Menjadi penjahat kelas teri pada tahun 1980-an sama saja dengan mati sia-sia. Pasalnya, sekitar tahun 1983-1985, pemerintah melancarkan operasi rahasia yang oleh masyarakat biasa disebut Petrus (Penembak Misterius). Sasaran utamanya adalah pelaku kriminal, premanisme dan segala tindak perbuatan yang meresahkan masyarakat. Tak tanggung-tanggung, korban Petrus mencapai lebih dari seribu jiwa.
Masa-masa kelam itu bermula dari keberhasilan Kapolda Metro Jaya membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Tahun 1982, Soeharto menganugerahi penghargaan pada Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan tersebut. Pada tahun yang sama, Soeharto meminta polisi dan ABRI melakukan langkah efektif untuk mengurangi angka kriminalitas.
“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto.
Baca Juga: 10 November 1945, Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Permintaan Presiden tersebut kemudian berlanjut ke tingkat daerah-daerah. Jogjakarta merupakan daerah pertama yang melancarkan ini operasi ini. Letkol. M. Hasbi, Komandan Kodim Yogyakarta memberi nama Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Awalnya operasi ini dianggap hanya bertujuan mendata pelaku kriminal. Namun para eksekutor operasi tersebut tak segan menembak mati siapa saja yang dianggap sebagai gali (gabungan anak liar).
Banyak mayat bergelimpangan dalam operasi yang terjadi di kawasan Jawa Tengah dan Jakarta tersebut. Di hutan, semak, di pinggir jalan, bahkan di emperan toko. Ada yang yang dibuang begitu saja, ada juga yang dikarungi. Semuanya mati mengenaskan dengan lubang bekas tembak di kepala atau dada dan terselip sejumlah uang. Mayat tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada yang tahu siapa pelakunya. Biasanya, calon korban akan dijemput atau tiba-tiba menghilang dan esoknya sudah menjadi mayat. Masyarakat yang menemukannya akan menggunakan sejumlah uang yang terselip sebagai biaya pemakaman.
Banyak spekulasi, pro-kontra dan catatan hitam dalam kasus ini. Masyarakat tak sedikit yang merasa lebih tenang sebab tak ada lagi keresahan. Sebagian lagi malah menyayangkan hal itu sebab kemudian operasi ini sering salah sasaran. Tak hanya masyarakat, di antara tokoh negara juga terjadi pro-kontra. Banyak yang menyayangkan kejadian tersebut karena dianggap tidak melalui mekanisme hukum, tanpa pengadilan dan termasuk kejahatan kemanusiaan.
Baca Juga: Madiun Affairs: Konflik Yang Dimanfaatkan Belanda
Koran Sinar Harapan (edisi 23 Juli 1983) memuat pernyataan Kepala Bakin, Yoga Soegama yang mengatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius. H. Adam Malik, mantan Wakil Presiden, menyatakan ketidaksetujuannya.
“Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kata Adam. Ia mengingatkan, “setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran.” (Terbit, 25 Juli 1983).
Pemerintah Orde Baru menghentikan operasi tersebut pada tahun 1985 setelah mendapatkan banyak tekanan, baik nasional maupun dunia internasional. Sejak mulai beroperasi, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), korban tewas paling banyak terjadi pada tahun 1983 dengan jumlah 781 jiwa.
Ketika ditanya tentang operasi Petrus, Soeharto menjawab, “Ya, nanti biar saya yang bertanggung jawab kepada Tuhan.”
N. Shalihin Damiri/sidogiri