Siapapun idola Anda, maka hal itu merupakan gambaran jelas mengenai idealisme, cita-cita dan pandangan hidup Anda. Oleh karena itu, Rasulullah pernah menegaskan, “Anta ma’a man ahbabta.” Di akhirat kelak, seseorang akan berkumpul bersama dengan idolanya. Di dunia jadi pengikutnya: meniru dan memujanya. Maka, di akhirat pun dia akan menyertai dan berkumpul dengannya. Dan inilah salah satu yang membuat munculnya istilah Hedonisme.
Kekaguman kita kepada seseorang tumbuh karena kita menganggapnya memiliki kelebihan atau keistimewaan yang tidak kita miliki dan tidak mampu kita capai. Ia melakukan hal-hal yang hebat dalam persepsi kita, hal-hal luar biasa yang tidak mampu kita lakukan. Sehingga, apa yang ada padanya menjadi semacam tujuan hidup yang ingin kita capai.
Tokoh idola adalah kristalisasi dari pandangan hidup dalam bentuk figur—sebagaimana slogan merupakan kristalisasi cita-cita dalam bentuk kata-kata. Maka, jangan bermain-main dengan idola! Salah dalam memilih idola berarti salah dalam mencari jalan hidup dan menetapkan tujuan hidup. Idola itu adalah sumber inspirasi bagi seseorang dalam meyakini, merasakan dan melakukan sesuatu.
Karena itulah, dalam hitungan detik, pengidolaan bisa berkembang menjadi fanatisme. Hubbuka as-syai’ yu’mi wa yushimmu. Membuat nalar tidak berkembang dan rasionalitas cenderung mati. Dalam citra negatifnya, kecenderungan ini biasa disebut dengan fanatisme dan ekstremisme; sedangkan dalam citra positifnya, hal itu lumrah disebut sebagai kesetiaan dan militansi.
Setiap orang membutuhkan idola sebagai pegangan hidup. Itu adalah keniscayaan psikologis bagi manusia. Tidak ada manusia yang benar-benar merdeka dari taklid—kecuali para nabi. Semua orang punya panutan. Proses hidup selalu berawal dari meniru. Secara mentah-mentah, atau paling tidak, melakukan modifikasi halus terhadap sumber yang ditirunya.
Manusia butuh meniru. Maka, tirulah yang benar, supaya tidak terjebak untuk meniru yang salah. Jiwa kita: jika tidak kita isi dengan hal-hal baik, maka akan terisi dengan hal-hal buruk. Jiwa itu adalah ruang yang harus terisi. Tidak bisa untuk netral murni. Tidak bisa untuk tidak memiliki kecenderungan apa-apa.
نَفْسُكَ إِنْ لَمْ تَشْغَلْهَا بِالْحَقِّ, وَإِلَّا شَغَلَتْهَا بِاْلبَاطِلِ
“Jiwamu, jika tidak kau sibukkan dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkanmu dengan kebatilan.” (Imam asy-Syafii)
Hati-hatilah dalam memilih idola, tapi lebih berhati-hatilah ketika menjadi idola. Menjadi panutan, berarti sedang menjadi amal jariyah. Bisa pahala jariyah, bisa dosa jariyah. Kalau pahala jariyah, betapa beruntungnya! Tapi, kalau dosa jariyah, betapa celakanya. Dosa jariyah, salah satu dosa yang paling sulit untuk ditobati
طُوْبَى لِمَنْ مَاتَ وَمَاتَتْ مَعَهُ ذُنُوْبُهُ. وَاْلوَيْلُ الطَوِيْلُ لِمَنْ يَمُوْتُ وَتَبْقَى ذُنُوْبُهُ مِائَةَ سَنَةٍ, وَمِائَتَيْ سَنَةٍ
“Betapa beruntung, orang yang mati dan dosanya juga ikut mati. Betapa celaka, petaka abadi untuk orang yang mati, tapi dosanya terus hidup hingga seratus atau dua ratus tahun.” (asy-Syathibi)
| BACA JUGA : SEKULARISME VS ISLAMISME
Konon, Sayidina Umar ikut menyimak ceramah Tamim ad-Dari di Madinah. Ada satu kalimat dari Tamim ad-Dari yang membuat beliau sangat penasaran: “Jauhilah kekeliruan orang yang alim!” Sayidina Umar merasa tidak enak untuk memotong ceramahnya dan bertanya secara langsung. Hingga akhirnya, beliau pergi karena keperluan mendesak. Beliau berpesan kepada Ibnu Abbas untuk menanyakan hal itu. Ibnu Abbas pun tidak sempat.
