Secara bahasa adil ialah perlawanan dari penindasan atau kesewenang-wenangan, seperti -yang terdapat dalam Lisânul-Arab-, seorang hakim telah berbuat adil dalam sebuah hukum. Namun, secara istilah, sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam Abu Bakar al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Kitâbul-Kifâyah fi Ilmir-Riwâyah adil ialah orang yang diketahui melakukan semua kewajiban, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan dan hal-hal keji yang dapat menjatuhkan martabatnya, menetapi kebenaran dan kewajiban dalam setiap pekerjaan dan muamalahnya, menjaga lisan dari hal-hal yang dapat mencederai agama dan harga dirinya. Orang yang memiliki sifat tersebut merupakan orang adil dalam agama dan terkenal jujur dalam berkata.

Sedangkan yang dimaksud dengan ‘adâlah menurut Imam al-Ghazali, ialah ungkapan atas lurusnya perilaku dan agama seseorang yang dapat membuahkan kebaikan dalam dirinya untuk selalu bertakwa kepada Allah, menjaga harga dirinya dari segala perbuatan tercela, sehingga memunculkan sikap percaya diri dengan kebenarannya. Maka, perkataan orang yang tidak takut kepada Allah itu tidak dapat dipercaya, bahkan dianggap sebagian dosa kecil.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh imam al-Ghazali, Ali bin Muhammad al-Ba’li mendefinisikan ‘adalah sebagai sikap keagamaan yang membawa seseorang untuk selalu bertakwa kepada Allah dan menjaga harga dirinya tanpa disertai bidah. Hal ini dapat terwujud dengan cara meninggalkan dosa-dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil dan sebagian pekerjaan mubah.

Berikut pengertian adil atau ‘adalah menurut para ulama Ahlusunah wal Jamaah. Kendati pengertian yang disebutkan berbeda-beda, namun yang dimaksud adalah sama, yakni adil atau ‘adalah merupakan karakter yang terdapat pada diri seseorang yang membawanya untuk selalu bertakwa dan menjaga harga dirinya. Hal ini dibuktikan dengan selalu mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan berbagai larangan-Nya, serta menjauhi sesuatu yang dapat merusak harga dirinya, seperti fasik, selalu mengerjakan dosa, berbohong dan lain sebagainya.

Sifat adil atau ‘adalah ini terdapat pada diri para shahabat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki karakter mulia, bertakwa, istiqamah dalam ibadah, jujur dalam tingkah dan perkataannya, serta merupakan manusia pilihan yang diciptakan untuk membantu Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam, menyuruh pada kebaikan dan melarang untuk berbuat kemungkaran. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran;

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Âli Imran [03]: 110)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah [02]: 143)

Para ulama Ahlusunah meyakini bahwa semua shahabat Rasulullah merupakan orang adil yang keadilannya tidak perlu dipertentangkan. Imam al-Ghazali dalam al-Musthafa Ulûmul-Ushûl menegaskan bahwa keadilan shahabat telah maklum berlandaskan apa yang telah ditegaskan oleh Allah dan pujian-Nya dalam banyak ayat. Karena itu, seseorang tidak perlu lagi mentakdil para shahabat. Sebab, pentakdilan Allah lebih tepat, mengingat Dia adalah Dzat yang Maha Mengetahui terhadap yang ghaib.

Imam an-Nawawi menyatakan bahwa keadilan para shahabat sudah menjadi konsensus para ulama. Seseorang tidak diperbolehkan mengkritik para shahabat karena dikhawatirkan bisa menyimpang dari al-Quran dan Sunah yang telah menegaskan keadilan mereka. Sebab, para shahabat memiliki peran yang sangat besar dalam menegakkan dan membela agama, membela Rasulullah dalam memperjuangkan dan menyebarkan ajaran Islam. Mereka mengorbankan jiwa dan segala hartanya demi tegaknya agama, bersikap sesuai dengan tuntunan Allah dan sangat konsisten dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya Allah melihat ke dalam hati hamba-hamba-Nya, maka Dia menemukan bahwa hati Muhammad merupakan sebaik-baik hati manusia, sehingga Allah memilih dan mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat ke dalam hati-hati manusia setelah hati Muhammad, maka Allah pun menemukan hati para shahabat Nabi merupakan sebaik-baik hati manusia, sehingga Allah menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya.” (HR. al-Baihaqi, ath-Thabrani, Ahmad)

Shahabat merupakan orang pertama yang menerima ajaran Islam secara langsung dari Nabi. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Quran, sehingga generasi shahabat ini merupakan transmiter awal yang menyalurkan informasi dan nilai-nilai ajaran Islam dari nabi kepada generasi berikutnya. Tanpa peran shahabat, umat Islam tidak akan mengetahui apa-apa tentang Islam. Dengan demikian, periwayatan hadis yang disampaikan shahabat dapat dipastikan diterima.

Berbeda dengan kelompok Syiah. Mereka meyakini bahwa semua shahabat, tanpa terkecuali, tidak adil, tidak memiliki sifat ‘adalah. Para shahabat, menurut mereka, hanyalah manusia biasa. Pernyataan ini diungkapkan oleh al-Musawi dalam kitabnya Syiah fit-Târikh. Hal ini dibenarkan oleh at-Tustari asy-Syi’i dan menyatakan bahwa semua shahabat sama dengan manusia lainnya, tidak mempunyai keistimewaan tertentu, keimanannya tidak bisa serta merta ditetapkan tanpa ada pembuktian. Karena itu, konsep ‘adalah shahabat tidak dapat diterima.

Maka jelas, perbedaan antara Ahlusunah dan Syiah mengenai keadilan shahabat. Kalangan Ahlusunah menyatakan bahwa para shahabat adalah orang adil yang keadilannya telah menjadi konsensus ulama, sedangkan Syiah menistakan keadilan para shahabat dan menyamakan mereka seperti manusia biasa. Wallâhu a’lam

Ahmad Rizqon/sidogiri

Baca juga: Kronik Sejarah Kesaktian Keadilan

Baca juga: Menguji Keadilan Shahabat Nabi

Spread the love