Refleksi Pemikiran Habib Umar bin Hafizh
22-23 Januari 2008 M (13-14 Muharam I429 H), Rabithah Alawiyah dan Majlis Muwashalah Baina Ulamail Muslimin menyelenggarakan Multaqa Ulama (Temu Ulama) II 2008. Acara yang berlangsung pada dua hari itu diselenggarakan di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Persis sebagaimana tahun sebelumnya (2007), pertemuan semi Internasional ini menghadirkan al-Habib as-Sayid Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz ibnu Syekh Abu Bakar bin Salim, seorang maha guru Islam dari Tarim, Hadramaut, Yaman.
Temu ulama tersebut antara lain memperbincangkan permasalahan umat Islam secara umum, strategi-strategi dan membedah problem-problem yang menjadi kendala dalam melakukan d akwah. Di sini, pembicara (Habib Umar) menyajikan empat materi yang berbeda namun sebetulnya saling berkaitan. Penyajiannya yang cerdas, lugas dan ber-nash, menunjuklen kedalaman ilmu, kepakaran dan kepiawaiannya sebagai seorang ulama dan ad-dâ’i ilallâh.
Karena space halaman yang terbatas, maka di sini saya akan menguraikan materi pertama saja, yakni al-Khilâfah fi Minzhâri Salaf wa Mas’ûliyatisy-Syarî’ah: ‘Alamiyatud-Da‘wah wa Ahammiyatu TarbiyatiI-Ummah ‘ala aI-Fikr aI-‘Alami wal-‘Amal aI-Jamâ’i (Khilafah dalam Kacamata Ulama Salaf dan Tanggung jawab Syariat: Universalitas Dakwah dan Urgensitas Pendidikan Umat atas Pemikiran Global dan Perilaku KoIektif).
MuIa-mula, Habib Umar menegaskan bahwa dalam konteks khilafah, telah banyak terjadi kekaburan arti dan aplikasi yang menyebabkan kerancuan di sana-sini. Habib Umar menyoroti dua poin penting; pertama, kecenderungan orang-orang dalam membatasi arti khilafah dengan teritori tata-negara dan kekuasaan. Ini berarti pemahaman khilafah terkungkung dalam wilayah kekuasaan. Kedua, memandang wajibnya menegakkan “khilafah” di samping tegaknya kepemimpinan yang sah di tengah-tengah umat Islam. lni berarti khilafah hanya didefinisikan sebagai kepemimpinan.
Sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan berpemikiran mendalam, tentu saja Habib Umar menyangkal asumsi-asumsi yang telah berlaku umum tersebut, dengan disertai setumpuk argumentasi dan fakta-fakta meyakinkan. Bagi beliau, khilafah tidaklah identik dengan hukumhukum ketatanegaraan, pemerintahan atau kekuasaan. Sebab mafhum khilafah adalah khilafah diniyah-ilâhiyah, yang itu menjadi tanggung jawab setiap individu Muslim untuk menegakkan syariat Allah SWT. baik terhadap diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. jadi, cakupan tugas-tugas kekhilafahan sangatlah luas, menyangkut permasalahan keagamaan dan keduniaan-termasuk di dalamnya pemerintahan. Maka dari itu, tentu saia pelakunya bukan hanya individu-individu yang berkuasa.
Sampai di sini, Habib Umar membuat semacam tashawwur masalah yang diselesaikannya sendiri: “lalu bagaimana dengan pernyataan-pernyataan tegas dalam kitab-kitab flkih, bahwa komunitas Muslim berkewajiban mengangkat imam (nashbul imam) di tengah-tengah mereka.” Pemyataan seperti , ini maksudnya adalah, jika pada suatu periode tidak ada pemimpin di te’ngah-tengah umat Islam, maka mereka wajib mengan’gkat seorang imam, guna menegakkan syariat dan menjaga serta melindungi kepentingankepentingan mereka. jadi kalau sudah ada imam, maka umat Islam tidak diperkenankan berupaya menggulingkan kepemimpinan imam yang sah itu, dan mengangkat imam yang baru. Mengenai hal ini, al-Qur’an telah menegaskan bahwa umat Islam diwajibkan taat kepada Allah, Rasul dan ululamri-nya. Demikian pula, penegasan serupa juga dapat dengan mudah dijumpai dalam Hadis-hadis Rasulullah.
Selanjutnya, Habib Umar masuk pada ranah seiarah dan memberikan uraian tafsir yang logis untuk data-data keseiarahan itu. Beliau mengungkapkan, bahwa Nabi Adam :52 yang ditahbiskan sebagai khalifah pertama di muka bumi ini, tentu saja bukan seorang pemimpin pemerintahan. Beliau hanya hidup bersama istri dan beberapa putraputri beliau. Namun, sebagaimana penegasan lugas al-Qur’an, Nabi Adam AS adalah khalifah Allah . yang bertugas melestarikan segenap kehendak dan kebijakan-Nya di muka bumi, baik yang berkenaan dengan diri, keluarga dan masyarakat beliau.
Demikian pula cerita Nabi-nabi yang Iain. Nabi Nuh, misalnya. Adakah beliau menjadi pemuka seluruh komunitas masyarakatnya. ketika itu, 3 dan menjadi pemimpin yang memiliki kuasa dalam menetapkan kebijakan-kebiiakan hukum positif untuk mereka? Bukankah selama 950 tahun beliau berdakwah, hanya ada segelintir orang yang menyambut aiakan beliau. yang berarti saat itu Nabi Nuh adalah kelompok minoritas yang tidak memiliki kekuasaan apapun? Namun bagaimana pun beliau tetaplah seorang khalifah yang sukes mengemban amanat-amanat dari Tuhannya.
Nabi Ibrahim juga seorang Rasul Allah, namun kebijakan hukum dan perundangundangan dunia (aI-hukmuzh-zhéhin”) tidak ada di pihak beiau, akan tetapi di pihak rivalnya, Namrudz. Demikian pula dengan Nabi Musa. Beliau tidak memiliki legitimasi apapun dalam pemerintahan yang berdiri ketika itu. Semua masyarakat Bani Israil merujuk pada perundang-undangan Fir’aun, bukan pada Musa. Namun adakah khalifahnya adalah Namrudz dan Fir’aun? Tentu saja iawabannya adalah bukan.
Jika kita perhatikan dengan‘seksama, maka kesemuanya menunjukkan bahwa khilafah sama sekali tidak identik dengan kekuasaan teritorial, hukum-hukum dan perundang-undangan pemerintahan dan semacamnya. Khilafah adalah konsep ketuhanan yang berlaku bagi setiap individu Muslim, agar mereka merealisasikan hukumhukum dan aturan-aturan-Nya di muka bumi, baik kepada diri, keluarga, sahabat, saudara, bangsa dan negaranya. Maihum khilafah inilah yang diaplikasikan oleh Nabi Muhammad g, para Sahabat dan pengikut beliau sesudahnya.
Pada periode Tabiin, kita meniumpai penguasa-penguasa yang fasik dan zalim. semacam Yazid bin Muawiyah. Pada saat’ saat sedemikian terdapat para pemuka Tabiin. seperti Ali bin Husain Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, Said bin Musayyib dan yang bin. Namun mereka tidak pemah berupaya menyusun kekuatan guna menggulingkan . penguasa itu, sebab orientasi khilafah adalah persatuan dan kesatuan umat, bukan malah memecah belah mereka. Sayyidina Ali bin Husain iuga tidak pernah melaknat atau menaruh dendam kepada para pembunuh ayah beliau. Mereka tetap menialankan tugas khilafah dengan menunjukkan umat padaialan yang benar dan mengajak mereka pada keselamatan secara konsisten, penuh kesabaran dan keikhlasan.
Selanjutnya, para imam mazhab juga telah menjaIankan tugas khilafah ini dengan amat bijaksana Iagi sempurna. Mereka telah menegakkan dan menyebarkan syariat Allah, menuntun dan membimbing umat dengan ilmu dan amal saleh, dan tidak pernah berupaya menggulingkan penguasa yang zalim pada masanya, lalu mendirikan pemerintahan baru, karena hal itu sangat mungkin dapat menyulut api perpecaran antar-umat. Namun yang mereka lakukan adalah memberikan nasehat, masukan, arahan, kritik dan saran. Demikianlah aplikasi dari pemahaman mereka terhadap makna khilafah.