Sebagai manusia paling sempurna (al-insân al-kâmil), segala sisi kehidupan Rasulullah menyimpan berbagai pelajaran untuk umat manusia. Karena itulah banyak ulama yang menulis sejarah kehidupan beliau, baik berbentuk kalâm natsar (prosa) maupun berbentuk kasidah. Di antara kitab yang menulis sejarah Rasulullah adalah Maulid ad-Diba’i. Selain membahas sejarah, kitab Maulid ad-Diba’i juga menjelaskan akhlak dan kemulian Rasulullah dengan bentuk penulisan berupa syair dan prosa. Dari sinilah Maulid ad-Diba’i memiliki perbedaan mencolok dengan Qasidah al-Burdah yang mana secara keseluruhan berbentuk syair. Akhlak Rasulullah yang disinggung dalam maulid ad-Diba’i antara lain sabar, rendah hati, jujur, kasih sayang, pemaaf, dll.
Biogfrafi Singkat Pengarang Maulid ad-Diba’i
Maulid ad-Diba’i ditulis oleh Syekh Wajihuddin Abu Muhammad Abdur Rahman bin Ali ad-Diba’i asy-Syaibani al-Abdari. Di akhir kitab Bughyatul-Mustafîd bi Akhbâri Zabîd, Syekh ad-Diba’i menulis autobiografi bahwa beliau lahir di kota Zabid pada hari Kamis, 4 Muharam 866 H. Sejak kecil, Syekh ad-Diba’i diasuh oleh kakek dari jalur ibu, yakni Syekh Syarafuddin Abil Makruf bin Muhammad Mubariz. Selain kepada kakeknya, Syekh ad-Diba’i juga menimba ilmu kepada ulama-ulama yang masyhur di masanya. Di antaranya adalah Syekh Nuruddin al-Fakhri, Syekh al-Khathib Kamaluddin adh-Dhaja’i, dan Syekh Abil Makruf alMarafi.
Syekh ad-Diba’i sudah hafal al-Quran sejak usia sepuluh tahun. Awalnya beliau belajar al-Quran kepada Syekh Nuruddin Ali bin Abu Bakar Khaththab hingga surah Yâsîn, lalu melanjutkan belajar al-Quran kepada Syekh Jamaluddin Muhammad Thayyib bin Ismail Mubariz hingga hafal di luar kepala. Dalam ilmu Hadis, Syekh ad-Diba’i belajar kepada Syekh Zainuddin Abil Abbas Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif asy-Syaraji. Di hadapan gurunya ini, Syekh ad-Diba’i mengkhatamkan Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i, al-Muwaththa’, juga kitabkitab hadis yang lain. Sedangkan dalam masalah Fikih, Syekh ad-Diba’i berguru kepada Syekh Jamaluddin Abi Ahmad ath-Thahir bin Ahmad Umar bin Jam’an. Kepada beliaulah Syekh ad-Diba’i mengkhatamkan kitab Minhâjuth-Thâlibîn karya Imam Nawawi. Selain itu, Syekh ad-Diba’i belajar kitab al-Hâwî ash-Shaghîr, at-Taisîr, dan Nazham at-Taisîr, hanya saja tidak sampai khatam.
Syekh ad-Diba’i termasuk ulama yang produktif. Hal ini terbukti dari banyaknya kitab yang beliau tulis. Karya beliau di bidang sejarah antara lain: Bughyatul-Mustafîd fî Akhbâri Madînati Zabîd, al-Iqdul al-Bâhir fî Târîkh Daulah Banî Thâhir, al-Fadhlul-Mazîd, dan Surûrul-Mu’minîn bi Maulidin-Nabi al-Karîm yang kemudian lebih dikenal dengan nama Maulid ad- Diba’i. Sebagai ulama Hadis, Syekh ad-Diba’i juga memiliki karya dalam bidang Hadis, yakni Mishbâhu Misykâtil-Anwâr min Shihâhi Hadîtsil-Mukhtâr. Sedangkan di antara murid-murid Syekh ad-Diba’i yang masyhur adalah Syekh Ibnu Ziyad, Sayid al-Hafizh ath-Thahir bin Husain al-Ahdali, Syekh Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin Ali al-Marjaji.
