Muamalah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Muamalah menjadi bagian dari empat pembahasan penting dalam fikih, selain ubudiah, munakahah dan jinayat. Keempat hal ini, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abu Bakr Syaththa dalam I’anatut-Thalibin-nya untuk mengatur tatanan kehidupan manusia atas dorongan nafsu dan keinginan yang dimiliki, sesuai dengan tujuan Rasulullah diutus ke muka bumi.

Salah satu bentuk muamalah yang paling banyak dan hampir dilakukan oleh seluruh manusia adalah jual beli, atau bai’. Sementara di antara bagian dari transaksinya adalah pembelian dengan cara kredit, sering disebut bai taqsith yaitu transaksi jual beli dengan harga yang lebih tinggi daripada harga pada biasanya (sistem cash). Dengan artian, dalam jual beli tersebut sudah jelas harganya kredit sekian dan kalau cash/tunai sekian.

Pada praktiknya, saat melakukan transaksi pembeli akan ditawarkan opsi kontan atau kredit. Tentunya dengan harga yang berbeda; kontan lebih murah dibanding kredit. Satu unit sepeda motor seharga 15 juta dengan kontan, dengan kredit selama 3 tahun bisa mencapai 17 juta atau lebih. Tiap bulan, pembeli menyerahkan cicilan, hingga dinyatakan lunas pada waktu yang ditentukan.

Praktik demikian menyisakan pertanyaan di tengah masyarakat, apakah tidak termasuk jual beli dengan dua harga, atau bahkan temasuk riba?

Sebagaimana diatur dalam konsep fikih, dalam transaksi jual beli di antaranya tidak diperbolehkan akad dengan dua harga. Dalam hadis riwayat at-Tirmidzi disebutkan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ

“Rasululullah melarang dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Pada praktik jual beli sistem kredit ada dua sorotan utama, apakah mengandung riba, lantaran melebihi harga kontan, atau terjebak pada dua akad yang dilarang, sebagaimana hadis di atas? Dalam kajian fikih, akad tersebut diistilahkan al-‘aqdain fil-‘aqdatau al-bai’ain fil-bai’ah yang berarti dua akad yang terkumpul dalam sesuatu transaksi. Ini adalah salah satu praktik yang dilarang.

Baca Juga: Kemudahan Dalam Kesulitan Syariah

Pada dasarnya, transaksi jual beli hukumnya adalah mubah, kecuali di dalamnya terdapat unsur penipuan (gharar) dan spekulasi (maysir). Dalam artian, antara pembeli dan penjual jangan sampai kedua belah pihak ada yang dirugikan. Dari itu, praktik transaksi yang mengarah pada penipuan atau spekulasi dilarang, karena bisa merugikan salah satu pihak.

Terkait dengan satu barang dua akad yang dilarang adalah transaksi jual beli terhadap satu barang, belum diketahui kesepakatan, sistem apa yang akan digunakan dalam transaksi, kredit atau kontan, sudah jadi. Akad jual beli masih mengambang, belum jelas dan belum pasti apakah secara tunai atau tidak. Tiba-tiba sudah jadi, sehingga salah satunya yang akan menetapkan sistem apa yang akan dilaksanakan. Inilah praktik yang dilarang.

Ambil contoh, dalam transaksi penjual mengatakan, “Saya jual sepeda motor ini, 10 juta kontan atau 1,5 juta kredit.” Kemudian pembeli menerimanya, tanpa diketahui harga yang mana ditentukan dan diambil dengan menyatakan, “Ya, saya beli”. Transaksi demikian, tidak diperbolehkan, karena antara dua belah pihak tidak ditemukan kesepakatan harga, dan sistem mana yang diambil, apakah yang 10 juta tunai atau 1,5 juta kredit? Oleh karena itulah imam Bujairami dalam Bujairami ‘alal-Manhaj menjelaskan alasan ketidakabsahan praktik seperti itu:

وَعَدَمُ الصِّحَّةِ فِيهِ لِلْجَهْلِ بِالْعِوَضِ

“Tidak sahnya praktik tersebut adalah karena ‘iwadh (harga) tidak diketahui (pembeli tidak menjelaskan harga mana yang dipilih)” (Bujairami ‘alal-Manhaj: II/209)

Ketidakjelasan ‘iwadh inilah yang menjadi sumber kebatalan dari transaksi. Pembeli menerima penjualan yang masing mengambang atau diterima keduanya, sehingga keputusan berikutnya ditentukan oleh salah satunya.

