Najis adalah bagian dari pembahasan fi kih. Saat shalat, suci dari najis menjadi syarat yang harus dipenuhi, di samping syarat-syarat lainnya. Dalam pembahasan fikih, banyak kategori dan klasifi kasi najis, sehingga mengetahuinya menjadi hal yang mutlak diperlukan bagi umat Islam. Salah satunya, tentang najis yang ma’fu atau najis yang terampuni.
Kategori najis ma’fu pada dasarnya tetap berhukum najis. Hanya kemudian, efek tolak keabsahan ibadah, yaitu shalat dan sejenisnya, akibat najis ini didispensasi disebabkan oleh suatu hal yang melatarinya. Ini juga berdasarkan bahwa Islam adalah agama mudah, sehingga suatu hal yang terasa sulit akan dimudahkan. Salah satunya, soal najis ma’fu yang lebih banyak didasarkan pada kesulitan.
Dalam hal ini, ulama kemudian merumuskan kategori najis ma’fu dari dua sudut. Pertama, dari sudut kadar banyak dan sedikit najis dan dari sudut objek yang terkena najis. Untuk kategori pertama, ulama merumuskan ada empat hal, sebagaimana dirumuskan oleh as-Suyuthi dalam kitab Asybah wan-Nazhair-nya.
1. Najis yang dima’fu baik sedikit maupun banyak, baik pada baju maupun badan. Najis ini adalah darah kutu loncat, kutu rambut, nyamuk, jerawat, nanah, bisul, cacar dan darah tempat bekam. Semua jenis najis ini dengan dihukumi ma’fu dengan dua syarat :
a. Bukan perbuatan diri sendiri (an la yakuna bi fi’lihi). Dengan demikian, jika misalnya, membunuh kutu lalu darahnya mengotori pakaian atau badan dan banyak, tidak dihukumi ma’fu.
b. Tidak melampaui batas dalam pembiaran. Jika kebiasaan seseorang saat mencuci baju, lalu meninggalkannya tanpa dicuci selama setahun, misalnya, dan dibiarkan bertumpuk-tumpuk maka tidak dima’fu lagi.
2. Najis yang dima’fu lantaran sedikit, tidak banyak. Najis ini adalah darah orang lain dan lumpur jalanan yang memang diyakini najis.
3. Najis yang dima’fu lantaran hanya berupa bekas, bukan benda najisnya. Najis ini adalah bekas cebok menggunakan batu, sisa bau atau warna najis yang sulit dihilangkan.
4. Najis yang tidak dima’fu, baik benda atau bekasnya, yaitu najis selain ketiga kelas di atas.
Untuk kategori kedua, yakni najis dima’fu dilihat dari tempat najis. Sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Nawawi Banten dalam Kâsyifatus Sajâ ataupun juga Syekh Abu Bakar Syatha dalam I’anatuth-Thalibin-nya, klasifikasi najis dari sudut objek yang terkena najis ini juga terbagi menjadi empat. Dalam redaksi I’anatuth-Thalibin disebutkan demikian:
اعلم أن النجس من حيث هو ينقسم أربعة أقسام: قسم لا يعفى عنه في الثوب والماء، كروث وبول .وقسم يعفى عنه فيهما، كما لا يدركه الطرف. وقسم يعفى عنه في الثوب دو ن الماء، كقليل الدم…وقسم يعفى عنه في الماء دون الثوب، كميتة لا دم لها سائل
Lebih jelasnya demikian. Pertama, najis yang tidak dima’fu pada baju dan air:
قسم لا يعفى عنه في الثوب والماء
Termasuk klasifikasi ini adalah najis yang umum di tengah masyarakat, seperti kotoran manusia dan binatang, darah, bangkai dan air kencing. Jika najis ini mengena pada pakaian dan air, maka tidak dimaafkan. Ketika akan shalat, semuanya harus disucikan, sesuai dengan aturan penyucian najis; benda najis beserta sifat-sifat semisal bau, warna dan rasa hilang. Namun kemudian, dalam kondisi tertentu ini bisa berhukum ma’fu.
Kedua, najis yang dima’fu pada baju dan air.
