Indonesia merupakan negara demokrasi, yaitu bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Dengan demikian, setiap warga berhak berpartisipasi, baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan dan pembuatan hukum.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, ketika bangsa Indonesia melakukan protes terhadap keputusan pemerintah, mereka malah dikecam, dibungkam dan bahkan dipidanakan. Hak-hak rakyat untuk menyampaikan aspirasi atau ketidaksetujuannya kini tidak bebas lagi, sehingga nilai-nilai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat tidak bisa mereka rasakan. Mengenai hal ini, simak wawancara Ahmad Rizqon dari Sidogiri Media dengan Dr. Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR periode 2004-2009 beberapa waktu lalu.
Bagaimana Anda melihat sistem demokrasi di Indonesia sekarang?
Memang sangat disayangkan nuansa belakangan ini yang menampilkan beragam kondisi di mana demokrasi kita tidak terlaksana dengan baik. Ketika hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, melaksanakan hak konstitusionalnya melalui demonstrasi yang damai pun sering kali mengalami gangguan, seperti dihalang-halangi dan disusupi provokator.
Kita ingat bagaimana ketika umat mau melakukan aksi 212, dicegat di mana-mana, di sejumlah titik dibatalkan, disweeping di tengah jalan dan lain sebagainya. Padahal, mereka tidak melakukan tindakan anarki sama sekali. Atau seperti baru-baru ini, demo warga dan mahasiswa baik-baik saja, tetapi selalu muncul penunggang yang kemudian menghadirkan anarki, seperti pembakaran halte TransJakarta sehingga dikesankan aksi demonstrasi berjalan ricuh.
Mestinya, pemerintah memberi ruang dan kesempatan kepada bangsa ketika hendak menyampaikan aspirasinya yang dilakukan dengan berdemonstrasi secara damai, konstitusional, tidak anarki. Terlebih, presiden dulu telah menyampaikan secara terbuka bahwa kangen didemonstrasi. Karena, jika tidak ada demo, negara tidak bisa dikontrol.
Rakyat dilindungi undang-undang untuk menyampaikan aspirasinya ?
Betul. Itu dijamin UUD 1945. Di pasal 28 tentang hak berserikat dan berkumpul. Di pasal 28 tentang hak asasi manusia juga ada hak untuk menyampaikan pendapat. Itu semua adalah hak konstitusional yang dijamin oleh undang-undang. Bahkan, untuk berdemonstrasi sebetulnya tidak perlu izin, cukup memberitahukan. Jika ada aparat yang memelintir dan mengatakan harus izin, itu sudah tidak sesuai aturan tentang penyampaian pendapat di muka umum. Apalagi jika dilakukan framing atau stereotyping sehingga dinilai telah membuat kericuhan atau anarkisme.
Demikian itulah yang sebetulnya melanggar hukum. Membiarkan adanya penyusupan sehingga melakukan tindakan anarki. Sebaliknya, yang tidak melanggar hukum bahkan mendapat jaminan hukum adalah mereka yang melakukan demo secara damai, menyampaikan aspirasi secara terbuka, konstitusional. Dan itulah yang harusnya dikawal dan diayomi oleh semua.
Tetapi mengapa pemerintah masih melakukan represi terhadap demonstran?
Saya tidak tahu persis mengapa pemerintah melakukan hal itu. Mestinya mereka tidak membiarkan terjadinya represi terhadap demonstran, wartawan atau yang melakukan kritik dengan damai atau secara konstitusional. Ketika ini masih terjadi, maka komitmen berdemokrasi pemerintah perlu dipertanyakan.
Termasuk membiarkan terjadinya represi dari sebagian oknum polisi itu bagian dari komitmen berdemokrasi pemerintah yang perlu dikoreksi dan diperbaiki. Dan mengoreksi atau memperbaikinya mau tidak mau harus melalui kritik terbuka yang dilakukan dengan cara-cara rasional, argumentatif, solutif dan tidak terjebak pada anarkisme, logika teror, hoaks dan semacamnya.
Kritik perlu terus dilakukan meskipun ada framing dan represi. Lakukan kritik, lakukan koreksi -termasuk kritik dan koreksi terhadap sikap pemerintah yang cenderung tidak suka atau tidak mau dikritik- dengan cara konstitusional, rasional, argumentatif, solutif.
