Tak diragukan lagi bahwa era digital telah membikin persebaran dan pertukaran ide, gagasan, serta pemikiran berlangsung sedemikian cepat, tak berbatas, dan tak terkontrol. Setiap orang bisa menyebarkan pemikirannya hanya dengan beberapa sentuhan ujung jari, termasuk pemikiran sesat dan ide-ide yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Ahlusunah wal-Jamaah.
Itulah sebabnya kenapa di era digital ini, perang pemikiran menjadi sesuatu yang niscaya. Alasannya jelas, karena ketika para pemikir sesat begitu bebas dan intens berbicara menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka di media sosial dan lain-lain, sedang kita tidak menjawab dan menunjukkan kekeliruan-kekeliruan mereka, atau diam saja tanpa melakukan kritik dan negasi, pasti pemikiran merekalah yang akan menjadi konsumsi masyarakat umum. Kendati pemikiran dan ide mereka batil, tapi karena tak ada kritik, akhirnya masyarakat umum menganggapnya sebagai kebenaran.
Maka dalam konteks ini, kita sering mendengar nukilan dari kalam hikmah Arab yang artinya, “Ketika ahlul-haq diam terhadap kebatilan, maka ahlul-batil akan mengira mereka berada dalam kebenaran”. Dan, kalam Arab itu juga bersenyawa dengan hadis Nabi yang artinya, “Barangsiapa melihat kemungkaran maka ingkarilah dengan tangannya, jika tidak sanggup, maka dengan lisannya, jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).
Namun masalahnya, belakangan muncul orang-orang fanatik yang tidak terima jika pemikiran tokohnya (yang berpemikiran sesat) dikritik di media online atau sosial media. Alasannya, karena itu termasuk mengungkap keburukan orang lalu disebarkan ke khalayak ramai. Yang benar, katanya, adalah harus menyampaikan kritik itu secara empat mata, dan jika tidak bisa, maka kita cukup ingkar dengan hati, karena mengikuti tuntunan hadis di atas.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah, apakah pernyataan orang fanatik di atas bisa dibenarkan? Jawabannya tentu saja tidak bisa dibenarkan, setidaknya karena dua alasan berikut: pertama, karena pemikiran tokoh sesat itu sudah tersebar kemana-mana dan menjadi konsumsi banyak orang, dan karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh al-Imam al-Ghazzali dalam al-Munqidz minadh-Dhalal (87), bahwa jika pemikiran batil itu sudah tersebar kemana-mana, maka hukum menjawabnya adalah wajib.
Lalu hal kedua, menjawab pemikiran sesat juga tidak berarti mencela atau mencaci-maki terhadap pribadi orang sesat itu. Sebab yang kita kritik dan kita tolak adalah pemikirannya, jadi sama sekali tak menjelek-jelekan orangnya. Namun jika pun setelah kita kritik ternyata reputasi orang itu menjadi jelek, itu sudah menjadi konsekuensinya, di samping juga memperingatkan orang akan bahaya pemikiran orang sesat termasuk nasihat (bukan termasuk ghibah), agar orang-orang tidak tertipu dengan pemikiran sesatnya, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis yang artinya, “Apakah kamu semua takut untuk menyebutkan orang fajir?! Sebutkan dia apa adanya agar orang-orang mengetahui dan berhati-hati.” (HR. Ath-Thabrani).