Telah banyak orang yang mengaku bahwa ia adalah tokoh perjuangan di negeri pertiwi ini. Mereka berlomba-lomba untuk menduduki jabatan penting guna membangun negara yang bermayoritas muslim ini. Di tangan merekalah, negara ini akan maju atau mundur, karena dengan kekuasaan segala sesuatu mudah direalisasikan daripada rakyat jelata yang hanya bergaung namun tidak didengarkan.
Jabatan kepemimpinan bukanlah seperti barang jualan, yang jika dibeli oleh seseorang, lantas orang itu sudah dapat, maka dianggap sebagai pemimpin. Tetapi, pemimpin adalah roh bangsa, jika suatu bangsa dipimpin oleh orang yang tidak jelas pendiriannya, orang yang fasik dan berakhlak tercela, maka bangsa itu positif bobrok, kacau dan akhirnya hancur.
Setidaknya, tidak disebut pemimpin yang baik, kecuali jika dia mau bangkit, sanggup memikul beban dan tanggung jawab untuk mengabdi pada negara, mempertahankan negara dari rongrongan para provokator, dan membendung usaha-usaha para pengkhianat yang hobinya korupsi. Di sini, penulis –masih menjadi rakyat biasa- setidaknya memiliki hak untuk menyampaikan argumen kepada orang yang akan menduduki jabatan penting di negara ini.
Pertama. Pemimpin sejati bukanlah orang yang suka bagi-bagi uang dan merangkul para ulama, yang tujuannnya hanya agar orang-orang menyukai dan mendukung kepemimpinannya. Sebenarnya mereka sama sekali tidak memiliki jasa atau keistimewaan yang dapat mengantarkannya pada kedudukan kepemimpinan. Calon pemimpin seperti ini biasanya suka memprovokasi rakyat, agar merongrong pemimpin-pemimpin umat yang sebenarnya sudah baik dan mencemarkan nama baiknya, sehingga terjadi krisis kepercayaan yang akhirnya terjadi kefakuman. Situsasi ini dimanfaatkan sebagai jalan agar dapat mengambil alih kekuasaan dan kepemimpinan, sehingga mereka bisa menjadi pemimpin. Padahal mereka tidak menyadari, bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya membuka cacat dan kejahatan mereka sendiri, yang pada akhirnya rakyat menjadi menjauhi meraka, tidak memperhatikannya, bahkan membenci dan marah kepada mereka.
Kedua. Belum dianggap sebagai pemimin yang sejati, kecuali jika dia telah memenuhi syarat-syarat kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dituturkan oleh Syekh Mustafa Al-Ghalayain, yakni berpikiran cerdas, berwawasan luas, baik pendapatnya, bisa mengendalikan diri, perkasa, bersih atau tulus hatinya, baik perilakunya, dermawan, banyak memberikan bantuaan keuangan demi kesejahteraan umat dan giat menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh pelosok tempat tinggal rakyat. Barangsiapa yang jejak perjalanannya seperti itu dan siap memikul tanggung jawab yang berat, maka dia baru disebut sebagai “tokoh dan pemimpin sejati”.
Jika ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut untuk menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk perampas yang bodoh, tetapi mengaku pintar ingin menjadi pemimpin, karena gila pangkat semata.
Ketiga. Orang yang tulus menjadi pemimpin adalah orang yang tidak senang menjadi pemimpin, kecuali jika jabatan itu datang sendiri atau rakyat memaksa harus menduduki menjadi pemimpin, karena mereka melihatnya sebagai orang yang mau bekerja dengan baik, bersih dan baik akhlak serta mulia kepribadiannya. Oleh karena itu, apabila sudah ada seorang pemimpin yang cakap dan memiliki bakat memimpin, maka jangan sekali-kali kita hasud kepadanya, yang mengakibatkan kita terdorong untuk berupaya menjatuhkan dan berusaha mempengaruhi masyarakat agar berpaling darinya. Tetapi, kita harus berusaha membantu dan mendukung terhadap apa yang dilakukan pemimpin yang cakap dan mendukung program-programnya.
Walhasil, banyak sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, padahal mereka tidak memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin. Mereka tidak sadar, bahwa pemimpin bangsa memikul tanggung jawab yang besar, tempat pengaduan rakyat ketika mereka menghadapi kesulitan, tempat meminta pertolongan saat dilanda krisis dan sebagai tempat rakyat di waktu mereka menghadapi persolan besar.
Bagus Zuhdi
Baca juga: Tokoh-Tokoh NU Yang Lahir dan Wafat di Bulan Juni
Baca juga: Mengenal Tokoh NU
Baca juga: