مَا تَوَقَّفَ مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِرَبِّكَ وَلَا تَيَسَّرَ مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِنَفْسِكَ

“Tidak akan sia-sia keinginan yang kau minta pada Tuhanmu, dan tak akan mudah harapan yang kau minta pada dirimu”

Dalam hikmah ini Ibnu Athaillah berkata; “Kau tidak akan kecewa selama kau tautkan setiap harapkan kepada Allah, percaya penuh akan datangnya pertolongan dari-Nya dan tidak memandang sedikitpun kepada daya dan upaya diri sendiri. Sebaliknya, kau tidak akan memperoleh pertolongan selagi masih mengandalkan usaha sendiri dan menganggap penting daya dan upayamu yang lemah.

Kira-kira apa yang melatarbelakangi hikmah Ibnu Athaillah ini? Adakah dalil yang mendasarinya? Sumber yang dijadikan pijakan oleh Ibnu Athaillah untuk mengukuhkan makna dalam hikmah ini adalah al-Qur’an dan Hadis. Kerangka makna di dalamnya juga sesuai dengan prinsip dasar ideologi Islam. Sehingga pemahaman ini akan terbentuk dalam setiap jiwa orang Islam yang kental dengan bahasa al-Qur’an dan Hadis. Dalam QS. Fathir (15:35) tertulis bahwa manusia adalah makhluk yang butuh (faqir) kepada Allah Dzat Mahakaya. kata faqir (butuh) di sini tidak saja mengarah pada kebutuhan materi belaka. Namun mengena pada setiap elemen terkecil manusia sekalipun.

Lalu kita dikenalkan pada satu bacaan yang merangkum inti dari keberadaan manusia sebagai makhluk yang faqir yaitu ‘Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhi’. Kalimat yang juga dikenal dengan sebutan hawqalah itu mengisyaratkan secara kebahasaan bahwa segala daya dan upaya makhluk itu tidak ada sama sekali. Karena dalam kandungan kalimat itu tersimpan hakikat ubudiyah, dan karakter ubudiyah adalah bahasa lain dari kefakiran manusia kepada Tuhan. Maka Muhammad bin Ishaq dalam suatu kesempatan meriwaytakan bahwa Malik bin al-Asyja’i sowan kepada Rasulullah dan berkata: “Putraku ‘Auf telah ditawan pasukan musuh, dan ibundanya teramat sedih akan hal itu.” Kemudian Rasulullah menyarankan untuk memperbanyak membaca ‘Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhi’, dan tak lama dari itu, ‘Auf datang dengan kegembiraan dan membawa harta rampasan.

Dalam Sahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan riwayat yang artinya: “Mukmin yang tangguh lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah, masing-masing ada kebaikan. Bersemangatlah (meraih) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan Allah dan jangan lemah.” Poin yang perlu digaris-bawahi terdapat pada frasa ”mintalah pertolongan Allah dan jangan lemah.” Di sini kita mengerti, Allah memerintahkan kita untuk lebih dulu meminta pertolongan-Nya, kemudian melarang kita untuk menyerah. Tampak sekali bahwa jalan untuk keluar dari kelemahan dan ketidak mampuan adalah meminta bantuan dan pertolongan Allah. Maka senantiasa meminta taufiq dan ma’unahdari Allah adalah langkah utama yang mesti menghiasi setiap usaha manusia. Baru kemudian ia berusaha dengan segala daya upaya untuk mensukseskan usahanya dan menghilangkan hal-hal yang kiranya menghambat dan membuat tidak berhasil. Biasanya, seseorang bisa memiliki semangat kerja setelah ia mengawali langkah dengan meminta pertolongan Allah terlebih dahulu. Meminta pertolongan Allah di awal usaha secara tidak langsung akan memberi sugesti bahwa ia akan berhasil. Karena cara termudah untuk mensuport rasa ercaya diri adalah dengan mengandalkan Allah di setiap langkah.

***

Di atas telah dipaparkan bahwa prinsip dasar ideologi Islam mengajarkan tentang kefakiran manusia kepada Tuhan di setiap elemen kehidupan, bukan hanya fakir dalam

urusan duniawi, namun hampir di semua lini. Namun yang perlu dipahami di sini, setiap gerak, diam, berdiri, duduk dan berjalan adalah aktivitas manusia setelah dibekali qudrat oleh Allah. Kendati demikian bukan berarti setelah itu Allah membiarkan manusia bekerja sendiri. Sebagaimana dipahami oleh sebagian kelompok. Keyakinan semacam ini jelas keliru secara keilmuan dan logika sekaligus.

Allah ‘meminjamkan’ qudrat agar manusia bisa bekerja, dan pengawalan serta penjagaan Allah senantiasa berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap jengkah usaha manusia sangat butuh pada pertolongan dan qudrat dari Allah. Tak ada daya dan upaya sedkitpun dari usaha manusia. Sebagaimana makna dari kalimat ‘Lâ haula wa lâ quwwata illâ billâhi’.

***

Apakah kiranya buah yang bisa kita petik dari hikmah ini? Memahami hikmah ini menjadikan kita merasa berada di sisi Allah. Artinya di setiap gerakan, diam, aktivitas dan usaha apapun tak pernah hilang perasaan bahwa kita senantiasa butuh pada pertolongan Allah. Perasaan ini pada gilirannya menjadikan kita senantiasa mengingat Allah. Setiap kita hendak memulai aktivitas; berdagang, bertani, mengajar dan sebagainya, kita segera ingat bahwa langkah pertama dan yang paling utama adalah meminta pertolongan dari Allah. Jika sejak awal kita sudah mengingat Allah, besar kemungkinan hingga penghujung usaha, kita akan senantiasa mengingat Allah. Bahkan kita merasa ada perhatian lebih dari Allah. Mengapa? Karena sejak awal kita ‘melibatkan’ Allah untuk mengawal usaha kita.

Baca juga: Bagaimana Cara Terbaik Berlindung Kepada Allah

Bagaimana kita tidak mengingat Allah, sedangkan dalam hati kita yakin; “Tiada yang menggerakkan ku selain kekuatan-Nya. Aku tidak mampu bangkit melainkan bersamaan taufiq dari-Nya.” Pemahaman ini akan terpatri dalam ucap serta sikap seseorang yang memahami betul intisari dari hikmah ini. Seolah-olah sikapnya senantiasa bermunajat; “Ya Allah, Ya Allah.” Dan inilah wujud pengamalan seruan dalam al-Qur’an agar kita senatiasa lari kepada Allah, sebagaimana termatub dalam QS. Adz-Dzariyat (50;51)

Keadaan berbeda akan kita hadapi seandainya kita memulai aktivitas dengan mengandalkan diri sendiri. Kita abai atas kekuatan maha dahsyat yang Allah miliki. Tak heran yang terjadi justru adalah rasa cemas dan tidak percaya diri.

Spread the love