Seorang anak bertengkar dengan ibunya. Pertengkaran sengit, hingga sang ibu mengusirnya dari rumah. Akhirya, sang anak meninggalkan rumah. Ia berjalan tanpa tujuan, dan akhirnya sadar bahwa dirinya pergi tidak membawa uang sama sekali.
Rasa lapar menyapanya. Perutnya terus memberontak, karena seharian tidak diasupi makanan. Ia berdiri di depan sebuah warung makan, dan hanya bisa memandang orang-orang yang menikmati makanan dengan menu masakan yang beraneka ragam.
Sang pemilik warung mengamati anak tersebut cukup lama, karena ia berdiri di depan warungnya, tanpa memesan makanan. Hanya memandang dan mengelus perutnya. Ia pun menyapa anak tersebut.
“Nak, apa engkau akan memesan makanan?”
“Ya, tapi saya tidak punya uang” jawab sang anak memelas.
“Tidak apa-apa, aku akan memberimu gratis”
Dengan lahapnya, anak itu menyantap makanan yang diberikan pemilik warung. Sejurus kemudian, matanya berkaca-kaca. Buliran air mata menetes.
Pemilik warung bertanya, “Ada apa, Nak. Kok menangis?”
“Tidak apa-apa. Saya hanya terharu, karena Bapak yang baru saya kenal memberi makanan gratis, sementara ibu saya mengusirku dari rumah.”
“Nak, kenapa kamu berpikir seperti itu? Saya hanya memberimu sepiring makanan, engkau begitu haru, sementara ibumu merawat, memasak nasi, lauk pauk, setiap hari. Bertahun-tahun ibumu melakukan itu, sampai kamu dewasa. Seharusnya, engkau pikirkan itu dan berterima kasih kepadanya.”
Anak tersebut terkesiap kaget, bergegas pulang. Di depan pintu, sang ibu menanti dengan harap cemas. Ketika melihat anaknya pulang, keluar dari mulut sang ibu, “Nak, kau sudah pulang. Cepat masuk. Ibu telah menyiapkan makanan malam.”
Mendengar itu, sang anak menangis, merangkul dan mencium kaki ibunya.
Baca Juga: Kedahsyatan Do’a Buruk Orang Tua
Kita sering melupakan kebaikan yang sudah sering kita terima, dan dengan satu kesalahan saja emosi dan amarah meluap-luap sembari memuntahkan rasa kebaikan yang telah diterima. Terlalu nikmat merasakan fungsi indera, sehingga lupa betapa besar nikmat itu diberikan, sejak kita lahir. Terlalu banyak nikmat diberikan orang tua yang dengan semua pengorbanannya merawat dan mendidik, sehingga lupa terhadap nikmat itu.
Terkadang, saat kita terbelit oleh kesulitan ekonomi, emosi meluap seolah-olah Allah telah melupakan kita. Sementara, kebaikan-Nya telah diberikan sejak Allah mempertemukan orang tua kita; menjadi cikal bakal kelahiran kita di dunia. Allah melunakkan hati orang tua kita hingga dengan sabar, tanpa ada rasa beban merawat kita hingga menjadi dewasa.
Namun, karena kebaikan itu dialami dan diterima dalam keseharian kita, sering kita lupakan. Seolah itu hal yang biasa dalam hidup. Sementara, pemandangan dan pemberitaan sering kita temukan, ada anak yang dibuang, anak yang terlantarkan, hingga anak yang dijual oleh orang tuanya. Apa yang terjadi, jika itu adalah kita?
Kehadiran orang tua adalah kunci surga bagi kita, terutama ibu. Ibu, dengan sabar menunggu kehadiran kita, sejak ada benih-benih kehidupan. Pegal dan muntah adalah kebahagiaan bagi ibu. Tetangga bertanya, hamil? Dengan bangga ibu kita menjawab, ya.
Namun kemudian, semuanya seolah terlewati karena itu hal lumrah terjadi, dalam keseharian, pada diri dan lingkungan kita. Pada akhirnya, kebiasaan itu menjadikan kita terlena pada nikmat yang telah diterima. Dari itulah, mengapa Allah mengurai kepatuhan kepada dua orang tua dengan pengorbanan yang telah dilakukan mereka, kemudian diberikan petunjuk untuk bersyukur.
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah serta menyapihnya dalam dua tahun. Agar bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orangtua kalian. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali.” (QS. Luqman: 14)
Perintah syukur pada ayat ini ditujukan kepada anak, kita, kepada Allah dan orang tua. Dengan apa kita bersyukur? Mengenang kebaikan; kebaikan yang telah diberikan Allah dan orang tua. Kenangan itulah yang kemudian akan melahirkan tindakan patuh dan balas budi.
Dari itu, Allah menggambarkan kebaikan orang tua sebelum perintah bersyukur, karena seringkali kita melupakan kebaikan, menyebut jasa-jasa baik yang telah diterima. Justru yang sering adalah melihat kekurangannya saja.
Baca Juga: Pentingnya Komunikasi Anak Dengan Orang Tua
Terkadang, kepada orang tua, yang kita ingat adalah bagaimana saat mereka marah, jarang mengingat bagaimana kasih sayang mereka terhadap kita. Mungkin karena itulah, mengapa Allah pesan bersyukur kepada-Nya dan kedua orang tua dengan kata wasiat. Ada penekanan, karena sering hal itu terlupakan oleh seorang anak.
Dari itulah, kenapa anak dalam cerita di atas begitu kaget saat disinggung kebaikan orang tuanya? Karena pada dirinya ada kebaikan yang telah dilupakan, sehingga rasa syukur itu hilang. Hal yang diingatnya, hanya kemarahan ibunya. Justru dengan satu kebaikan saat dirasa sangat mendesak, rasa balas budi itu muncul, padahal kebaikan itu telah diterimanya sejak merasakan alam dunia, atau bahkan saat di kandungan.
Sebagai wujud dari syukur paling sederhana saat menerima kebaikan adalah mengucapkan terima kasih. Ini adalah aksi nyata pertama sebagai wujud rasa syukur yang dilanjutkan dengan aksi-aksi lainnya. Kemudian, dengan pengorbanan orang tua yang demikian besar, pernahkah kita mengucapkan sekali saja dengan tulus, “terima kasih” atas pengorbanan mereka?
Rasanya kita sudah sering mendengar cerita anak sukses, baik agama dan ekonominya, setelah ditelusuri ternyata tindakan baktinya kepada orang tua demikian besar. Hal itu, karena balas budi kepada orang tua adalah ahli syukur, sedangkan yang sangat serius bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya. Berarti anak yang paling tahu balas budi pada orang tua adalah anak yang paling nikmat hidupnya, sebab sikapnya itu Allah akan selalu menambah nikmat-Nya.
Kita juga sering mendengar cerita anak durhaka yang kemudian nista dalam agama dan ekonominya. Hal itu, karena lupa kebaikan mereka, sehingga rasa syukur kering dalam dirinya, atau dalam bahasa al-Quran kufur terhadap nikmat. Endingnya, adzab yang akan diterima. Ini merupakan ketetapan Allah sesuai pada surah Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Ingatlah tatkala Rabb kalian menetapkan: jika kalian bersyukur niscaya akan Ku tambah (nikmatku) pada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri