Setiap manusia pasti pernah merasakan sakit karena sakit adalah bagian dari sunnatullah. Sakit juga sebagai pintu kematian, sehingga sakit kadang menjadi hal sangat ditakuti karena bisa mendatangkan pada kata yang paling ditakuti di dunia, yaitu mati. Dari itu, setiap manusia pasti akan berusaha untuk sehat. Hanya orang yang tidak berpikiran waras mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Soal sakit, satu hal yang sering dibicarakan adalah ibadahnya, terlebih shalat. Sangat mungkin, pada sakit tertentu, pengerjaan shalat mengalami kesulitan. Di satu pihak, demikian jelas penegasan akan pentingnya mendirikan shalat bagi umat Islam, sehingga harus diajarkan sejak dini. Begitu pentingnya shalat sehingga sama sekali Allah tidak memberikan kemurahan untuk meninggalkannya, paling tidak hanya aturan pelaksanaannya saja yang terdapat dispensasi, sepertihalnya ketika bepergian, sakit dan shalat di saat genting.

Dengan kata lain, selagi akal masih berfungsi dalam diri manusia tidak ada dispensasi untuk meninggalkan shalat. Shalat harus dikerjakan. Selagi tidak ada penghalang untuk mengerjakannya, semisal haid dan nifas, shalat wajib dilaksanakan tepat waktu. Terkecuali pula, jika dalam kondisi gila.

Pada pembicaraan lanjut, sering dibahas cara shalat orang yang sakit. Umum diketahui, ketika seseorang merasa kesulitan berdiri diperbolehkan shalat duduk, sulit duduk diperbolehkan tidur miring, dan sulit tidur miring dipebolehkan tidur terlentang. Dalam gerakan shalat pun demikian lunak, bisa dengan isyarah tubuh besar, kepala atau bahkan mata. Jika tidak bisa pun dengan perasaan.

Akan tetapi, jarang dibicarakan bagaimana shalat dilakukan cara jamak, sebagaimana orang yang sedang safar? Pada kondisi sakit tertentu, shalat dengan jamak ini dinilai sangat membantu, karena terkadang ada kesulitan turunan, yakni kesucian dari nasjis dan hadats. Terlebih ketika kondisinya sangat lemah, yang semua aktivitasnya harus dibantu.

Pada dasarnya, tidak ditemukan dasar pasti pelaksanaan shalat jamak bagi orang sakit. Dasar yang ada adalah shalat jamak boleh dilakukan oleh musafir dengan jarak tertentu dan ketika dalam kondisi hujan. Dua kasus inilah yang banyak dibahas dalam kitab-kitab kuning. Jarang dibahas kondisi-kondisi tertentu yang bisa membolehkan untuk melakukan shalat jamak di selain kondisi itu. Hal itu karena memang dalil keduanya sudah jelas, tidak pada kondisi lainnya.

Lantas bagaimana dengan shalat jamak bagi orang sakit? Pendapat mu’tamad jelas tidak membolehkan melakukan shalat jamak pada selain kondisi dua di atas, termasuk sakit. Sakit bukan menjadi alasan untuk mendapat rukhshah atau dispensasi yang berkaitan dengan waktu shalat. Dispensasi untuk orang sakit ada pada keringanan melaksanakannya, bukan pada waktu pelaksanaan.

Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Taqrirat as-Sadidah (1/322):

الجمع في المرض: لايجوز الجمع للمريض تقديما او تأخيرا على المعتمد في المذهب

“Menjamak shalat ketika sakit: Tidak boleh menjamak shalat bagi orang yang sakit baik itu jamak taqdim atau takhir berdasarkan pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’i.”

Baca juga: Makan dan Minum di Masjid

Sejatinya memang demikian, yakni pendapat mu’tamad tidak boleh melakukan shalat jamak saat sakit. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada pandangan lain, karena masyaqqah juga ditemukan pada orang yang sakit, bahkan melebihi dari perjalanan dan hujan. Apalagi pada era sekarang saat alat transportasi demikian canggih dengan fasilitas kenyamanan lebih, sehingga yang menjadi dasar tetap diperbolehkan untuk mengambil rukhshah adalah mazhinnatulmasyaqqah.

Dari sudut masyaqqah inilah titik celah itu memunculkan pendapat yang membolehkan melakukan shalat jamak, baik taqdim atau ta’khir bagi orang sakit. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah:

Kelanjutan dari redaksi Taqrirat as-Sadidah di atas disebutkan:

واختاره النووي وغيره جوازه كالقاضي حسين وابن سريج والروياني والماوردي والدارمي والمتولي

“Sementara Imam Nawawi memilih hukum boleh, termasuk ulama lain seperti Imam Qadhi Husain, Ibn Suraij, ar-Rauyani, al-Mawardi, ad-Darimi dan al-Mutawalli.”

Lantas, seperti apa kondisi sakit yang dapat dijadikan batasan untuk diperbolehkan melakukan shalat jamak? Kelanjutannya disebutkan:

ضابط المرض المبيح للجمع : ان تلحقه مشقة شديدة اذا صلى كل صلاة في وقتها وقال بعضهم يجوز اذا كان المرض يبيح الجلوس في الصلاة

Mengenai batasan sakit yang diperbolehkan menjamak shalat, yaitu sekiranya orang yang sakit merasakan kesulitan yang sangat benar-benar sulit untuk shalat pada waktunya. Sebagian ulama berpendapat boleh menjamak bagi orang yang sakit seandainya sakitnya itu memperbolehkan shalat secara duduk.”
Pendapat kedua, nampaknya dinilai lebih kuat (awjah) dari beberapa ulama yang menyatakan boleh. Ini terlihat dari redaksi dalam kitab Kasyifatus-Saja, karya Syaikh Nawawi Banten. Dalam karyanya ini, Syaikh Nawawi menjelaskan pendapat tentang batasan tersebut. Berikut redaksi dalam kitab Kasyifatus-Saja halaman 90:

وقال الزيادي واختير جوازه بالمرض تقديما و تأخيرا ويراع الارفق به. وضبط جمع متأخرون المرض هنا بانه ما يشق معه فعل كل فرض في وقته كمشقة المطر بحيث يبل ثيابه. وقال آخرون لابد من مشقة ظاهرة زائدة على ذلك بحيث تبيح الجلوس في الفريضة وهو الأوجه

“Imam az-Zayadi mengatakan, ‘Dipilih kebolehan melakukan shalat jamak sebab sakit, baik taqdim dan ta’khir, perlu dijaga mana yang lebih layak dikerjakan. Sekumpulan ulama mutaakhkhirin memberi batasan sakitnya, melalui standart yang dengan sakitnya penderita merasa kesulitan untuk melaksanakan shalat fardhu tepat waktu, sebagaimana kesulitan saat hujan yang menyebabkan pakaian basah. Selain mereka mengatakan, ‘Seharusnya (diperbolehkan jamak ini) ketika ada masyaqqah lebih, sekiranya memperbolehkan seseorang untuk shalat duduk. Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang lebih kuat (awjah).

Selain pendapat Imam az-Zayadi yang memilih pandangan diperbolehkan melakukan jamak, pada redaksi ini menyebutkan kalangan ulama kontemporer yang memberi batasan, kapan orang sakit diperbolehkan melakukan shalat dengan cara dijamak? Setidaknya ada dua pandangan dari mereka.

  1. Orang yang sakit ketika merasa kesulitan untuk mengerjakan semua shalat fardhu tepat pada waktunya. Perbandingan hukum dalam pandangan ini adalah sebagaimana kesulitan saat hujan yang menyebabkan pakaian basah ketika shalat tepat pada waktunya.
  2. Kesulitan yang dialami harus nampak jelas, melebihi dari sekedar kesulitan tepat waktu. Ukurannya, sekiranya dapat memperbolehkan untuk shalat duduk dalam pelaksanaan shalat fardhu. Pendapat kedua, dinilai lebih kuat (awjah).

Intinya, dalam kondisi apa pun, shalat tidak boleh ditinggalkan. Hanya saja, cara pelaksanaannya yang mendapat keringanan. Pelaksanaan shalat saat sakit sudah ada tuntunannya. Ketika merasa kesulitan untuk melaksanakan tepat waktu, ada ulama yang meringankan. Tinggal hati kita, mau melaksanakan atau tidak? Wallahu a’lam.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri

Spread the love