Ada keunikan tersendiri, saat memasuki pembahasan sifat yang satu ini. Pasalnya, nama tauhid diambil dari kata wahdaniyah. Tentu, penamaan semacam ini tidak asal comot saja. Ada keistimewaan yang tidak dimiliki sifat yang lain, sehingga Syekh Bayjuri dalam kitab Tuhfatul-Murid Syarh Jauharut-Tauhid menyebutkan pembahasan wahdaniyah, menjadi pembahasan paling mulia dalam fan yang kita pelajari saat ini.

Di antara keunikannya, sifat ini mencakup semua sifat Allah yang wajib kita ketahui. Mulai sifat wajib, mustahil hingga jaiz. Pendekatan mudahnya, kalimat لا اله الا الله  (Tiada tuhan selain Allah) masyhur dengan sebutan kalimat tauhid. Imam Sanusi memaparkan melalui kitab Syarh Ummul-Barahin, bahwa kalimat tersebut merupakan bentuk pengesaan (wahdaniyah). Beliau melanjutkan pembahasannya dengan menyebutkan apa saja yang tercakup dalam kalimat tauhid. Nyatanya, semua sifat wajib, muhal dan jaiz tercakup dalam kalimat yang mengandung arti wahdaniyah ini.

Bagaimana bisa beraneka sifat itu tercakup dalam satu sifat? Sekaligus menjawab, saya akan menerangkan pengertian utuh dari sifat wahdaniyah.

Ada tiga arti di dalamnya: menafikan zat dan sifat Allah lebih dari satu, menafikan ada sosok selain Allah yang sama dengan Allah dalam zat maupun sifat, dan pencipta pekerjaan hanyalah Allah, tanpa ada pencipta yang lain.

Mari kita bahas satu-persatu!

Baca Juga: Ahlussunnah dan Dinamika Perbedaan

Zat dan Sifat Allah Tidak Berjumlah

Di antara yang dinafikan sifat keesaan ialah Kam Muttasil (jumlah yang berhubungan dengan Allah secara langsung). Hal ini berkaitan dengan zat dan sifat Allah secara langsung.

Mengenai zat Allah yang Maha Esa, memiliki pengertian bahwa zat Allah tidaklah tersusun dari beberapa bagian. Allah tidak memiliki anggota badan. Jadi, zat Allah itu memang satu, bukan tersusun dari beberapa bagian sehingga terbentuklah Allah.

Di dalam Syarh as-Sanusiyah, Syekh Baijuri menjelaskan perkataan, “Allahu-Akbar,” bukanlah memiliki arti Allah besar, lantaran tersusun dari beberapa anggota, melainkan memiliki arti Maha Agung. Pembahasan semacam ini juga berkaitan dengan menafikan Kam Muttasil.

Mengenai wahdaniyah dalam sifat, terfokus kepada satu jenis sifat. Sifat Allah tidak terbatas. Namun, satu jenis dari sifat yang banyak itu hanya satu. Tidak lebih! Sebagaimana penjelasan Syekh Nawawi al-Bantani saat menerangkan wahdaniyah di Nuruzh-Zhalam. Beliau menyontohkan sifat qudrah. Allah hanya memiliki satu sifat qudrah. Bukan dua qudrah. Apalagi banyak qudrah. Begitu pula sifat kesempurnaan yang lain.

Inilah yang menyebabkan Imam Sanusi dalam Tafsir Itqan-nya, kurang setuju akan lafal yad yang ditakwil qudrah. Sebab, di al-Quran lafal yad ada yang memakai kata mufrad, tatsniyah, bahkan jama’. Jika ditakwil qudrah, bisa sampai kepada kesimpulan qudrah Allah bisa lebih dari satu.

Tiada yang Menyerupai Zat dan Sifat Allah

Wahdaniyat juga menafikan Kam Munfasil. Kam ini lebih mengarah terhadap sosok selain Allah yang memiliki zat atau sifat yang sama dengan Allah.

Dengan dinafikannya Kam Munfasil, maka mustahil ada zat lain yang serupa dengan Allah. Begitu pula mustahil, ada sosok yang memiliki sifat yang sama persis dengan sifat Allah.

Jadi, wahdaniyah memiliki arti Allah tidak butuh kepada selain Allah, dan selain Allah secara keseluruhan butuh kepada Allah.

Dari itu, sifat Allah yang wajib diketahui orang mukallaf tercakup di dalam sifat ini.

Baca Juga: Ideologi Ngawur Syiah

Pencipta Perbuatan Hanya Allah

Termasuk rukun iman poin terakhir, semua datang dari Allah. Tidak sedikit pun tercipta dari kemampuan makhluk tersendiri.

Imam Haramain dalam kitab al- Waqif berpandangan, kemampuan yang dimiliki makhluk, tidak lain diciptakan oleh Allah sendiri.

KH. Nawawi bin Abd. Djalil memberikan pendekatan menarik tentang hal ini. Dalam kitab beliau al-Ma’man minadh-Dhalalah dicontohkan dengan bila seseorang menendang bola, lalu bola tersebut jatuh ke dalam got. Apa bola itu jalan sendiri? Tentu tidak! Lantaran, ada yang menendang. Kenapa bolanya kotor? Jelas karena jatuh ke dalam got!

Di sini nampak jelas Ahlusunah wal Jamaah menengahi dua pemahaman yang kurang benar. Pertama, pemahaman yang menyatakan segala perbuatan murni datang dari makhluk. Kedua, makhluk tidak memiliki kasab, lantaran semua dari Allah.

Ingat, yang dinafikan oleh wahdaniyat fil af’al bukan berarti makhluk tidak memiliki kasab, melainkan menafikan keberadaan pekerjaan yang diciptakan oleh selain Allah.

Dengan memahami tiga poin di atas, jelaslah kepada kita bahwa sifat wahdaniyah mencakup segala sifat Allah yang wajib diketahui orang mukallaf. Dengan memahami wahdaniyah kita tahu bahwa Allah itu ada, dan tidak berawal. Andai berawal, maka Allah tercipta. Berarti ada pencipta selain Allah. Bagaimana mungkin, padahal telah disebutkan bahwa pencipta itu hanya Allah.

Bila Allah tidak berawal, maka jelas abadi. Sebab, sesuatu yang wajib qidam, maka wajib pula baqa’.

Saat mempelajari arti wahdaniyah yang menafikan Kam munfasil, menarik kesimpulan tiada saru pun perkara hadis yang menyerupai Allah. Begitu pula, qiyamuhu binafsihi.

Sifat penciptaan (muatstsir), mulai dari qudrah, iradah, ilmu, dan hayah menjadi wajib pula saat kita membaca wahdaniyah fil-af’al. Allah satu-satunya pencipta. Penciptaan sendiri memerlukan dengan sifat muatstsir tadi.

Sifat kesempurnaan juga wajib terhadap zat Yang Maha Esa. Zat yang tidak membutuhkan kepada siapa-siapa. Maka dari itu, sifat yang menyucikan dari segala kekurangan juga wajib, seperti sama’, bashar, dan kalam.

Muhammad Ibnu Romli/sidogiri

Spread the love