Ukhuwah bisa terbangun dengan baik jika landasannya adalah kesamaan iman, bukan kesamaan kepentingan. Oleh karena itu, hanya ada satu ukhuwah yang ‘diresmikan’ oleh syariat, yaitu ukhuwah islamiyah. Mengenai bangunan ukhuwah islamiyah ini, setidaknya Rasulullah telah menggambarkannya dalam tiga kondisi. Pertama, bangunan ukhuwah dalam kondisi dan suasana normal. Beliau menggambarkannya dalam hadis:

المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Orang mukmin bagi orang mukmin yang lain ibarat bangunan gedung; sebagian darinya menguatkan sebagian yang lain.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dalam kondisi aman dan tenteram, segenap kaum Muslimin harus memiliki jiwa untuk saling mengokohkan, saling melengkapi, serta tidak saling meremehkan, saling iri atau merasa tinggi diri dengan posisi masing-masing. Ibarat unsur-unsur gedung yang saling menguatkan, saling melengkapi satu sama lain dalam posisi dan porsi masing-masing. Secara garis besar, unsur-unsur umat Islam terbagi menjadi ulama, umara, aghniya’ dan masyarakat umum. Unsur-unsur tersebut ada yang menjadi atap, dinding, teras, serta jendela dan pintu. Jika semua unsur itu bisa bersatu dan bekerjasama dengan baik, maka tidak ada kekuatan manapun yang bisa melemahkan umat Islam.

Kedua, bangunan ukhuwah dalam kondisi sengsara dan menderita. Nabi menggambarkannya dalam hadis, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam hal kerukunan, saling mengasihi dan saling menyayangi, seperti satu tubuh. Bisa ada satu bagian darinya yang sakit, maka segenap bagian yang lain akan sulit memejamkan mata dan ikut merasakan demam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Apakah ada perasaan bersaudara di hati kita atau tidak, indikator utamanya adalah bagaimana perasaan kita di saat saudara kita sedang sengsara, menderita atau tersakiti. Apakah kita ikut merasakan penderitaan itu, sehingga memiliki kepedulian, empati dan tenggang rasa yang tinggi; ataukah kita malah bersikap masa bodoh, acuh dan tak mau tahu.

Ada banyak komunitas Muslim yang menderita di dunia. Palestina mengalami penderitaan yang sangat panjang, dan mungkin hanya akan bisa selesai menjelang akhir sejarah dunia. Dan, selama beberapat tahun terakhir, etnis Rohingya di Myanmar telah ‘dinobatkan’ sebagai komunitas yang paling menderita di dunia. Sebesar apa perasaan kita tentang mereka, maka sebesar itu pula ukhuwah ada dalam hati kita.

Ketiga, bangunan ukhuwah di masa-masa konflik. Al-Quran menggambarkan hal itu dalam ayat:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudara kalian dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujurat [49]: 10)

Baca Juga: Kemunafikan Demokrasi Dan Sejarah panjang Kriminilasasi Ulama

Ciri khas orang yang saling bersaudara adalah berusaha untuk menciptakan perdamaian di antara mereka, berusaha untuk mendinginkan suasa dan merukunkan kembali jika terlanjur terjadi pertikaian, bukan malah memprovokasi. Oleh karena itu, ayat ini seolah-olah menjadi poros dari segala bentuk ukhuwah. Empati, tenggang rasa, solidaritas serta kemauan untuk saling melengkapi dan menguatkan hanya bisa tercipta jika sesama umat Islam tidak berkonflik.

Ayat ini sangat mendesak untuk menjadi pegangan utama umat Islam saat ini, terutama karena akhir-akhir ini, berbagai negara Islam, khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara, sedang dilanda konflik politik yang mengerikan. Umat Islam memiliki sejarah yang sangat panjang dalam menghadapi konflik politik. Dan, Rasulullah dalam banyak hadis selalu mengingatkan mengenai besarnya potensi konflik antar sesama umat Islam. Umat Islam menjadi lemah bukan karena kalah oleh musuh, tapi karena kalah oleh dirinya sendiri.

