Anti-Arab merupakan bentuk diskriminasi permusuhan terhadap etnis Arab. Sikap yang demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Namun, tidak bisa dikatakan bahwa Anti-Arab berarti AntiIslam. Islam merupakan agama, sedangkan Arab adalah etnis atau bangsa yang mendiami kawasan tertentu walaupun keduanya tidak bisa dipisahkan, sebab Islam datang dari dunia Arab. Dan gerakan ini mulai terasa menguat kembali di Indonesia. Bagaimana mendudukkan fenomena ini? Berikut wawancara Alil Wafa, Pemred Sidogiri Media, dengan Prof DR. H. Mohammad Baharun, SH, MA, Ketua Komisi Hukum MUI.
Ada upaya pembangunan opini alergi Arab, bagaimana Habib membaca fenomena ini?
Begini, bagaimana mungkin Islam bisa dipisahkan dari Arab, al-Quran berbahasa Arab, Nabi Muhammad berbangsa Arab. Ada sebuah hadis Nabi, cintailah Arab karena tiga hal; liannî ‘Arabî, karena saya berbangsa Arab, wal-Qur’an ‘Arabî, al-Quran berbahasa Arab, wa lughatu ahlil-jannah ‘Arabiyah, dan bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab.
Ada hadis lain menyebutkan idza dzalla al-Arab, dzalla al-Islâm, kalau orang Arab itu tercela, Islam juga ikut tercela, karena Islam itu dari negeri Arab dan itu tidak bisa diingkari. Jadi gak bisa dipisahkan. Ini kan upayanya orang-orang liberal untuk memisahkan Islam dari induknya.
Kadang-kadang phobia Islam dan pobhia Arab itu dikait-kaitkan dengan Arab sebelum Nabi Muhammad, artinya pra Islam. Kenapa Islam itu turun di negeri Arab? Karena bangsa Arab itu ada di masa jahiliyah. Iya, jahiliyah dalam pengertian tauhid, karena keterputusan risalah, keterputusan keNabian, antara Nabi Isa dengan Nabi Muhammad. Jadi mereka jahiliyah dalam akidah.
Kalau yang dimaksudkan itu jahiliyah dalam budaya, tidak. Orangorang Arab dalam bidang astronominya paling maju di antara bangsa-bangsa yang lain. Ilmu perdagangannya luar biasa, sampai dalam surat Quraish diteguhkan oleh al-Quran, tentang suku Quraish yang biasa melakukan perjalanan jauh (untuk berdagang) hingga ke Syam di musim syita’ dan shaif. Kebudayaan orang-orang Arab ketika itu sangat maju.
Ada usaha dikotomi, ada Islam Arab, ada Islam Indonesia (Nusantara)?
Saya kira ini warisan dari pemerintah kolonial. Jadi kolonial itu berusaha memisahkan Islamnya pribumi dan orang-orang Arab dengan cara-cara seperti itu. Anda jangan kaget, waktu zaman kolonial itu kan dipetakpetak; pribumi dengan non pribumi, yang beragama Islam asli pribumi dan yang dari sana, pengkotak-kotakan ini untuk memisahkan kekuatan Islam secara universal. Seharusnya kita mengartikan Islam rahmatan lil ‘âlamîn itu bahwa Islam itu universal, Islam itu satu, yaitu Islamnya Nabi Muhammad menyatu dalam satu kesatuan. Tidak boleh ada Islam Nusantara, Islam Malaysia, Islam Timur Tengah, Islam India, susah itu nanti untuk menyatukan lagi.
Ketika kita ingin berIslam dan ingin bersyariah malah dianggap mengancam kebhinekaan?
Tidak sama sekali, apa argumentasinya kalau dikatakan ancaman. Justru Indonesia lahir dari para ulama, dan para ulama itu pendidikannya dari negeri Arab. Siapa Imam Bonjol, beliau lulusan mana? Agus Salim, beliau dapat buku-buku dari mana? KH Wahid Hasyim, beliau belajar di mana? Jadi yang dimaksud Islam Nusantara itu ya Islam yang ada di Nusantara. Tapi kalau sudah dikaitkan Nusantara itu bagian dari ajaran, itu berbahaya, nanti orang akan sulit membedakan mana Islam sebagai Dîn, dan mana Nusantara sebagai budaya. Akan terjadi pembauran dan pengkaburan di situ.
Ada yang bilang, ‘Gak usah lah sok ke-Arab-Araban,’ tanggapan Habib?
Wali Songo itu dari Arab, dan beliau tetap mengenakan atribut-atribut Arab; pakai jubah, pakai serban, imamah. Jadi tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat dalam bimbingan para ulama sudah bisa membedakan mana itu budaya Islam dan mana itu budaya Arab. Walaupun itu ada pengaruh, sudah semestinya memang ada pengaruh. Pengaruh yang baik diterima oleh Islam, pengaruh yang buruk ditinggalkan.
Misalnya, tentang adat terima tamu. Asalnya itu bukan dari nilainilai Islam asli. Nabi melihat orang Arab itu kalau kedatangan tamu senang, penghormatannya luar biasa, orang kalau tidak punya harta menyembelih kambing, yang punya harta menyembelih unta. Ini kemudian dijustifikasi oleh Nabi. Bayangkan prilaku yang sederhana berupa penghormatan tamu disandingkan dengan entitas keimanan yang paling tinggi, iman kepada Allah ditambah lagi iman dengan hari akhir yang belum dilalui oleh manusia. Ini kan luar biasa. Itu namanya budaya yang baik dalam Islam itu diterima.
Contoh lain nikah, pernikahan daim diterima oleh Islam. Pernikahan di masa jahiliyah itu banyak, ada sighâr, ada mut’ah dan lain sebagainya. Yang diterima adalah nikah daim. Budaya yang baik diterima yang buruk tidak. Jadi banyak sumbangan budaya Arab itu terhadap Islam. Apa ini juga mau dihilangkan semua? Pilih-pilih dulu. Kalau seperti jubah, serban, dls itu memang budaya.
Nah kenapa ulama-ulama Islam itu mereka juga memakai jubah dan imamah? Itu semata-mata bukan karena orang Arab pakai jubah, pakai imamah. Tapi karena Nabi pakai jubah, pakai imamah, makanya kita ingin meniru Nabi kita. Habib Abdullah al-Haddad itu pernah mengatakan di dalam riwayat hidup beliau, jangankan pakaiannya, semua gerak-gerik Nabi saya teladani, baik itu yang dianjurkan dalam bentuk sunnah mupun yang tidak.
Sampai-sampai jalan cepat, itu kan termasuk karakter Rasulullah. Beliau itu kalau jalan seperti turun dari bukit, itu bukan sunah, tapi ditiru oleh ulama, apalagi pakai jubahnya. Kecuali satu kata Habib Abdullah, rambut panjang, karena di zaman Rasulullah orangorang yahudi sudah memanjangkan rambutnya. Baru ketika Habib Abdullah merasa ajalnya sudah dekat, beliau menolak tukang cukurnya, kata beliau: “Sebentar lagi saya akan meninggal, supaya paripurna saya meniru gerakgerik Rasulullah.”
Jadi intinya, kalau ada ulama pakai jubah, pakai imamah, dan lain sebagainya, itu semata-mata karena pakaian tersebut dipakai oleh Nabi, bukan karena Arabnya. Harus didudukan persoalan ini pada proporsinya. Ini baru nanti ketahuan siapa sebenarnya yang ingin membentur-benturkan dan mempertentangkan. Kita harus jernih.