قسم يعفى عنه في الثوب والماء
Bentuk najis ini adalah najis yang sangat kecil sehingga tidak terlihat dengan pandangan normal. Najis jenis ini di antaranya adalah lalat yang menghinggap pada najis yang tentunya pada kaki lalat ada najis yang menempel. Termasuk juga, debu najis yang sudah kering dan najis pada mulut kucing. Semua najis tersebut tidak terlihat oleh pandangan normal, karena demikian kecilnya, sehingga jika mengena pada pakaian dan digunakan untuk shalat, shalatnya tetap sah karena najis tergolong ma’fu. Termasuk juga jika mengena pada air, maka tetap bisa dibuat bersuci dan lainnya.
Ketiga, najis yang dima’fu pada pakaian, badan dan air, kebalikan dari klasifikasi pertama.
قسم يعفى عنه في الثوب دون الماء
Bentuk najis ini adalah darah dan lumpur jalanan dalam jumlah yang sedikit. Darah sedikit jika mengena pada pakaian berhukum ma’fu. Jika digunakan shalat, hukumnya tetap sah. Berbeda jika darah sedikit ini terkena pada air, maka tidak dima’fu. Artinya, jika air kurang dari dua qullah, berubah atau tidak kondisi air, tetap dihukumi najis, sehingga tidak boleh dibuat bersuci dan keperluan lain. Jika air mencapai dua qullah atau lebih dan tidak berubah, bukan ma’fu lagi melainkan suci. Berbeda jika berubah, kurang atau lebih dua qullah tetap dihukumi najis.
Lantas, seperti apa ukuran darah dianggap sedikit dan banyak? Syekh Syihab Ar-Romli seagaimana dikutip oleh Syekh Nawawi Banten menuturkan bahwa ukuran sedikit dan banyak berdasarkan uruf atau pandangan umum masyarakat. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa ukuran sedikit adalah selebar telapak tangan, ada pula yang menyebut lebih dari itu, dan ada pula yang menyebut seukuran kuku dan dirham.
Keempat, najis yang dima’fu pada air atau cairan, tidak pada baju atau badan.
قسم يعفى عنه في الماء دون الثوب
Bentuk najis ini adalah bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir (la dama laha sail) pada saat hidupnya, seperti nyamuk, kecoak, semut, dan kutu rambut. Termasuk jenis ini adalah kotoran ikan di kolam dan ulat yang hidup di air. Bangkai binatang-binatang ini bila mengenai air dima’fu, sehingga bisa dibuat bersuci dan lainnya. Akan tetapi, tidak ma’fu bila mengena pakaian, sehingga pakaian yang terkena najis ini harus disucikan.
Kemudian, Imam as-Suyuthi dalam Asybah-nya juga menambahkan dalam klasifikasi ini, yaitu dari sudut tempat saja, bukan pada baju dan air.
ما يعفى عنه في المكان فقط
Bentuk najis ini adalah kotoran burung yang berkeliaran di masjid-masjid dan tempat thawaf di masjid al-haram. Najis ini tidak ma’fu jika mengena pada pakaian, badan dan air. Termasuk dalam klasifikasi ini, juga menurut as-Suyuthi adalah kotoran yang ada di perut ikan kecil, mengikuti pendapat yang juga dima’fu disebabkan sulit membersihkan.
Sebenarnya, masih ada lagi klasifikasi najis ma’fu dengan meninjau kondisi tertentu, semisal bulu hewan yang dihukumi najis yang kemudian dihukum ma’fu bagi tukang potong. Juga bulu hewan bagi orang menungganginya. Termasuk juga madzi yang keluar saat berhubungan intim.
Terkait dengan madzi ini, dalam kitab Busyra al-Karim disebutkan terkait dengan mani yang berhukum suci. Kesucian mani ini jika ujung dzakar dan farj suci. Jika najis, maka mani berhukum mutanajjis dan haram melakukan jimak karena telah najis (talaththukh bin najasah). Pada biasanya, memang, mani didahului oleh madzi yang berhukum najis.
Hanya kemudian, Imam ‘Ali Syabramallisi mengatakan bahwa pada kondisi demikian, madzi berhukum ma’fu, sehingga tidak haram dan tidak tergolong mengotori tubuh dengan najis. Artinya, madzi berhukum ma’fu pada saat jima’ saja, sebab jika setiap kali keluar madzi harus dibasuh akan menyebabkan masyaqqah.
Demikian pembahasan klasifikasi najis ma’fu. Semoga manfaat. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri
Baca juga: 5 Perkara Bersihkan Najis yang Penting Diperhatikan Muslimah
Baca juga: Makan dan Minum Di Masjid