Penulisan Kitab Maulid ad-Diba’
Selain Maulid al-Barzanji, kitab maulid yang masyhur dibaca di tengah masyarakat Indonesia adalah Maulid ad-Diba’i. Kendati banyak dibaca, tetapi kitab syarh (penjelas) Maulid ad-Diba’i ini sulit ditemukan. Terlebih penjelasan mengenai asal usul atau latar belakang penulisannya. Di Indonesia, kebanyakan kitab yang ada sebatas terjemahan saja.
Sedikit keterangan tentang latar belakang penulisan Maulid ad-Diba’i terdapat dalam kitab an-Nûr as-Sâfir ‘an Akhbâril-Qarn al-‘Âsyir, karya Syekh Abdul Qadir bin Syekh Abdullah al-Idrus. Di sana diterangkan bahwa Syekh Abdul Qadir pernah menemukan catatan gurunya, yakni Syekh Abi as-Sa’adat al-Fakihi al- Makki. Dalam catatan tersebut, Syekh Abi as-Sa’adat berkata bahwa beliau pernah menemukan tulisan Syekh Wajihuddin Abu Muhammad Abdur Rahman bin Ali ad-Diba’i, pengarang Maulid ad-Diba’i, yang menjelaskan bahwa kitab Maulid Syaraful-Anam merupakan karya dari Syekh Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Qasim al-Maliki al-Bukhari atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh al Hariri. Hanya saja di sana Syekh ad-Diba’i tidak langsung menyebut nama Maulid Syaraful-Anam, tetapi menyebutnya dengan kalimat “Kitab maulid Nabi yang dimulai dengan:
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ شَرَّفَ الأنَامَ بِصَاحِبِ مَقَامِ اْلأَعْلَى
Lebih lanjut, Syekh ad-Diba’i menerangkan bahwa kitab Maulid Syaraful-Anam merupakan fasal ke sembilan dari kitab Syekh al-Hariri yang dikarang dalam masalah nasihat dan melunakkan hati (al-wa’zhu wa ar-raqâ’iq). Setelah meneliti cukup lama tentang pengarangnya, Syekh ad-Diba’i melihat bahwa dalam juz awal kitab tersebut memuat dua puluh lima fasal. Sayangnya, di sini Syekh ad-Diba’i tidak menyebutkan judul kitab Syekh al-Hariri yang memuat kitab Maulid Syaraful-Anam tersebut.
Tampaknya, Syekh ad-Diba’i dalam menulis kitab Maulid ad-Diba’i terinspirasi dari Maulid Syaraful-Anam. Sebab dalam pengakuan beliau, sebagaimana disebutkan dalam kitab an-Nûr as-Sâfir tadi, Syekh ad-Diba’i meneliti kitab Syekh al-Hariri dalam waktu lama dan merasa mendapatkan faidah yang sebanding dengan kepayahannya. Disebutkan bahwa judul asli dari Maulid ad-Diba’i adalah Surûrul-Mu’minîn bi Maulidin- Nabi al-Karîm. Namun, penyebutan nama ini kurang masyhur di kalangan masyarakat. Justru yang masyhur adalah penyandaran nama kitab maulid ini kepada pengarangnya, yakni Syekh ad-Diba’i.
Baca Juga: BERMAULID DI DETAK JANTUNG KITA
Keistimewaan Maulid ad-Diba’i
Sebagaimana kitab-kitab lain, Maulid ad-Diba’i juga memiliki keistimewaan tersendiri. Imam al-Arif Billah Habib Sholeh bin Abdullah al-Aththas dalam kitab Tadzkîrin-Nâs fî Majmû’i Kalâmi Sayyidinal-Habîb al-Imam Ahmad bin Abdullâh al-Aththas mengatakan:
يَحْضُرُ النبِيُّ فِيْ كُلِّ مَوْلِدٍ عِنْدَ المَقَامِ فِيْهِ إِلَّا مَوْلِدِ الدِّيْبَعِيِّ فَإِنَّهُ يَحْضُرُ كُلُّهُ
“Nabi akan menghadiri setiap pembacaan maulid ketika maqâm atau mahallul-qiyâm, kecuali pembacaan Maulid ad-Diba’i, maka Rasulullah akan menghadiri mulai awal hingga akhir.” Wallahu A’lam.