Secara historis, hermeneutika muncul dari ketidakpuasan para pemeluk Kristen terhadap keputusan-keputusan Gereja yang sering kali tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Ruang lingkup Bible yang hanya fokus mengurusi urusan spiritual membuat para cendekianwan Kristen tergugah untuk merumuskan kembali cara mengaktualisasikan Bible dalam pentasan hidup yang terus melaju jauh dari jangkauan Bible yang statis itu. Mereka pun berupaya untuk menentang ketimpangan fakta itu dengan mencoba medekonstruksi kitab sucinya dengan menafsirkankan dengan metode hermeneutika.
Fakta sejarah ini diperparah dengan hegemoni Gereja yang bersikap intimedasi dan diskriminasi kepada para pemeluknya. Gereja memvonis keselamatan hanya ada pada gereja sedang ia belum mampu memberikan tuntunan secara utuh bagi pemeluknya. Salah satu bukti konkret terjadinya kekejaman gereja pada masyarakat akar rumput yang tidak patuh pada aturan yang telah ditatapkan adalah insitutisi “INQUISI”, sebuah institusi yang sangat terkenal kekejaman dan kejahatannya pada abad pertengahan.
Keren Armstrong misalnya, seorang mantan biarawati dan penulis terkenal, memberikan gambaran kekejaman Inquisi Kristen seperti ini, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai pada akhir abad ke-17. Metode inqusisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dalam kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”
Selain trumatis mendalam masyarakat Kristen terhadap kesewenang-wenangan konstitusi Gereja yang menjadikan Barat menjadi sekuler-liberal, adalah problem teks Bible yang tak berkesudahan sampai sekarang. setidak-tidaknya adak dua poin penting mengapa Kristen memilih hermenuetika sebagai sarana untuk menginterpretasikan kitab sucinya.
Pertama, penulisan teks Bible. Sampai saat ini tidak ada satupun yang tahu siapa yang menulis dan siapa yang membukukannya. Richard Elliot Friedman, menulis dalam bukunya, Who Wrote the Bible, “Adalah sebuah fakta yang mengherankan bahwa kita tak pernah tahu secara pasti siapa yang menulis buku yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita”. Misteri ini masih menjadi teka-teki tertua sepanjang perjalanan sejarah Kristen.
Kedua, dokumen asli teks Bible. Tidak adanya manuskrip yang autentik yang menyebabkan teks Bible memiliki banyak copy-an. Salinan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno baru terbubukan pada awal 1514 M di Universitas al-Cala Spanyol. Hingga kini, tercatat sebanyak 5.000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani) yang selanjutnya diterjemahkan lagi menjadi banyak bahasa di seluruh dunia. Karenanya banyak ditemukan kontradiksi dalam Bible antara satu teks dengan teks yang lain.
Dari kerancuan sejarah dan teks Bible ini, pada abad ke-19 terjadi banyak penolakan dan kritikan terhadap naskah resmi yang disetujui sebagai perjanjian baru. Terjadi banyak pemilihan dan dekonstruski besar-besaran ketika membahas metode yang diterapkan untuk mengakaji Yesus dan injil.
Problem-problem semacam ini tidak pernah kita dapati dalam lembaran sejarah umat Islam. Autentisitas dan kemurnian kitab suci al-Quran terjaga alami hingga saat ini. Dan sangat ironi, ketika kita dapati para cendikiawan muslim kita malah ikut-ikutan latah mengadopsi tren penafsiran kaum Kristen.
Secara metodologis, hermeneutika memiliki tiga langkah dalam memahami agama, yaitu pengarang, teks dan pembaca. Ini merupakan pokok ajaran di kalangan liberalis untuk mengkaji dan menafsiri teks al-Quran agar lebih mengena pada masa ini. Bahkan, belum bisa dikatakan liberalis seseorang yang tidak menggunakan metode ini. Seakan, metode ini adalah harga mati dalam merumuskan sebuah kebijakan dan mengatasi problematika umat.
Pertama, kondisi pesikis dan lingkup sejarah yang dihadapi oleh pengarang adalah hal penting untuk memahami teks ciptaannya yang kemudian diinterpretasikan ulang agar sesuai pada konteks di mana teks itu hidup. Sebab menurut mereka pengarang dari sebuah teks di masa lalu akan melakukan hal yang sama jika teks tersebut ia ciptakan pada hari ini. Dari teori semacam ini mengakibatkan mati penulis sama sekali.
Kedua, bagi para penafsir hermeneutika watak dari teks apapun bersifat lentur tidak beku dan tertutup. Sehingga dengan demikian, satu teks dapat memiliki arti yang beragam tergantung kecenderungan dan pendapat penerimanaya.
Ketiga, setelah sebelumnya ditegasakan bahwa posisi pengarang tidak terlalu berarti penting dalam penafsiran daripada posisi pembaca sebab di tangan pembacalah teks menjadi terbuka dan multi tafsir.
Bahkan corak penafsiran klasik sangat tidak dapat diterima oleh mereka yang menggunakan perangkat hermeneutika sebagai alat penafsiran al-Quran. Sebab corak penafsir klasik menurut mereka terlalu mengkultuskan pengarang dari sebuah teks kitab suci hingga akan mengakibatkan sebuah teks tidak bisa berbicara apa-apa di hadapan problematika kekinian.
Paparan di atas berkisaran tentang teori takwil (hermeneutika) Barat di jalur historis dan pemikirannya. Juga menjadi semacam gerakan penting untuk menciptakan sebuah teori atau ilmu yang kemudian disebut takwil atau hermenuetika.
Dapat dengan mudah kita baca, bahwa teori hermenuetika selain mengagungkan posisi pembaca juga meniadakan peran pengarang atau mematikannya. Teori ini sangat berdampak fatal jika diterapkan kepada al-Quran. Sebab akan menafikan sifat Allah (sumber teks Al-Quran) berupa Dzat yang Maha mengetahui segala sesuatu, yang zahir dan yang batin dan di masa sebelum itu teks diturunkan hingga pada suatu masa teks itu akan lenyap tak terisa.
Baca juga: Tradisi Natalan/ Bahtsul Masail
Baca juga: Buta Kitab Kuning, Biang Radikalisme
Baca juga: Tuhan Tidak Mati