Ketika kata khilafah diucapkan, maka makna yang dipahami oleh publik sangat mungkin berbeda-beda. Belum tentu ada kesepahaman antara orang yang berbicara, orang yang mendengar, dan orang yang berkomentar mengenai apa maksud dari khilafah yang mereka perdebatkan. Boleh jadi, pengertian khilafah dalam pikiran orang yang menolaknya berbeda jauh dengan pengertian khilafah dalam pikiran orang yang menerimanya. Ibaratnya seperti kisah tiga orang buta yang berdebat sengit mengenai bentuk gajah. Yang satu menyatakan bahwa gajah itu lebar pipih karena hanya meraba telinganya. Yang satu menyatakan bahwa gajah itu panjang karena meraba belalainya. Dan yang satu lagi menyatakan bahwa gajah itu tegak karena meraba kakinya.
Orang yang menolak khilafah bisa jadi karena khilafah yang ada dalam gambaran dia adalah kudeta terhadap pemerintah yang sah, pembubaran NKRI, penentangan terhadap Pancasila, menganggap Indonesia sebagai negara thâghût, dan bahwa demokrasi merupakan sistem kafir. Jika khilafah diartikan seperti itu, maka kita punya dalil yang kuat dalam agama ini untuk menolaknya.
Sedangkan orang yang menerima khilafah bisa jadi karena dia berpikir bahwa khilafah itu adalah kepemimpinan untuk mengurus kehidupan beragama dan kehidupan sosial dari umat, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Jika khilafah diartikan demikian, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolaknya. Kalaupun pada realitasnya, kita tidak menegakkannya, maka hal itu bukan karena kita tidak menyetujuinya, melainkan karena keadaan yang tidak memungkinkan, karena kita tidak mampu, atau karena kita tidak peduli.
Esensi dari khilafah seperti inilah yang ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya:
إنَّ حَقِيْقَةَ الخِلَافَةِ نِيَابَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِيْ حِفْظِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Hakikat khilafah adalah menggantikan (meneruskan misi) pembawa syariat (Rasulullah r) dalam menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.”
Ada dua tugas pokok dari pengutusan Rasulullah SAW, yaitu menegakkan agama Islam dan menjaga kemaslahatan hidup umat. Sepeninggal Rasulullah r, kepemimpinan dalam dua hal pokok ini masih menyatu dalam satu figur, yaitu figur Khulafur Rasyidun yang empat. Mereka menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Hal itu bisa tercapai dengan baik karena figur-figur khalifah tersebut memang memenuhi segala kriteria untuk menjadi pemimpin umat.
Pasca Khulafaur Rasyidun, kualitas pemimpin dan kepemimpinan semakin menurun. Pemimpin negara sudah tidak lagi memiliki kualitas dan kapasitas untuk menjadi pemimpin agama. Sejak itulah kekhilafahan ideal sudah tidak ada, mungkin terkecuali kepemimpinan Umar bin Abdil Aziz dari Dinasti Umayyah. Banyak ulama yang menyatakan bahwa beliau termasuk khalifah yang ideal.
Kepemimpinan politik yang tidak ideal itu kemudian diistilahkan dengan mulk (kerajaan) untuk membedakan dengan kepemimpinan ideal yang disebut dengan istilah khilâfah (penerus kepemimpinan Rasulullah r). Pembedaan istilah ini terjadi dalam konteks terminologi akademis kajian fikih siyasah. Sedangkan dalam konteks terminologi sosial, kepemimpinan umat Islam pasca Khulafaur Rasyidun tetap disebut dengan khilafah hingga runtuhnya Dinasti Utsmani di Turki pada tahun 1924.
Mengingat hal tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi. Yang pertama, bahwa khilafah itu bukan sebuah sistem apalagi teknis pemerintahan, melainkan sebuah prinsip kepemimpinan yang memuat kepemimpinan agama sekaligus kepemimpinan politik. Karena itulah, menurut Ibnu Khaldun, pemerintahan dengan sistem dan teknis apapun, jika berlandaskan pada ajaran agama maka disebut khilafah, tanpa mempedulikan apakah orang-orang menyebutnya dengan kerajaan atau apapun. Ibnu Khaldun menyatakan:
فَقَدْ صَارَ المُلْكُ يَنْدَرِجُ تَحْتَ الخِلَافَةِ إِذَا كَانَ إسْلَامِيًّا وَيَكُوْنُ مِنْ تَوَابِعِهَا. وَقَدْ يَنْفَرِدُ إِذَا كَانَ فِيْ غَيْرِ المِلَّةِ
“Sebuah kerajaan sudah tercakup di bawah kekhilafahan jika kerajaan tersebut bersifat islami. Jika tidak islami, maka kerajaan adalah suatu yang menyendiri dari khilafah.”
Yang kedua, bahwa khilafah merupakan kepemimpinan ideal dalam agama Islam yang sudah sangat sulit tercapai di zaman sekarang, apalagi jika khilafah dipahami sebagai kepempinan politik yang tunggal bagi umat Islam di seluruh dunia. Atas dasar realitas tersebut, maka hampir seluruh ulama menyatakan bahwa kepemimpinan politik umat Islam yang didapat melalui proses taghallub (kekuatan yang dipatuhi oleh rakyat) sudah berhukum sah.
Pro Kontra Khilafah
Di negeri kita, setidaknya ada dua kubu ekstrem dalam umat ini yang sama-sama tidak tepat dalam menyikapi isu khilafah. Yang pertama adalah kubu yang menganggap khilafah merupakan ajaran terlarang sebagaimana komunisme. Opini seperti ini harus kita lawan karena khilafah itu merupakan ajaran yang memiliki dalil sangat kuat dalam agama kita. Kita sepakat dengan pelarangan gerakan Hizbut Tahrir jika dianggap radikal dan membahayakan NKRI. Namun demikian, kita tidak sepakat jika khilafah dianggap ajaran terlarang atau diidentikkan dengan gerakan Hizbut Tahrir. Sebagaimana kita sepakat dengan pelarangan kelompok teror yang mengatasnamakan jihad. Namun, jika ajaran jihad itu dianggap sebagai ajaran yang terlarang atau diidentikkan dengan teroris, maka opini itu harus kita lawan.
Yang kedua adalah kubu yang memaksakan khilafah, sehingga mereka menganggap bahwa realitas kepemimpinan politik yang ada saat ini tidak sah. Mereka menganggap seolah-olah tidak ada ajaran lain dalam agama Islam kecuali khilafah
Untuk kelompok ini, pertanyaan paling mendasar yang perlu kita ajukan adalah apa yang mereka maksud dengan khilafah? Kalau yang dimaksud adalah kekhilafahan ideal, maka hal itu sudah selesai dengan selesainya Khulafur Rasyidun dan Umar bin Abdil Aziz. Dan, menurut akidah yang kita yakini, baru akan muncul kembali saat kedatangan Imam al-Mahdi.
Jika yang mereka maksud adalah khilafah yang tidak ideal (kerajaan/mulk) seperti Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Utsmani, dan semacamnya, maka posisi dinasti-dinasti itu tidak jauh berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama dalam hal (1) sahnya kepemimpinan, sehingga wajib kita patuhi, (2) larangan keras untuk memberontak, dan (3) kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap penguasa sesuai dengan kemampuan kita.
Jadi, Indonesia memang bukan negera ideal dalam kacamata Islam, namun bukan berarti tidak sah. Oleh karena itu, sebagaimana sikap para ulama kita di masa kemerdekaan dulu, kita menerima Indonesia dengan senantiasa berupaya agar semakin sesuai dengan ajaran Islam. Maka, katakan tidak kepada sekularisme, juga katakan tidak kepada thaghutisme!
Ahmad Dairobi/Sidogiri