Kita menyaksikan fenomena keumatan dan kebangsaan kita akhir-akhir ini tampaknya banyak yang ganjil; sesuatu yang tidak lazim terjadi di Indonesia, yang memiliki sejarah panjang dengan kemajemukan dan keberagaman, namun senantiasa mampu dipersatukan oleh para pendiri dan tokoh-tokoh bangsa, sehingga keberagaman dan perbedaan itu menjadi kekuatan luar biasa, yang dengan itu Indonesia bisa kokoh, tegak berdiri, di bawah semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Fenomena pertama yang layak kita perhatikan adalah munculnya sebagian kelompok dan golongan di negeri ini yang tampaknya sudah kehilangan kepekaan dalam berbangsa dan bernegara. Mereka, misalnya, sama sekali tidak risih dengan isu-isu yang sebetulnya sangat sensitif bagi siapapun yang mengaku memeluk ideologi Pancasila. Sama sekali tak ada rasa khawatir ketika mereka menyaksikan PKI mulai menggeliat, di mana simbol-simbol mereka sudah dengan mudah ditemukan di mana-mana, banyak perhimpunan yang terindikasi mengusung ideologi PKI, dan bahkan ada partai politik yang sudah secara terang-terangan bekerjasama dengan partai komunis di Cina.
Anehnya, kelompok yang masih merupakan anak bangsa ini justru sangat risih, atau bahkan anti, terhadap simbol-simbol Islam, seperti bendera yang bertuliskan kalimat syahadat, wanita yang mengenakan jilbab atau bahkan cadar, dan semacamnya, sehingga mereka merasa perlu membikin isu yang mengidentikkan simbol-simbol agama yang mulia itu sebagai radikal dan mengandung unsur terorisme; lalu terbentuklah islamophobia. Mereka seperti sangat ketakutan ketika melihat fakta bahwa pengajian yang dihadiri oleh ulama tertentu sangat ramai jamaahnya, sehingga mereka merasa perlu mengawasi atau bahkan mempersekusinya.
Fenomena kedua, sebagian ormas dalam umat Islam kerap melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji dengan menolak kehadiran seorang ustadz atau ulama untuk mengisi pengajian ke ‘wilayah mereka’. Alasan mereka adalah untuk menjaga keutuhan NKRI. Akibatnya, karena hal semacam ini sudah dianggap lumrah terjadi dalam kelompok-kelompok umat Islam sendiri, akhirnya umat non-Muslim pun tak segan menolak kehadiran ulama ke wilayah mereka. Contoh paling mutakhir seperti penolakan terhadap Ust. Abdul Somad oleh salah satu ormas di Bali. Konon, stigma yang dilekatkan kepada sang Ustadz itu pula yang membikin beliau juga ditolak oleh imigrasi HongWWkong beberapa waktu yang lalu.
Baca juga: Rohingya dan Sebagian Kita
Sungguh, ini merupakan fenomena ganjil untuk terjadi di bumi Nusantara. Karena sejak masa lalu, perbedaan dalam umat memang senantiasa melahirkan ketegangan-ketegangan, namun itu tidak sampai diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap ulama dari kelompok lain. Bahkan ketegangan-ketegangan itu hanya terjadi di lapisan akar rumput, akibat keterbatasan jangakauan mereka dalam memahai persoalan khilafiah. Adapun pada level ulama, ketegangan seperti itu tidak pernah muncul, terkecuali mungkin di forum ilmiah. Karena mereka sudah sama-sama memahami akar persoalannya.
Maka, jelaslah bahwa masalah yang sesungguhnya bukanlah persoalan menjaga NKRI atau keutuhan bangsa, akan tetapi yang pertama adalah hadirnya sekelompok orang yang berkuasa, namun tidak bisa mengendalikan nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Sedang yang kedua adalah hadirnya sekelompok pembenci, lalu menyerang pihak yang dibencinya dengan mengatas-namakan NKRI; suatu usaha untuk mencari pembenaran bagi tindakan mereka, sekaligus untuk menciptakan musuh bersama.