Telah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat, bahwa ikhtilaf yang terjadi di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat, karena dengan begitu mereka bisa memilih pendapat yang paling sesuai dengan keadaan mereka, sehingga mereka bisa tetap mengikuti tuntunan agama dalam keadaan apapun.
Akan tetapi perlu diketahui, bahwa ikhtilaf yang merupakan rahmat adalah ikhtilaf ulama dalam bidang Fikih (furu’usy-Syari’ah). Adapun ikhtilaf yang terjadi di dalam ranah akidah justru merupakan petaka bagi umat, dan karena itu umat harus terus berpegangan pada akidah Ahlusunah wal Jamaah, karena di luar itu merupakan akidah-akidah yang sesat dan tak boleh diikuti.
Bahkan dalam Fikih sekalipun, tak semua ikhtilaf boleh diikuti. Ikhtilaf yang boleh diikuti adalah pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda namun tetap memiliki dalil yang kuat dan dianggap muktabar. Adapun pendapat-pendapat pinggiran dengan dalil sangat lemah, yang biasanya ditolak oleh hampir seluruh ulama atau bahkan oleh seluruh ulama, maka itu merupakan ikhtilaf yang tidak muktabar, pendapat asing atau syadz yang tak boleh diikuti, sebab pada hakikatnya itu merupakan pendapat yang salah.
Ibrahim bin Abi ‘Ablah, salah satu guru Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mengambil pendapat syadz-nya para ulama, maka ia telah membawa keburukan yang banyak.” Dalam riwayat lain seperti dinukil al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari, menggunakan ungkapan, “Barangsiapa yang mengikuti pendapat syadz-nya ulama, maka ia telah tersesat.” Dan betapa banyak ulama memberikan pernyataan yang sama dengan redaksi yang berbeda-beda.
Itulah sebabnya, ulama masih menafsiri pernyataan Imam Sufyan ats-Tsauri berikut, “Jika Anda melihat orang melakukan perbuatan yang mukhtalaf fih (diperselisihkan hukumnya) sedang Anda berpendapat berbeda dengan orang itu, maka janganlah Anda melarangnya.” Ulama menjelaskan, bahwa yang dimaksud di situ adalah ikhtilaf yang muktabar dan sudah dilakukan oleh banyak ulama. Adapun ikhtilaf yang jarang dan syadz, maka kita tidak boleh diam terhadap pelakunya, dan harus melarangnya.
Hal di atas penting diutarakan, sebab pada saat ini sangat mudah kita jumpai orang-orang yang bertopeng di balik ikhtilaf, terkait persoalan-persoalan kontroversial yang sering terjadi belakangan ini. Misalnya, masalah orang Islam yang membawa tumpeng ke gereja dan dihaturkan kepada para pendeta yang tengah melakukan kebaktian di dalamnya. Terhadap kasus seperti itu, sebagian orang (mungkin saja mantan santri) mengatakan, “Sudahlah, kita tidak perlu mengkritisi perbuatan itu, toh juga ada ulama yang memperbolehkannya…”
Terhadap pernyataan seperti itu, kita harus berhati-hati, terlebih di dalam persoalan yang ada kaitannya dengan akidah. Sebab belakangan ini, paham pluralisme agama sedang gencar-gencarnya dipropagandakan, dan orang yang tidak sepakat dengan paham itu dicap sebagai intoleran, radikal, dan tidak loyal terhadap NKRI. Itulah sebabnya kenapa belakangan sebagian kalangan dari umat Islam sangat sering mengadakan acara di gereja, baik dalam rangka doa bersama, nyanyi bersama, dan makan bersama di dalamnya.
Perhatikanlah pernyataan al-Imam Abu Bakar al-Ajurri perihal orang yang menganggap bolehnya alat permainan yang diharamkan, dengan berdalih karena sebagian ulama ada yang memainkannya. Beliau mengatakan, “Itu adalah perkataan orang yang mengikuti hawa nafsunya dan meninggalkan ilmu. Karena jika seorang yang dianggap berilmu melakukan kesalahan, maka kita tak boleh mengikuti dia dalam kesalahannya itu. Kita sudah diwanti-wanti untuk menjauhi kesalahan yang dilakukan oleh seorang ulama.”
Jika soal alat permainan saja ulama perlu mewanti-wanti seperti itu, maka bagaimana dengan persoalan membawa tumpeng ke dalam gereja ini?
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri