Beberapa waktu yang lalu, dunia maya kita dihebohkan dengan komentar Presiden Negara Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, yang mengomentari film lokal yang sedang ramai ditonton: Dilan 1990. Menurut beliau, film tersebut merupakan “sebuah kesederhanaan yang diambil sudutnya dengan sudut pandang dengan kamera yang pas, sehingga semua orang menjadi kaget dan menjadi sebuah booming”. Selepas komentar tersebut, seperti biasa, masyarakat Indonesia menjadi gaduh dan ramai membincangkannya.
Tidak selang begitu lama, kemudian masyarakat Indonesia menjadi heboh dan gaduh lagi, kali ini kegaduhan dipicu oleh aksi Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) yang menerbitkan edaran berupa larangan mahasiswi memakai cadar ketika sedang mengikuti kuliah. Bersamaan dengan viralnya edaran tersebut, kritik pun bermunculan dari berbagai pihak, yang membikin Si Rektor dengan terpaksa mencabut kembali larangan tersebut.
Di sini kita melihat, bahwa kebanyakan dari kita sepakat bahwa apa yang dilakukan rektor tersebut tidak pas dilihat dari sudut pandang apapun. Dilihat dari sisi landasan negara yang berasaskan Pancasila dan bhineka tunggal ika, melarang cadar juga tidak pas, karena bertentangan dengan toleransi, keberagaman, dan konstitusi yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Dilihat dari status universitasnya, yang merupakan universitas Islam, serta Si Rektor yang merupakan seorang Muslim, pelarangan itu makin tidak pas, karena bagaimana bisa Universitas Islam dan Rektor Muslim kok melarang penerapan ajaran Islam?
Jadi intinya, masyarakat telah memberikan respons yang pas terhadap kebijakan Rektor yang tidak pas tersebut. Namun kendati demikian, ada sebagian kelompok dari umat Islam yang ikut numbrung dalam kegaduhan perihal cadar itu, akan tetapi kegaduhan yang mereka ciptakan sama sekali tidak pas, dalam arti suara bising mereka tidak diarahkan pada telinga Rektor yang membuat kebijakan tidak bijak tadi, melainkan justru diarahkan pada umat Islam yang mengkritik Si Rektor. Padahal telah jelas siapa yang perlu dikritik dan siapa yang harus didukung. Benar-benar kegaduhan yang tidak pas dilihat dari sudut pandang manapun.
Sebagian dari mereka mengatakan, bahwa kebijakan itu adalah hak prerogatif Rektor, karena universitas itu ada di bawah kekuasaannya. Kalau ada mahasiswi yang tidak sepakat, gampang, tinggal keluar dari universitas dan cari tempat lain. Beres. Menurut hemat saya, itu adalah komentar yang tidak argumentatif, tampak emosional dan mematikan diskusi, sehingga tidak layak untuk ditanggapi. Umumnya, komentar seperti itu muncul dari kalangan liberal yang kurang atau tidak berpendidikan.
Baca juga: Benang Kusut Polemik Cadar
Sebagian yang lain juga tidak mengkritik kebijakan Sang Rektor, namun mereka justru sibuk mendiskusikan status hukum memakai cadar itu sendiri, yang memang terjadi silang pendapat di kalangan para mujtahid dan ahli fikih, antara yang mengatakan wajib, dan yang mengatakan sunah (jika ada jaminan aman dari fitnah). Maka, menurut kelompok ini, adalah salah jika kita menyalahkan Sang Rektor, karena tidak semua ulama mengatakan bercadar itu wajib.
Maka bagaimanapun harus dikatakan, kegaduhan yang diciptakan golongan ini juga tidak pas. Mengapa? Sebab Si Rektor melarang cadar karena menganggap pakaian itu radikal. Titik. Itu artinya, baik ulama yang mengatakan bercadar itu wajib maupun yang mengatakan sunah, oleh Si Rektor dianggap radikal semua. Tidak ada bedanya. Nah, jika demikian, apa gunanya mereka membela Si Rektor dengan alasan itu adalah masalah khilafiyah?
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri