Beberapa tahun setelah Sumpah Pemuda yang tersohor itu digaungkan, sejumlah kaum muda keturunan Arab yang tinggal di Indonesia melakukan langkah cukup mengejutkan. Mereka dengan lantang mendukung gagasan tanah air Indonesia sebagai tumpah darah. Dipelopori oleh pemuda idealis keturunan Arab, Abdurrahman (AR) Baswedan, yang ketika itu berusia 27 tahun. Keturunan Arab—terutama yang paling banyak dari Hadramaut, Yaman— tersebut berkumpul melakukan kongres di Semarang.
Perlu diketahui bahwa di masa kolonial, keturunan etnik Arab mendapatkan perlakuan hukum warga kelas dua (kelas Timur Asing). Hal ini mengakibatkan mereka terpisah dan jarang bergaul dengan kaum pribumi. Meskipun mereka terlibat dalam berbagai aktivitas keagamaan dan pendidikan, tetapi mereka tidak terlibat dalam gerakan kebangsaan.
Kongres Semarang akhirnya melahirkan organisasi Persatoean Arab Indonesia (PAI). Ada tiga tiga butir pernyataan PAI yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda ‘versi keturunan Arab’: 1) Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia. 2) Peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri). 3) Peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
“Dan, peranakan Arab saat itu—melalui isi Sumpah Pemuda 1934—”menurunkan” dirinya. Ini agak aneh untuk ukuran saat itu. Nah, Baswedan tidak melihat itu (warga klas dua) sebagai keistimewaan. Tapi dia mengatakan dengan menjadikan dia pribumi, maka persoalan keturunan Arab di Indonesia itu selesai,” kata Hasan Bahanan, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Baca Juga: 10 November, Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Menurut Hamid Algadri, penulis buku Mengarungi Indonesia: Memoar Perintis Kemerdekaan (1999), dalam bukunya, “Nama PAI sejak berdirinya adalah Persatoean Arab Indonesia. Memang pada waktu itu belum tampak PAI akan menjadi partai politik.”
Usaha PAI yang paling utama adalah “menyatukan kembali keturunan Arab yang pecah-belah”. Masih menurut Hamid, para keturunan Arab sebelumnya terpecah belah karena suatu pertentangan dalam dua golongan Arab dan keturunan Arab, yakni golongan Al Irsyad dan Ar Rabithah.
Sebagai sebuah langkah pergerakan, AR Baswedan tentu punya banyak tantangan. Di masa kolonial, tak semua orang Arab antusian dan mau bergabung dengan PAI. Ancaman yang diterima oleh AR Baswedan dijelaskan oleh Husein Haikal dalam disertasinya, Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1986). Husein menjelaskan betapa AR Baswedan diancam karena perjuangannya, termasuk ancaman fisik.
Pada tahun 1940, PAI mengubah namanya dari Persatuan menjadi Partai. Pantas jika kemudian PAI punya wakil di Volksraad (Dewan Rakyat), yakni A.S. Alatas yang, menurut Hamid Algadri, adalah Penasehat Pengurus Besar PAI. Alatas yang kemudian mewakili PAI mendukung Petisi Soetardjo dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Petisi tersebut berisi tuntutan adanya persamaan di parlemen antara Indonesia dan Belanda, dan adanya pemerintahan yang otonom dalam lingkungan kerajaan Belanda.
Baca Juga: Madiun Affairs: Konflik Yang Dimanfaatkan Belanda
Ketika militer Jepang masuk ke Indonesia dan berkuasa sejak 8 Maret 1942, semua partai politik dibubarkan oleh Jepang, tak terkecuali PAI. Anggota PAI kemudian menyebar, ada yang dijadikan anggota Cuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat), ada pula yang bergabung dengan gerakan Anti Fasis Jepang yang dipimping Amir Sjarifoeddin lalu Sutan Sjahrir. PAI terus mati hingga Jepang kalah dan angkat kaki dari Indonesia.
Banyak pakar menilai bahwa PAI merupakan perkumpulan penting dalam upaya peleburan dan pengakuan akan tanah air Indonesia. Kesadaran keturunan Arab akan pentingnya nasionalisme dan memenuhi kewajiban sebagai anak bangsa patut diapresiasi.
“Kesadaran bangsa Indonesia keturunan Arab pada 4 Oktober 1934 [….] menurut kami memang suatu peristiwa yang sangat penting, yang sudah sepatutnya mendapat perhatian secukupnya. Peristiwa tersebut tidak saja penting bagi saudara bangsa kita yang berketurunan Arab, namun amat penting pula untuk kita semua,” kata Ki Hajar Dewantara dalam peringatan 20 tahun Persatoean Arab Indonesia.
N. Shalihin Damiri/sidogiri