Berbeda ketika pembeli telah memilih salah satunya, maka hal tersebut diperbolehkan karena harganya sudah ditentukan dan diketahui. Misalnya, pembeli menyebut, “Ya, saya kredit dengan harga Rp. 1,5 juta,” maka sah.

Terkait dengan hal ini, Imam at-Turmudzi (5/735) menjelaskan:

وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ قَالُوا: بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ أَنْ يَقُولَ: أَبِيعُكَ هَذَا الثَّوْبَ بِنَقْدٍ بِعَشَرَةٍ، وَبِنَسِيئَةٍ بِعِشْرِينَ، وَلَا يُفَارِقُهُ عَلَى أَحَدِ البَيْعَيْنِ، فَإِذَا فَارَقَهُ عَلَى أَحَدِهِمَا فَلَا بَأْسَ إِذَا كَانَتِ العُقْدَةُ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمَا

“Sebagian ahli menafsirkan hadis tersebut dengan mengatakan: “Maksud dua bai’ dalam satu transaksi, semisal penjual menyatakan, ‘saya menjual baju ini dengan harga 10 kontan dan 20 kredit”. Ia tidak memastikan pada salah satu transaksi, (ini tidak sah). Jika ia memastikan pada salah satunya, maka tidak masalah (boleh), ketika ikatan jadi pada salah satu dari kedua sistem.”

Dengan maksud lain, apa yang disebutkan dua sistem dari penjual sudah berbentuk akad. Contoh yang banyak dikemukakan oleh ulama adalah bi’tuka yang artinya saya jual. Bukan bentuk penawaran dari penjual yang kemudian akan dipilih oleh pembeli; kredit atau kontan.

Baca Juga: Serambi Masjid Dalam Kaitan Wanita Haid

Jika melihat demikian, praktik yang ada di masyarakat memang demikian. Penjual menawarkan harga dengan dua sistem yang bisa dipilih oleh pembeli. Saat itu, pembeli akan mempertimbangkan. Baru kemudian, ada keputusan, model apa yang disepakati; kredit atau kontan.

Jika sudah seperti itu praktiknya, berarti tidak ada masalah, karena antara penjual dan pembeli sudah menetapkan dua alat tukar (iwadh), yang tentunya setelah proses nego. Semuanya berjalan sesuai kesepakatan, setelah pembeli menentukan.

Hanya kemudian, apakah dengan kredit yang harganya melebihi harga kontan adalah riba? Riba memang secara bahasa adalah tambah. Namun, tidak semua yang bersifat tambahan adalah riba. Tambahan dalam jual beli bukan disebut riba, melainkan keuntungan atau laba (ribh), dan itu halal.

Pembelian dengan kredit, berarti ketetapan harga barang sesuai dengan yang ditetapkan penjual. Pembeli membeli barang tersebut sesuai harga yang ditetapkan penjual. Karena kredit, penjual menaikkan harga jualnya. Ini tentunya berbeda dengan hutang Rp 100 ribu yang harus membayar Rp. 150 ribu.

Dengan demikian, dalam transaksi sistem kredit, unsur penghalang tidak ditemukan, jika memang sudah menjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli. Harga lebih tinggi dibanding membeli cash/ jual beli yang pembayarannya ditangguhkan dan penambahan harga untuk pihak penjual hukumnya sah, asalkan transaksi/akad antara penjual dan pembeli dilakukan secara sharih/jelas. Wallahu a’lam.

Spread the love