Perang Tabuk merupakan perang terakhir yang diikuti oleh Rasulullah sebelum beliau wafat. Perang Tabuk juga disebut sebagai perang ‘Usrah karena kesulitan yang dialami oleh umat Islam kala itu; minimnya pendanaan, cuaca yang kurang mendukung, lokasi yang jauh dan sebagainya.

Tercatat dalam sejarah bahwa setiap delapan belas pasukan mendapat jatah satu onta yang mereka kendarai secara bergantian. Berulangkali para pasukan memakan dedaunan, sehingga bibir mereka rusak. Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu, pasukan ini dinamakan JaisyulUsrah atau pasukan yang berada dalam kesulitan.

Tabuk merupakan nisbat bagi sebuah tempat (ada yang menyebutkan sebagai mata air), tujuan pasukan Islam yang tengah bersafar. Berada di antara Wadil-Qura dan Syam, terletak di utara Hijaz dan berjarak 778 kilometer dari kota Madinah. Tabuk sendiri merupakan daerah kekuasaan Romawi kala itu.

Dalam Tafsir Ath-Thabari (14/540- 542) dijelaskan bahwa Rasulullah keluar untuk perang Tabuk pada bulan Rajab tahun 9 Hijriyah, kira-kira enam bulan setelah kembali dari Tha’if. Diikuti oleh 30.000 pasukan dengan perlengkapan perang, bekal makanan dan kendaraan yang minim. Sedangkan kekutan pasukan Romawi sekitar 40.000-100.000 pasukan dengan peralatan dan bekal lengkap. Perang memakan waktu 50 hari; 20 hari di Tabuk dan 30 hari perjalanan menuju Tabuk dan pulang ke Madinah.

Ada banyak pakar sejarah yang mengulas sebab terjadinya peperangan Tabuk. Menurut Ibnu Katsir, perang Tabuk terjadi dalam rangka melaksanakan jihad. Sementara beberapa pakar sejarah menilai bahwa sebab perang Tabuk diawali dari ambisi Romawi untuk memerangi kaum muslimin, dalam rangka mencegah adanya kemungkinan lepasnya daerahdaerah jajahan Romawi lainnya. Ada lagi pakar sejarah yang menjelaskan bahwa perang terjadi karena adanya ancaman dari Ukaidir bin Abdul Malik, yakni seorang Nasrani dan juga seorang pemimpin dari daerah Dumah. Dia mengancam akan memberontak dengan bantuan dari pasukan Romawi, namun ancaman ini mampu dibendung oleh Nabi dan akhirnya dihilangkan atas bantuan Khalid bin Walid. Ukaidir akhirnya kalah dan ditawan.

Pendapat Ibnu Katsir lebih mendekati kebenaran, karena perintah yang mendasari adanya kewajiban jihad ialah memerangi kaum musyrikin, kemudian setelah itu memerangi ahli kitab yang menghambat dakwah Islam dan melakukan provokasi terhadap kaum muslimin.

Perang Tabuk berakhir tanpa adanya peperangan. Umat Islam maupun Kekaisaran Romawi tidak menderita korban sama sekali dari peristiwa ini, karena pertempuran memang tidak pernah terjadi. Namun, perang ini dianggap sebagai perang terpenting oleh kalangan sejarawan. Selain karena perang terakhir yang diikuti oleh Nabi, perang Tabuk juga sebagai pembuktian kesetiaan pada Islam dan ujian keimanan. Hal ini karena ketika itu kondisi ekonomi umat Islam sedang sekarat dan musim panas yang begitu.

menyengat. Terjadinya perang Tabuk ini juga memperjelas keberadaan kaum munafik yang berada di tengah umat Islam kala itu. Saat itu yang tinggal di Madinah hanyalah kaum munafik, orang-orang udzur, perempuan, anak-anak, dan sebagian shahabat yang tidak memiliki kendaraan untuk ditunggangi.

Saking terjepitnya ekonomi umat Islam kala itu, Rasulullah perlu memotivasi para shahabat untuk berinfak dalam perang Tabuk. Para shahabat berlomba-lomba menginfakkan hartanya, seperti Shahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sementara para shahabat yang kebetulan tidak memiliki harta berduka karena tidak bisa ikut berperan.

Di Tabuk, pasukan Islam tidak menemukan pasukan musuh. Menurut sejarawan, mereka menarik diri ke utara setelah mendengar kedatangan pasukan Rasulullah. Akhirnya Rasulullah memanfaatkan ekspedisi tersebut dengan mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk. Hasilnya, banyak kabilah seperti Ailah, Jabra dan Adzruj tidak lagi mematuhi Kekaisaran Romawi dan berpihak kepada Rasulullah. Rasulullah juga berhasil mengumpulkan pajak dari kabilah-kabilah tersebut.

Saat hendak pulang dari Tabuk, rombongan Rasulullah didatangi oleh para pendeta Kristen di Lembah Sinai. Rasulullah berdiskusi dengan mereka dan terjadi perjanjian yang mirip dengan Piagam Madinah bagi kaum Yahudi. Piagam ini berisi perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen di daerah tersebut.

N. Shalihin Damiri/sidogiri

Baca juga: Perang Pemikiran Di Era Digital

Spread the love