Generasi milenial memiliki tantangan yang beragam. Selain kerukunan keluarga yang membentuk pondasi awal bagi pemahaman seorang anak, pergaulan, dan arus informasi yang tak terbendung juga menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan pengetahuan dan kesadaran. Orang tua, sekolah, dan lingkungan sangat mendukung dalam pembentukan ini. N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media mewawancarai Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., dosen Psikologi dan Ilmu Sosial-Budaya Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, untuk memberikan pandangannya akan hal tersebut.
Apa yang paling penting diperoleh seorang anak?
Hal yang penting, tentu saja anak-anak harus bisa memastikan dirinya atau kita bantu kepastiannya bahwa dia akan selamat dunia dan akhirat. Oleh karena itu, yang penting untuk mereka miliki adalah pengetahuan yang baik tentang agama. Sekolah atau pesantren sudah melakukan hal itu, tetapi orang tua tentu saja harus lebih optimal.
Selama ini kita berpikir, termasuk saya, sekolah sudah memberikan bekal yang cukup, tetapi sejatinya kita membutuhkan agar anak memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup atau maksimal. Jadi tidak hanya tahu tentang akidah pokok agama, tetapi hal-hal lainnya seperti mampu berbahasa Arab dan lain sebagainya. Begitu juga, anak-anak tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga mampu mempraktikkan hasil pengetahuannya.
Kemudian, seorang anak harus dibiasakan beribadah sejak kecil. Misalnya saat Ramadhan, ya biasakan membawanya saat ibadah: baca al-Quran, dzikir, praktik salat, belajar, dan lain sebagainya. Itu akan lebih optimal jika orang tua mempraktikkannya di rumah dan mereka hidup di lembaga pendidikan seperti pesantren. Itu akan membantu anak akan lebih akrab dengan praktik dan pengetahuan keagamaan.
Baca Juga: Pendidikan Tepat untuk Generasi Selamat
Menyiasati derasnya arus informasi?
Anak juga perlu diajari menerima informasi yang benar atau tidak, kredibel atau tidak. Informasi begitu banyak tersedia di internet. Kita sebagai orang tua harus jeli, sebab sebagian besar informasi yang tersedia adalah sampah. Sedangkan tempat bertanya anak-anak sekarang adalah internet. Jadi, ya, harus pandai menyeleksi. Kita sebagai orang tua harus pula mencari informasi pengimbang. Jangan hanya dari satu sumber. Informasi yang menumpuk di internet juga berpengaruh pada psikologi anak.
Orang tua memang harus sering berkomunikasi dengan anaknya. Jangan sampai anak lebih banyak berkomunikasi dengan dunia luar saat ia haus pengetahuan. Dengan demikian kita bisa tahu, apa yang diinginkan anaknya dan kita bisa memetakan (keinginan tersebut). Memang beda tiap orang, tetapi orang tua memiliki pengalaman yang lebih banyak.
Tantangan utama generasi milenial?
Yang paling mendesak menurut saya adalah semakin samarnya kebaikan dan keburukan, antara yang asli dan palsu. Ini semakin samar. Anak harus punya pegangan, norma agama, dan sosial yang baik.
Kalau kita lihat, misal ada preman, ia akan dibentuk dalam benak sebagai orang yang jahat dan buruk. Namun, perlu juga melihat sisi lain: ia sebagai manusia tetap memiliki nilai kebaikan. Itu yang juga harus dilihat. Bahkan ada (preman) yang memiliki komunitas dalam rangka kebaikan. Yang mau saya sampaikan adalah, jangan sampai anak kita memiliki orientasi baik/buruk pada orang atau organisasi, tetapi (berorientasi) pada norma yang baik.
Baca Juga: Pendidikan untuk Indonesia Beradil dan Beradab Solusi
Selanjutnya adalah, menurut saya, masalah toleransi. Di satu sisi, anak perlu dilatih mampu membedakan baik dan buruk. Namun, perlu juga dilatih bahwa apa yang disebut baik dan buruk itu menurut macam-macam orang dan kelompok, (maknanya) bisa berbeda. Akan banyak orang di luar kelompok kita yang memiliki patokan hidup yang lain.
Kita boleh meyakini bahwa yang kita ketahui adalah yang paling benar, tetapi kita juga perlu menyadari bahwa kelompok lain itu bisa mengaku benar menurut ukuran mereka. Jadi kita harus berlatih toleransi.
Menurut saya, ini memang tidak gampang. Orang tua harus memiliki keyakinan dan kepekaan akan nilai-nilai yang sudah dipegang teguh. Namun di sisi lain, orang tua juga harus mengajari anak tentang norma-norma yang sudah dipegang orang lain.
Tantangan berikutnya, menurut saya, sekarang mulai banyak kelompok masyarakat yang semakin brutal. Sekarang orang mudah melakukan kekerasan pada orang lain. Perundungan sudah sangat lumrah. Dan yang paling baru, di kawasan Jogja, adalah fenomena klitih, yakni anak muda bermotor yang melukai orang lain tanpa maksud tertentu dengan berbagai macam jenis senjata tajam. Kalau ditelusuri, paling banyak pelakunya masih anak-anak. Ya karena kurang kasih sayang dari orang tua. Sehingga mereka melampiaskan amarah jiwanya pada orang lain. Mereka tidak pandang bulu.
N.Shalihin Damiri/sidogiri