy-Syathibi menyatakan dalam al-I’tishâm bahwa ketika ulama tidak bereaksi dengan mengingkari hal-hal salah yang dilakukan secara terang-terang, maka lambat laun orang awam akan memiliki persepsi bahwa hal itu boleh dan benar.
Jadi, reaksi tegas terhadap kebatilan adalah bagian penting dari tugas utama para ulama. Sebab, jika hal-hal buruk dan menyimpang dibiarkan berlalu begitu saja, maka hal itu akan menjadi preseden buruk di kemudian hari, sehingga akhirnya dianggap benar oleh masyarakat.
Jika ada ulama yang diam saja terhadap penyimpangan yang terjadi secara terang-terangan, maka hal itu bisa disebabkan oleh beberapa kemungkinan: bisa karena dia menganggap hal tersebut tidak menyimpang; bisa karena dia tidak peduli; bisa karena tidak berani; bisa pula karena sedang menyusun strategi. Semua faktor ini tidak bisa dibenarkan, kecuali faktor yang terakhir.
Oleh karena itu, apa yang dinyatakan oleh Imam asy-Syathibi di atas sudah seharusnya senantiasa menjadi pijakan para ulama di masa ini, terutama pada saat mulai semaraknya komentar sinis terhadap sikap tegas para ulama atas berbagai penyimpangan. Sangat dibutuhkan keberanian dan ketangguhan mental untuk tidak takut dengan hujatan siapapun dalam memperjuangkan kebenaran. Dalam QS al-Maidah: 54, secara tegas disebutkan bahwa salah satu karakter utama para pembela agama adalah:
وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ
“… Dan mereka tidak takut dengan hujatan siapapun.”
Nah, saat ini, komentar-komentar miring terhadap langkah para ulama sudah diumbar dengan sangat bebas dan tanpa beban, khususnya di media sosial. Ketika ada ulama yang lantang bersuara untuk menentang berbagai penyimpangan, maka para netizen dengan nada sangat sinis, memberikan label-label penghinaan, semacam “kiai sumbu pendek”, “ulama kagetan” dan semacamnya. Ketika ada ulama yang mengedepankan cara-cara persuasif dalam menyikapi penyimpangan, maka dengan mudahnya mereka memberikan cap “kiai liberal” dan semacamnya.
Fenomena ini terjadi karena masyarakat kita belum siap menerima kebebasan informasi dengan sikap matang dan dewasa. Sehingga, ketika terjadi perbedaan pendapat antar satu ulama dengan ulama lain, maka pendukung masing-masing ulama langsung jual beli hujatan. Ketika hal itu dilakukan dalam bentuk tulisan yang terpublikasi melalui media sosial seperti saat ini, maka kesan delegitimasi terhadap ulama terasa dengan sangat vulgar dan terus menerus.
Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan jika media sosial dianggap sebagai salah satu biang keladi yang berperan besar menggerogoti wibawa para ulama saat ini. Media sosial telah membuat masyarakat awam mulai terbiasa menghujat ulama yang tidak sesuai dengan seleranya. Tradisi ta’addub kepada para kiai telah hilang gara-gara perbedaan selera. Jika hal ini terus terjadi, bisa-bisa masyarakat akan kehilangan tokoh panutan yang disegani. Bukan karena tiadanya tokoh yang layak dijadikan panutan, tapi karena masyarakat sudah terbiasa bersikap sinis kepada para ulama, sehingga apapun yang keluar dari ulama tidak diterima dengan hati, tapi diterima dengan rasa curiga. Ini berbahaya bagi peran ulama di masamasa yang akan datang dalam posisinya sebagai panutan umat.
Imam Hasan al-Bashri menyatakan:
النَّاس مِثْلَ البـهَائم لَصَار لَوْلا العلَمَاء
“Seandainya bukan karena ulama, maka manusia akan menjalani kehidupannya seperti binatang.”
Ulama bisa disebut tiada, jika masyarakat sudah tidak percaya kepada mereka. Tanda-tanda mengenai hal tersebut sudah banyak terjadi, khususnya di media sosial saat ini. Adanya perbedaan antara beberapa ulama Indonesia dalam menyikapi beberapa persoalan pemikiran dan masalah kebangsaan akhir-akhir ini, sesungguhnya merupakan dinamika perbedaan yang sudah sangat wajar dan tidak perlu untuk disikapi secara berlebihan.
Bahwa ada ulama yang cenderung reaktif dalam menyikapi sebuah persoalan, maka harus dipahami sebagai bentuk kepedulian dan ghirah keagamaan yang tinggi dalam memagari umat dari berbagai pendangkalan akidah dan hal-hal lain yang merugikan. Bahwa ada ulama yang bersikap sangat kalem dalam menanggapi hal itu, maka harus dipahami sebagai bentuk kebijaksanaannya dalam menyikapi segala sesuatu.
Artinya, kita mesti mendahulukan prinsip husnu-zhan dalam menilai pilihan sikap mereka, senyampang tidak terindikasi kuat mengorbankan agama dan umat demi kepentingan duniawi. Mengenai adanya ulama yang saling mengkritik antara satu sama lain, anggaplah hal itu adalah repetisi dari tradisi bahtsul masail yang sudah mengakar di dunia pesantren, dengan segala konfrontasi pemikiran di dalamnya sebagaimana yang sudah lumrah terjadi selama ini.
Sejatinya yang menjadi persoalan utama, bukanlah bagaimana perbedaan itu terjadi, tapi bagaimana menyikapi perbedaan itu agar tidak menjadi percikan api yang membakar, tapi justru menjadi kekayaan yang saling melengkapi. Hal itu bisa tercapai apabila perbedaannya hanya menyangkut cara, bukan menyangkut tujuan dan landasan. Kesalahan yang terjadi pada cara dan sarana, jauh lebih ringan daripada kesalahan dalam tujuan dan landasan. Dalam kaidah yang sangat terkenal disebutkan:
يُغْتَفَرُ فِي الوَسَائِلِ مَا لَايُغْتَفَرُ في المَقَاصِدِ
“Kesalahan dalam wasilah masih bisa ditoleransi, tapi kesalahan dalam tujuan tidak bisa ditoleransi.”
Jika tujuan dan landasannya yang salah, maka akan sangat sulit dipadukan. Sebab, pada dasarnya mereka bukan sedang membangun, tapi sedang berebut: berebut massa, popularitas, pengaruh, atau bahkan kepentingan materi. Motivasi ini membuat para ulama sulit bersatu, karena yang terjadi di antara mereka adalah saling curiga, bukan berupaya untuk saling memahami. Tipe ulama seperti inilah yang oleh Imam al-Ghazali disebut sebagai ulama duniawi atau ulama sû’ (ulama yang buruk). Dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn, beliau menyatakan bahwa ulama sû’ itu adalah:
اَلَّذِيْنَ قَصْدُهُمْ مِنَ العِلْمِ التَنَعُّمُ بِالدُّنْيَا وَالتَّوَصُّلُ إِلَى الجَاهِ
“Ulama yang menjadikan ilmu (keulamakannya) sebagai perantara untuk mendapatkan kenikmatan duniawi dan kedudukan.”
Maka, ketulusan dalam membimbing umat dan kemauan untuk saling memahami antara satu sama lain merupakan hal paling mendesak untuk dimiliki oleh para ulama di masa ini. Tanpa itu, lambat laun ulama akan semakin kehilangan ‘tajinya’ di masyarakat; dan masyarakat akan semakin kehilangan pegangan.
Ahmad Dairobi/sidogiri