Saat ini banyak kita dapati orang Islam yang pernyataan-pernyataan dan bahkan tindakan-tindakan mereka justru terkesan melecehkan terhadap agama Islam sendiri. Hal ini bisa dengan mudah kita dapati di media sosial, di mana mereka dengan enteng dan seakan tanpa beban sering memposting tulisantulisan yang nadanya melecehkan Islam. Misalnya ada orang liberal yang menulis seperti ini: “Adakah Islam yang murni? Tidak ada. Karena dari sononya Islam adalah ajaran ‘oplosan’.” Pernyataan orang Islam yang seperti itu sungguh ironis dan sangat menyayat hati. Tapi sebenarnya bagaimana kita menanggapinya?
Jawaban
Jika pernyataan seperti itu muncul dari non-Muslim yang memusuhi terhadap agama dan umat Islam, maka terntu kita bisa memakluminya. Namun ketika yang mengeluarkan pernyataan itu adalah orang Islam sendiri, maka bisa dipastikan ia adalah orang Islam yang pikirannya terpengaruh oleh ideide para musuh Islam, dan karenanya bisa dipastikan itu adalah pernyataan yang sesat dan menyesatkan. Sebab jelas pernyataan itu jauh dari adab Islami, dan jelas jauh dari kebenaran.
Namun demikian, kita sebagai umat Islam Ahlusunah wal-Jamaah tidak boleh gegabah dalam menyikapi pernyataan seperti itu, misalnya langsung mengkafirkan orang itu dengan tanpa mengetahui hakikat dan maksud dari kata-katanya yang menyimpang tadi, karena salah satu ajaran pokok Ahlusunah wal-Jamaah ialah tidak mengkafirkan pada pelaku dosa, termasuk orang yang pikirannya sesat (yang kesesatannya tidak sampai menyebabkan kekafiran).
Kemudian jika kita perhatikan, pernyataan bahwa ajaran Islam itu tidak ada yang murni, namun merupakan ajaran oplosan (campuran), sepertinya pengucapnya terpengaruh oleh pemikiran orientalis yang mengatakan bahwa sebagian ajaran Islam itu mengadopsi dari agama-agama terdahulu, terutama agama Yahudi dan Kristen yang memang sudah ada sebelum Islam. Untuk mendukung ide orientalis ini, biasanya para pemikir Muslim liberal mengajukan data bahwa dalam ushul fikih ada konsep syar’u manqablana, yakni memang ada syariat umat terdahulu yang masih diberlakukan untuk umat ini, seperti sunat, puasa, sa’i, dan lain-lain.
Maka untuk menjawab syubhat itu, di sini harus ditegaskan, bahwa rujukan setiap ajaran dalam agama Islam itu adalah dari al-Quran dan hadis, bukan dari selain dua sumber tersebut, apalagi Taurat dan Injil yang oleh al-Quran jelas dikritik karena sudah diubah-ubah (didistorsi) oleh ahli kitab Bani Israel. Bagaimana mungkin Islam akan merujuk pada Taurat dan Injil, sedang alQuran sendiri telah menegaskan kedua kitab itu sudah didistorsi?
Baca juga: Agama VS Kemanusiaan
Karena itu, jika di dalam Islam ada beberapa ajaran yang sebelumnya telah menjadi syariat umat-umat terdahulu (syar’u man qablana), bukan berarti itu mengambil dari Taurat dan Injil, tapi karena itu adalah perintah Allah dalam al-Quran. Sebab memang umat Islam wajib beriman pada 25 Nabi yang semuanya adalah utusan Allah. Secara akidah, tidak terjadi perbedaan pada akidah 25 nabi itu, mulai akidah nabi pertama hingga akidah nabi yang terakhir. Sedang secara syariat, masingmasing ajaran syariat para nabi ada perbedaan karena keadaan dan zaman mereka berbeda, meski ada yang masih tetap dipertahankan dengan beberapa penyempurnaan. Nah, syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW memang ada yang sudah diberlakukan pada umat terdahulu, namun itu oleh Allah tetap diberlakukan untuk umat ini dengan konsep dan bentuk yang paling sempurna.