Al-Quran, sebagai kitab suci, tuntunan, petunjuk, dan pedoman hidup umat Islam, senantiasa memerintahkan kita bersatu dan selalu memperingatkan kita akan bahaya cerai-berai. Karena dengan bercerai-berai, umat ini akan kehilangan kekuatannya, dan dengan begitu kekuatan umat menjadi lemah, hingga bisa dikalahkan dengan mudah oleh musuh-musuhnya. Warning seperti itu salah satunya ditegaskan dalam ayat berikut (artinya).
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: [8]: 46).
Nah, memperhatikan fenomena-fenomena dan sekian banyak peristiwa yang dihadapi umat akhir-akhir ini, tentunya peristiwa-peristiwa itu dengan segera menyadarkan kita akan pentingnya warning dari ayat al-Quran di atas. Bahwa betapa hari ini umat Islam sangat membutuhkan persatuan, mengingat betapa teramat jelas musuh-musuh Islam yang menginginkan umat ini terpecah-belah, saling berdebat, berbantah-bantahan, bermusuhan satu sama lain, yang pada akhirnya kemenangan berpihak pada musuhmusuh Islam itu.
Untuk itu, modal utama bagi setiap individu untuk menjaga persatuan atas nama umat Islam dan menghindari perpecahan, adalah membekali diri dengan ilmu dan keinsyafan. Ilmu dibutuhkan agar kita mengetahui mana hakikat kebenaran dan kebatilan, serta bisa memilah dan memilih jalan terbaik di antara rumitnya silang pendapat dalam perbedaan. Sedang keinsyafan dibutuhkan agar kita bisa bijak menyikapi keadaan, tidak fanatik buta, bisa memahami pendapat saudara sesama Muslim, dan tetap mengedepankan kepentingan agama dibanding ego pribadi dan golongan.
Satu contoh yang barangkali layak dan relevan untuk diketengahkan di sini, adalah berbagai manuver politik yang dilakukan oleh tokoh-tokoh partai politik dan atau siapa saja dari mereka yang sedang berkepentingan dengan kekuasaan, di mana salah satu yang menjadi sasaran mereka adalah para ulama, para pemangku pesantren, pemuka organisasi kemasyarakatan, dan tokoh-tokoh panutan umat. Secara politis dan dalam iklim demokrasi, tentu manuver-manuver seperti itu wajar-wajar saja, namun akibatnya akan jadi buruk jika kita sebagai umat Islam menghadapi fenomena itu tanpa ilmu dan keinsyafan.
Tanpa ilmu dan keinsyafan, boleh jadi segolongan umat akan memusuhi kompok umat Islam dari golongan yang lain, hanya karena seorang calon penguasa merapat ke pihaknya, ke organisasinya, ke pesantrennya, atau ke panutannya. Padahal kita semua tahu dan menyadari, bahwa hubungan antar-sesama umat Islam selama ini baik-baik saja, tapi kenapa tiba-tiba mesti rusak hanya karena merapatnya orang asing, yang mungkin sama sekali tidak kita kenal sebelumnya, ke pihak dan golongan kita? Sedang kita juga pasti menyadari bahwa orang asing itu menghampiri kita hanya untuk tujuan pragmatis yang sementara, untuk kepentingan diri dan golongannya saja.
Baca juga: Hukum Alam Ketidakadilan
Bagaimanapun, perpecahan yang terjadi di dalam umat kemudian membikin mereka lemah, hingga mereka tak bisa bersatu untuk perjuangan agama yang jauh lebih urgen, semisal untuk mengalahkan calon pemimpin dari pihak non-Muslim, menentang para pengusung pemikiran menyimpang yang berpotensi merusak negeri seperti LBGT, feminisme, dan Sepilis, atau untuk menghalau propaganda yang merugikan umat dan agama Islam, seperti isu terorisme, kriminalisasi ulama, atau teror pada ulama dan para pengasuh pesantren yang saat ini sedang ngetrend. Semua itu tak bisa dihadapi dan diselesaikan kecuali dengan persatuan dan tekad bulat seluruh umat Islam.
5