Ada dua golongan manusia, bila mereka baik maka masyarakat menjadi baik pula. Namun bila mereka buruk maka masyarakat pun ikut menjadi buruk, yaitu Ulama dan Umara. Belakangan hari, gemuruh kampanye antar dua kubu calon Umara (baca; presiden) sama-sama mendengungkan suaranya. Entah berapa dan cara apa yang mereka tempuh guna menuai hasil sempurna dalam putaran pemilihan umum di tahun mendatang. Namun yang pasti di antara yang mereka lakukan adalah dengan cara mendekati Ulama, meminta nasihat, doa, dan sekaligus dukungan untuk mempergendut perbendaharaan dukungan. Hal ini karena mengingat pengaruh dan daya para Ulama di ruang masyarakat amat begitu kuat.
Sayangnya, pemandangan seperti ini hanya terbangun saat narasi politik mulai menderu, saat di mana nada politik riang didendangkan. Sampai-sampai hampir semua Ulama mereka temui dan nyaris di setiap suasana pertemuannya diekspose terbuka di ruang publik –dari media offline hingga yang online. Pertanyannya, apakah pemandangan seperti ini memang real dari hati mereka, ataukah memang ada tujuan tertentu di balik kedekatannya?.
Entahlah. Hanya saja yang telah terjadi di lapangan, nyaris selepas pesta demokrasi gulung waktu, cerita-cerita kedekatan mereka layaknya cerpen yang lekas selesai.
Selanjutnya, dalam tulisan ini urgen disampaikan terkait mengapa beberapa abad kemarin Ulama dan Umara mampu menjalin relasi yang mesra, sekaligus dapat membentuk serta mengkader karakter-karakter terpuji, baik di kalangan masyarakat prematur wawasan sekalipun?. Setidaknya, ada tiga hal yang -hemat penulis- terjadi di masa lalu!.
Pertama. Secara continue, Umara merasa perlu dan butuh kepada arahan dan rekom dari para Ulama. Ketika terdapat sedikit masalah misalkan, ia tidak malu untuk sekadar meminta nasihat dari Ulama. Ketika ada keputusan yang agak berbelit-belit, mereka hadir dan mendiskusikannya bersama Ulama. Di sisi lain, kendati tidak memiliki hajat apapun yang kaitannya erat dengan urusan kepemerintahan, mereka terus mencoba sowan dan bertamu ke rumah-rumah Ulama meski hanya sekadar membahas obrolan ringan. Seperti apa yang dilakukan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid ketika meminta nasihat kepada Imam fudhail, juga Umar bin Abdul Aziz yang meminta petuah kepada Syekh Muhammad bin Ka’ab al-Qardzi.
Kedua. Bersifat terbalik, Ulama sama sekali tidak butuh dan tidak menghamba di bawah tampuk kekuasaan Umara. Jadinya, karisma dan wibawa mereka amatlah prestise. Sehingga, mereka tidak segan melemparkan kritikan-kritikan pedas jika terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang bergulir di tengahtengah meja kerja Umara. Demikian ini adalah bentuk jihad yang dilakukan oleh para Ulama. Nabi bersabda, “Jihad yang paling utama adalah kalimat kebenaran yang ditegaskan di hadapan para penguasa yang zalim” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Abu Said al-Khudri)
Ketiga. Antara Ulama dan Umara sama-sama tidak gila harta. Cara inilah yang senantiasa dilakukan oleh dua golongan ini. Seperti apa yang pernah diteladankan oleh Imam syafi’i, Abdullah Bin Umar, Imam al-Khawash, dan Imam sya’rani dari kubu Ulama. Umar bin Abdul Aziz, Harun ar-Rasyid, dari kubu Umara. Sehingga, terbentuklah kepingan relasi mesra antar Ulama dan Umara dalam bersinergi membangun Negeri.
Akhiran, andaikata tiga hal ini bisa dijalankan di Negeri ini, maka kendati tidak bisa mewujudkan masyarakat dan Negara yang baik, minimal akan menuai relasi baik antar Ulama dan Umara.
Khoiron Abdullah/sidogiri
Baca juga: Kebaikan Semu Dari Teman Su’