Bahwa moderat (wasathiyah) dan seimbang (i’tidâl) merupakan sebuah landasan yang final, barangkali hal itu disepakati oleh hampir semua orang. Dalam agama kita, terlalu banyak dalil dari al-Quran, Hadis, maupun penegasan para ulama mengenai keniscayaan sikap moderat.

Persoalan kita bukan terletak pada sisi penerimaan terhadap sikap moderat, melainkan pada persepsi kita terhadap moderat itu sendiri. Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai mujtahid yang sangat moderat dalam menggabungkan kecenderungan teks (nash) dan nalar (qiyâs). Imam al-Asy’ari dikenal sangat moderat dalam mengkompromikan kecenderungan makna zhâhir dan kecenderungan takwil. Imam al-Ghazali dikenal sangat menekankan sikap moderat dan seimbang dalam segala hal, terutama dalam konteks spiritualitas lahiriah dan batiniah.

Namun demikian, masih ada saja orang yang mencela pemikiran beliau-beliau dan menganggapnya menyimpang dari kebenaran. Al-Habib Umar bin Hafidz menyatakan dalam al-Wasathiyah fil-Islâm bahwa banyak orang yang terlalu tergesa-gesa dalam memahami sikap moderat, sehingga memahami moderat hanyalah sebagai sikap lunak dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Padahal, moderat jauh lebih luas dari itu. Moderat adalah hakikat dari segenap syariat Islam. “Moderat yang lurus adalah keteguhan yang tinggi dalam mengikuti petunjuk Nabi, memegang norma dan aturan-aturan syariat dalam memandang berbagai hal serta dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, bahkan juga dalam urusan ibadah yang sesuai dengan aturan-aturannya,” tulis beliau.

Semua orang mungkin sepakat memaknai sikap moderat sebagai jalan tengah, sedang, seimbang, dan semacamnya. Namun demikian, kalimat ini menjadi sangat multitafsir ketika mereka belum sepakat mengenai mana batas pinggirnya. Logikanya, kita baru bisa menentukan titik tengah jika sudah ada batas pinggirnya. Begitu pula, kita tidak bisa menyatakan bahwa suatu hal berada di pinggir kanan atau di pinggir kiri, sebelum kita menentukan mana titik tengahnya. Karena itulah, kriteria sifat moderat akan terus menjadi perdebatan senyampang pihak-pihak yang terlibat belum sepakat mengenai apa titik tengah yang menjadi pedomannya.

Setepat apapun kita berada di titik tengah menurut pedoman yang kita pegang, maka akan dianggap liberal oleh orang yang berada di kanan, dan dianggap radikal oleh orang yang berada di kiri. Sebagaimana kita tahu, Ahlusunah wal Jamaah dianggap sebagai Mu’atthilah oleh aliran Mujassimah, sekaligus dianggap Mujassimah oleh aliran Mu’atthilah; dianggap Qadariyah oleh aliran Jabariyah, sekaligus dianggap Jabariyah oleh aliran Qadariyah. Dan begitu seterusnya…

Maka dari itu, label liberal atau radikal seringkali merupakan istilah yang amat liar. Tidak jelas kriterianya. Label ini seringkali dipakai untuk menyerang orang-orang yang berbeda pandangan. Oleh karena itu, kita tidak perlu dipusingkan dengan label yang disematkan orang lain. Peganglah apa yang sudah menjadi pedoman kita, wa bil khusus kitab kuning dan tradisi mulia yang telah diwariskan oleh para ulama, dengan senantiasa mempertimbangkan latar belakang kondisionalnya. Setelah itu, kita tidak perlu risau dengan apapun yang dikatakan oleh orang lain.

Boleh jadi, bab-bab tertentu dalam Fikih yang sudah biasa dipelajari di pesantren dianggap radikal oleh kalangan di luar pesantren. Bukankah dewasa ini, orang yang menyuarakan syariat bisa saja dituding radikal!?. Begitu pula, orang yang melakukan nahi mungkar, lelaki berjenggot dan wanita bercadar. Bahkan, menyatakan bahwa non-Muslim itu kafir, bahwa salib itu menurut ajaran Islam merupakan simbol kesesatan, juga dianggap radikal-intoleran. Kalau hal-hal semacam itu dianggap radikal, maka biarlah kita dianggap radikal.

Boleh jadi, hal-hal yang jelas bertentangan dengan Fikih kita justru diopinikan sebagai Islam yang moderat, Islam yang teduh, Islam yang rahmatan lil âlamîn. Misalnya, wanita tidak memakai jilbab di tempat umum, menyatakan bahwa hukum negara harus diletakkan di atas hukum agama, berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram, menggunakan alat-alat musik yang diharamkan, memilih pemimpin non Muslim, pluralisme agama, dan seterusnya. Kalau hal-hal semacam itu dianggap moderat, maka biarlah kita dianggap tidak moderat.

Boleh jadi pula, pilihan sikap, pilihan strategi dan manhaj dakwah yang dilandaskan pada realitas masyarakat dituduh sebagai sikap liberal oleh kalangan-kalangan tertentu. Misalnya, upaya-upaya untuk mengakulturasikan Islam dengan budaya, cara dakwah tadrîji karena mempertimbangkan realitas masyarakat, cara dakwah yang inklusif dan berbaur, penerimaan terhadap Pancasila sebagai asas negara, penghormatan terhadap bendera merah putih, menerima NKRI sebagai negara yang sah dengan status dharûri bisy-syaukah. Kalau hal-hal semacam ini dianggap liberal, maka silakan saja kita dianggap liberal.

Terlalu sering menoleh kepada penilaian orang lain hanya akan membuat kita menjadi pesimis dan kecil hati dalam memegang teguh apa yang harus kita pegang. Sebab, akar pertama dari keselamatan (juga keberhasilan) diri, adalah ketika kita lebih fokus kepada apa yang kita lakukan, bukan apa yang orang lain katakan. Imam asy-Syafi’i pernah berpesan kepada muridnya, ar-Rabî’ bin Sulaiman:

رضَا النَّاسِ غَايَةٌ لَا تُدْرَكُ، فَعَلَيْكَ بِمَا يُصْلِحُكَ فَالْزَمْهُ فَإنَّهُ لَا سَبِيْلَ إِلَى رِضَاهُمْ

Persetujuan semua orang adalah target yang tak mungkin dicapai. Oleh karena itu, peganglah apa yang baik bagimu dengan teguh. Jangan goyah oleh apapun. Sebab, tak ada jalan untuk disetujui semua orang.

Pemuka tharîqah Alawiyyin, Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, menyatakan:

دَعِ النَّاسَ يَاقَلْبِي يَقُولُونَ مَا بَدَا … لَهُمْ وَاتَّثِقْ بِاللهِ رَبِّ الْخَلاَئِقِ

Hatiku… Biarkanlah orang lain mengatakan apa yang mereka pikirkan… Cukuplah engkau mempercayakan penilaian kepada Allah, Tuhan segenap makhluk.

Jangan tergiur dengan sebutan moderat, jika hal itu justru menjauhkan kita dari tradisi dan pemikiran para ulama salaf. Jangan takut dengan sebutan radikal, jika hal itu terjadi karena kita memegang prinsip-prinsip akidah dan fikih yang tegas, bukan karena kita mendahulukan cara-cara yang keras. Jangan risau dengan sebutan liberal, jika hal itu terjadi karena kita mengedepankan manhaj dakwah yang ramah dan santun, bukan karena kita membiarkan kemungkaran, apalagi membela penyimpangan.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love