Karena itulah, Rasulullah memberikan kunci-kuncinya agar potensi konflik itu tidak mudah tersulut, dan kalaupun terlanjur terjadi, maka bisa dengan mudah dipadamkan. Kunci utamanya adalah mematuhi pemimpin yang sah. Beliau melarang keras melakukan kudeta dan pemberontakan kecuali jika si pemimpin benar-benar nyata dengan kekafirannya.

Pedoman inilah yang banyak dilanggar oleh umat Islam saat ini. Adalah benar, bahwa mengkritik kebijakan yang salah dan menyuarakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim merupakan perjuangan yang paling utama. Namun, hal itu harus dilakukan dengan tata cara yang benar, tutur kata yang kondusif, bukan dengan cara menantang dan memprovokasi perpecahan.

Ibnu Abdi Rabbih bercerita dalam al-Iqd al-Farîd, ada seorang mendatangi Khalifah Harun ar-Rasyid untuk mengecamnya dengan kata-kata kasar. Maka, Harun ar-Rasyid berkata, “Jangan begitu, Allah telah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun yang jauh lebih baik darimu agar menasehati Firaun yang jauh lebih buruk dariku, dengan ucapan-ucapan yang lembut. Allah berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS Thaha [20]: 44).

Baca Juga: merajut Ukhuwah Tanpa Kepentingan

Abdullah bin Umar menantang keras pembatalan baiat terhadap Yazid bin Muawiyah yang dilakukan oleh penduduk Madinah. Adalah benar bahwa Yazid merupakan penguasa yang zalim. Akan tetapi, melakukan kudeta akan mengakibatkan keburukan yang jauh lebih besar.

Bangunan Ukhuwah antar Mazhab

Hal lain yang bisa merusak ukhuwah adalah perbedaan pandangan keagamaan yang diekspresikan dengan sikap yang tidak dewasa. Perpecahan mengerikan yang terjadi di tubuh umat Islam, umumnya memang karena persoalan politik. Namun demikian, hal itu seringkali berkelindan dengan perbedaan pandangan keagamaan, baik sebagai sebab maupun sebagai akibat. Maka, potensi konflik sektarian tidak lebih ringan daripada konflik yang murni politik. Karena itulah, para ulama kita telah meletakkan pondasi-pondasi konseptual untuk menekan meluapnya konflik sektarian. Misalnya, pernyataan yang masyhur dari Imam Abul al-Hasan al-Asya’ri dalam al-Ibânah, “Kami tidak mengkafirkan siapapun yang masih tergolong ahlul qiblah.”

Teologi dan ideologi takfiri merupakan akar sejarah konflik sektarian yang meluluh-lantakkan ukhuwah islamiyah. Sebagaimana telah maklum, biang perpecahan pertama dalam sejarah umat Islam adalah aliran Khawarij, sekte radikal yang ideologi utamanya adalah mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Pedoman lain yang dirumuskan oleh para ulama agar perbedaan mazhab tidak merusak ukhuwah adalah kaidah fikih yang dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Asybâh wan-Nazhâ’ir, “Tidak usah melakukan penolakan terhadap hal-hal yang masih diperdebatkan kebolehannya, tapi lakukanlah penolakan terhadap hal-hal yang sudah disepakati ketidak-bolehannya.”

Kaidah ini seringkali dilupakan oleh kita, sehingga kadangkala kita terjebak ke dalam perpecahan yang jelas haram hanya gara-gara persoalan yang sunah atau makruh. Kadangkala kita terjebak ke dalam perpecahan yang mujma’ alaih keharamannya gara-gara persoalan furuiyah yang masih mukhtalaf fîh. Kadangkala kita terjebak ke dalam perpecahan yang qath’i ketidak-bolehannya gara-gara persoalan yang masih bersifat zhanni-ijtihâdi.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love