Konon, Nabi Sulaiman alaihis salam pernah bertemu dengan seekor burung yang berusia sangat tua, sudah berabad-abad. Beliau bertanya kepadanya mengenai perbedaan paling mencolok antara kecenderungan manusia tempo dulu dan masa sekarang. Burung itu menyatakan, “Dulu, orang-orang tua berada di depan, sedangkan sekarang, anak-anaklah yang berada di depan.”

Kisah semacam ini, tentu sangat sulit dipastikan kebenarannya, meskipun pernah ada dalam buku-buku cerita islami di era 90-an. Namun demikian, perhatian utama kita bukanlah tentang kesahihan ceritanya, melainkan tentang inspirasi dan hikmah di balik cerita itu, yaitu sebuah pelajaran sekaligus peringatan, bahwa semakin akhir, kecenderungan umat manusia semakin bergerak untuk memanjakan kehendak anak-anak mereka.

Posisi orang tua dalam mengawal anaknya menjadi seperti itik serati (mentok). Sang induk hanya berjalan di belakang mengikuti anak-anaknya ke manapun mereka pergi. Orang tua semakin kehilangan otoritas di hadapan anak-anak. Dan, pandangan para orang tua tentang anak akan terus mengalami pergeseran akibat supremasi pikiran liberal yang menguasai hampir seluruh aspek pandangan hidup manusia, terutama pandangan yang mulai berkembang bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk memaksakan kehendak, mengintervensi, apalagi memveto, keinginan dan kecenderungan yang dipilih oleh anak-anak mereka.

Para orang tua tempo dulu mengibaratkan pendidikan anak seperti menerbangkan layang-layang. Jika benangnya terus diulur, maka ia akan jatuh. Jika benangnya terus ditarik, maka ia takkan bisa terbang tinggi. Ada waktunya, kapan diulur; kapan pula ditarik, agar anak-anak kita bisa terbang di cakrawala.

Baca Juga: Lilin Kecil Untuk Anak-Anak Kecil Kita

Ibrahim al-Baihaqi dalam al-Mahâsin wal-Masâwi bercerita bahwa ketika Khalifah Harun ar-Rasyid mengirimkan putra-putranya kepada al-Ahmar untuk belajar gramatika dan sastra Arab, beliau berpesan:

لَا تُمْعِنْ فِيْ مُسَامَحَتِهِ فَيَسْتَحْلِيَ الفَرَاغَ وَيَأْلَفَهُ، وَقَوِّمْهُ بِالتَّقْرِيْبِ وَالمُلَايَنَةِ، فَإِنْ أَبَى فَالشِّدَّةِ

‘’Jangan terlampau longgar agar anakku tidak menyenangi santai dan terbiasa menganggur. Didiklah dengan pendekatan dan perlakuan lembut, tapi kalau tidak mau, maka didiklah dengan perlakuan keras.”

Dalam Islam, orang tua diperintahkan untuk memaksa anaknya agar menjadi baik. Hal itu tampak dengan jelas dalam sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan agar memarahi mereka jika meninggalkan shalat pada usia tujuh tahun. Bahkan, beliau memerintahkan untuk memukul mereka jika meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun. Pertanyaannya, sejauh mana orang tua pada zaman sekarang telah menerapkan pesan Rasulullah SAW ini? Apakah masih ada orang tua yang memukul anaknya karena meninggalkan shalat?

Perhatian terhadap perkembangan spiritual anak terus memudar seiring dengan memudarnya semangat spiritualitas itu sendiri dari umat manusia secara keseluruhan. Pudarnya spiritualitas merupakan akibat dari semakin pudarnya pengetahuan ilmu agama dari tengah-tengah umat Islam. Sedangkan pudarnya ilmu agama merupakan akibat dari pandangan hidup manusia yang terus bergerak ke arah materialisme. Karena itulah, dalam banyak hadis, digambarkan bahwa di akhir zaman kebodohan terus merajalela. Tentu saja yang dimaksud beliau bukan kebodohan terhadap sains dan teknologi, namun kebodohan terhadap ajaran-ajaran agama.

Lalu, apa solusinya? Pendidikan pesantren! Di negeri kita, belum ada pendidikan yang memiliki perhatian serius terhadap ilmu agama melebihi pesantren, lebih-lebih pesantren salaf. Ayo mondok!

Menyelamatkan Anak dari Lingkungan Buruk

Cara terbaik dalam menyelamatkan jiwa anak-anak kita adalah dengan menyiapkan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan spiritual, moral dan mental mereka. Sebab, masa-masa kanak-kanak merupakan yang paling rentan untuk terpengaruh oleh lingkungan. Itulah rahasianya mengapa dalam kehidupan suku Quraisy tempo dulu ada tradisi mengasuhkan anak ke daerah-daerah pedalaman. Termasuk Rasulullah SAW, beliau menghabiskan masa kecilnya di perkampungan Bani Sa’ad selama empat tahun di bawah asuhan Halimah as-Sa’diyah. Beberapa analis sejarah menyebutkan bahwa hal itu dilakukan untuk mencari lingkungan yang paling kondusif untuk perkembangan anak secara fisik, kesehatan, ketangguhan jiwa, dan kefasihan berbahasa.

Baca Juga: Fakta Pendidikan Jaman Now

Zaman sudah berubah, dan memang sudah seharusnya berubah. Lingkungan kondusif untuk perkembangan psikologis anak-anak sudah menyusut jauh. Jangankan di luar rumah, di dalam pintu rumah sekalipun kehidupan anak-anak kita sudah tidak lagi kondusif. Separuh dari jiwa mereka telah dirampas oleh gadget, media sosial, game online dan tontonan-tontonan elektronik yang menjauhkan mereka dari dunia nyata. Kecanggihan teknologi, sedikit banyak, telah memasung kreativitas, ketangguhan mental, serta kelancaran interaksi sosial anak-anak kita. Namun demikian, betapa sulitnya menghindarkan mereka dari hantu-hantu elektronik tersebut dari rumah kita.

Lalu, bagaimana cara menyelamatkan mereka? Mengingat sulitnya menjaga anak-anak dan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa mereka, maka lagi-lagi jalan keluarnya adalah pendidikan pesantren. Di pesantren, interaksi sosial berjalan dengan baik; gangguan media sosial dan sarana elektronik sangat minim; lingkungannya relatif aman dari budaya-budaya negatif; anak-anak belajar hidup mandiri; belajar menyelesaikan sendiri keperluan hidup dan masalah-masalahnya dalam sehari-hari; suasana keilmuan, pembelajaran etika, dan pembiasaan ibadah terkondisikan dengan baik. Semua keunggulan ini, hampir mustahil diciptakan oleh orangtua di rumah.

Maka, solusi terbaik untuk anak anak kita secara umum, pada zaman ini, adalah seruan: “Ayo Mondok!” Kalimat ini muncul dan menggema di negeri kita pada waktu yang tepat, yaitu pada saat masyarakat kita mulai menyadari betapa sulitnya menyelamatkan anak-anak kita dari lingkungan yang buruk di akhir zaman ini.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love