Sekarang, yang tidak sejalan dengan pemerintah dianggap menentang pemerintah
Itu merupakan sikap yang salah. Sikap semacam itu hanya bagi kalangan yang anti demokrasi, sikap kelompok yang lebih mengarah pada rezim otoriter dan bukan rezim yang sesuai UUD 1945, Pancasila dan tradisi demokrasi yang dikembangkan di Indonesia. Dan insyaallah, negara kita belum separah itu kendati ada sebagian kelompok kecil yang memang tidak mau dikritik, tetapi saya melihat banyak kritik dan koreksi yang masih didengar oleh pemerintah.
Kita sangat menyayangkan terjadinya kondisi di mana seolah-olah kebenaran adalah pemerintah, dan pemerintah adalah kebenaran, sedangkan di luar pemerintah hanyalah kesalahan. Yang demikian itu hanyalah berlaku di negara otoriter dan tidak berlaku di negara demokrasi.
Saya yakin, bukan rezim demikian yang diharapkan pendiri bangsa. Ketika dahulu para ulama rela mengabulkan permintaan Bung Karno untuk menyelenggarakan kongres ulama se Jawa Timur yang kemudian mendeklarasikan Resolusi Jihad, pasti mereka tidak pernah berpikir bahwa Indonesia akan menjadi negeri represi yang korban terbesarnya adalah umat Islam.
| BACA JUGA : TRANSPARANSI PENJAJAHAN
Resolusi Jihad memberikan bukti bahwa pemerintah tidak perlu alergi dengan umat Islam, tidak perlu alergi dengan kata-kata jihad, apalagi ketika jenderalnya justru membela bangsa dan negera. Umat Islam telah banyak berjasa menyelamatkan Indonesia dari penjajah.
Apa kiranya yang perlu pemerintah dan rakyat lakukan untuk menjaga Indonesia?
Semua pihak perlu saling mengingatkan dan menguatkan dalam melaksanakan kesepakatan kita sebagai bangsa. Kita sudah sepakat dengan Pancasila. Sepakat dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau kesepakatan itu betul-betul dipegang, maka yang hadir adalah demokrasi yang berkualitas. Bukan malah democrazy yang semau gue, menang-menangannya pemerintah, politik mayoritas dan memonopili tafsir terhadap kebenaran, Pancasila dan UUD 1945.
Perlu adanya semangat berbangsa yang berakhlak mulia karena kita ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, semangat berbangsa yang mengedepankan keadilan dan keadaban karena kita kemanusiaan yang adil dan beradab. Semangat berbangsa yang mengedepankan adanya kebersamaan besar karena kita persatuan Indonesia. Semangat untuk mendengar pihak lain, bermusyawarah, tidak represif, tidak memaksakan penafsiran kekuasaan karena kita kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dan semangat kehadiran kita justru untuk berkontribusi dalam rangka menghadirkan kemaslahatan terbesar bagi bangsa Indonesia yang bernama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nah, demokrasi dan demonstrasi adalah bagian dari pengejawantahan i t u s e m u a . D a n y a n g h a r u s melaksanakan terlebih dahulu adalah negara, pemerintah, karena negara dan pemerintah lah yang diberi kuasa konstitusional, kuasa anggaran, kuasa hukum, kuasa politik untuk menyelenggarakan negara. Mereka harus menjadi contoh tentang bagaimana ber Pancasila dengan benar sehingga tidak menghadirkan represi, bernegara yang mengayomi, bernegara yang orientasinya mensejahterakan rakyat.
Sebagaimana ungkapan dalam tradisi pesantren kita, ar-Ra‘iyyatu ‘alâ dîni mulûkihim, rakyat ikut saja dengan apayang dicontohkan para pemimpin. Jika seorang pemimpin memberi teladan yang baik, maka rakyat akan ikut dan mendukungnya. Ketika keberkahan sudah meluas dan saling percaya antara pemimpin dan rakyatnya, maka akan menghadirkan relasi yang sangat bagus dalam berbangsa dan bernegara kita.