Oleh : Luluk Mazidah*
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ [سورة الفتح : ٢٩ [
“Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang bersamanya sama-sama tegas dan keras terhadap orang kafir dan berbelas kasih terhadap sesama saudara seiman.”
Akhir-akhir ini, isu-isu keagamaan menjadi teramat sensitif dan sangat rentan menimbulkan polemik di tengah-tengah bangsa ini. Sentimen teologis-ideologis begitu terasa dalam peristiwa-peristiwa panas yang belakangan terlihat begitu menarik perhatian dan berdampak pada kehebohan bangsa yang luar biasa. Boleh jadi, sensitifitas tersebut muncul tersebab tingginya girah dan kepedulian masyarakat terhadap urusan agama. Atau boleh jadi, ada motivasi atau kepentingan lain yang bermain di balik layar isu-isu keagamaan tersebut.
Di tengah carut-marut polemik bernuansa keagamaan yang terjadi di Nusantara—yang tentu saja melibatkan agama Islam sebagai mayoritas—pada perjalanannya memunculkan dua kecenderungan berbeda yang terlihat dari sikap umat Islam dalam menyikapi suatu peristiwa; keras dan tegas, ramah dan kalem. Hal sedemikian bisa kita lihat misalkan dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki T Purnama alias Ahok.
Dalam menyikapi kasus penistaan ini, umat Islam Indonesia tidak satu padu dalam satu suara. Akan tetapi terbelah menjadi dua kecenderungan umum; pertama, bersikap tegas dan keras menuntut dengan segala upaya agar si penista agama diadili dan dipenjarakan. Kecenderungan ini diwakili oleh ulama dan mayoritas umat Islam di Indonesia yang kemudian menggelorakan Aksi Bela Islam yang tampak luar biasa; kedua, bersikap kalem dan ramah. Kecenderungan ini berhembus dari segelintir umat Islam yang beralasan bahwa ajaran dan dakwah Islam adalah dengan damai dan lemah lembut, tidak dengan kemarahan dan sikap keras. Adalah tidak benar jika umat Islam menuntut keadilan dengan cara-cara keras, teriak-teriak, dan melakukan demo.
Tentu tidak dapat disalahkan ketika seorang Muslim merasa tersinggung dan marah saat agama yang ia anut dan yakini dinistakan oleh pihak lain. Sebab, hal tersebut menunjukkan kecintaan, kesungguhan, dan kepeduliannya terhadap agamanya. Malah akan tampak aneh jika seorang yang mengaku sebagai Muslim tampak biasa-biasa saja dan bersikap adem-ayem ketika agama Islam dilecehkan oleh penganut agama lain. Bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah jika seorang Muslim malah tampak berada di pihak penista, membela dan mencari-cari alasan bahwa si penista tidak bersalah dan tidak perlu dipermasahkan. Pada titik ini, perlu dipertanyakan adakah iman dalam hati orang tersebut?
Baca juga: URGENSITAS NASAB
Namun demikian, dalam upaya meneguhkan prinsip dan ketegasan dalam menyikapi hal yang merendahkan atau melecehkan Islam, tentu harus tetap menjaga tata krama dan etika baik yang merupakan cermin dari agama Islam itu sendiri. Sebab, jika upaya menjaga martabat Islam dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik, kasar, sporadis, maka hal itu sangat rentan menimbulkan kerugian bagi Islam dan umat Islam sendiri. Hal tersebut akan mengesankan bahwa umat Islam adalah umat yang radikal, intoleran, fundamental, dan segenap kesan-kesan mengerikan lainnya. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa media-media meanstream nusantara cenderung tidak bersahabat dengan Islam dalam penyajian beritanya. Media-media sekuler arus utama tersebut lebih sering memberitakan Islam dengan kesan negatif dan mendiskreditkan dari pada kesan positif dan menyejukkan. Oleh sebab itu, umat Islam nusantara perlu sadar dan berhati-hati dalam bertindak. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan kesan negatif, semisal mencaci, anarki, dan lain sebagainya. Sangat disayangkan jika Islam terkesan negatif tersebab perbuatan umatnya yang sembarangan dan tidak berhati-hati.
Masih berkaitan dengan premis di atas, bahwa dalam menyikapi kasus penistaan agama oleh Ahok, ada sebagian umat Islam yang menaggapinya dengan sikap yang nampak humanis, toleran, dan seolah tanpa emosi. Boleh jadi, sikap sedemikian memang terlihat elegan bagi umat Islam dalam menyikapi peristiwa semisal penistaan ini. Akan tetapi, tentu saja, sikap tersebut tidaklah memiliki arti apa-apa jika hanya berhembus begitu saja tanpa ada upaya meneguhkan prinsip dan gerakan menjaga harga diri dan martabat Islam. Sikap tersebut tak ubahnya pemanis buatan yang hanya manis di bibir namun menyakitkan pada tubuh.
Bahkan, sikap (sok) ramah dan (sok) toleran tersebut pada gilirannya akan menjadi semacam antitesis kemarahan umat. Menjadi batu hambatan yang cukup mengganggu gerakan umat dalam membela harkat dan maratabat Islam. Dan hal inilah yang—diakui atau tidak— sedang terjadi pada segelintir umat Islam nusantara. Betapa menyedihkan. Betapa mengkhawatirkan.
*Santriwati PP Salafiyah Bangil asal Tanah Merah Bangkalan