Begitu pentingnya, setelah selesai keperluannya Sayidina Umar mengajak Ibnu Abbas untuk menemui kembali Tamim ad-Dari untuk menanyakan halْ itu. Apa jawab Tamim?
العَالِمُ يَزِلُ بِالنَّاسِ فَيُؤْخَذُ بِهِ, فَعَسَى أَنْ يَتُوْبَ مِنْهُ العَالِمُ, وَالنَّاسُ يَأْخُذُوْنَ بِهِ
“Tokoh ulama yang melakukan kekeliruan di hadapan khalayak, sehingga kekeliruannya itu dijadikan pedoman oleh mereka. Boleh jadi, si ulama sudah bertobat dari kekeliruan tersebut, tapi masyarakat tetap memegangnya.
Syekh Burhanuddin as-Zarnuji dalam Ta’lîmul-Muta’allim mengutip sebuah syair :
فَسَادٌ كَبِيْرٌعَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ ….. وَأَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ
هُمَا فِتْنَةٌ لِلْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ ….. لِمَنْ بِهِمَا فِيْ دِيْنِهِ يَتَمَسَّكُ
ُ”Merupakan kerusakan yang besar jika ada orang alim yang bejat… Tapi, lebih besar lagi jika ada orang ahli ibadah yang bodoh. Keduanya adalah petaka yang sangat besar bagi dunia… bagi orang yang menjadikan keduanya sebagai panutan dalam agama.”
Dua figur pemuka agama yang paling berbahaya untuk dijadikan idola: orang berilmu tapi bejat dan orang ahli ibadah tapi bodoh atau sesat. Dua-duanya berpotensi besar memiliki banyak pengikut. Yang satu karena kilau ilmunya, yang satu karena pesona ibadahnya. Keduanya berpotensi menyesatkan pengikutnya: yang satu menyesatkan pengikutnya dengan perilaku yang salah; yang satu menyesatkan pengikutnya dengan paham keagamaan yang salah.
Yang lebih berbahaya dari itu adalah tokoh idola sekuler di panggung politik dan tokoh idola hedonis di panggung hiburan. Rata-rata tokoh politik berhaluan sekuler. Rata-rata pelaku dunia hiburan berperilaku hedonis. Khususnya, di dunia entertain dan di dunia olahraga.
Mereka memiliki pengaruh yang sangat kuat, cepat dan luas dalam memasarkan perilaku, budaya, dan pandangan hidup yang sangat jauh dari tuntunan agama. Lihatlah, betapa banyak anak-anak muda Islam yang lebih mirip dengan orang Barat dari pada dengan orang Islam: tampilan, atribut, perilaku, aktivitas, komunitas, budaya, hingga pandangan hidupnya. Salah satu faktor terbesarnya adalah pengaruh dari dunia hiburan yang banyak mencontohkan budaya pergaulan bebas dan cara hidup hedonis.
Lihatlah betapa banyak umat Islam yang berpandangan Liberal dan bersikap alergi terhadap gerakan-gerakan keislaman, khususnya di dalam kancah politik. Semua itu tidak bisa dipisahkan dari pengaruh figur-figur politik yang cenderung alergi terhadap syiar agama dalam politik. Gerakan Islam kalah opini di dunia birokrasi dan di kancah politik, sehingga dikesankan sebagai gerakan ekstrem kanan yang intoleran serta bertentangan dengan ideologi negara.