Bicara identik. Tidak salah bila ‘hadis’ Hubbul-Wathan minal-Iman identik dengan Banser. Tentu tidak lepas dengan mars Yalal-Wathan yang selalu menggema. Patriotik. Semangat gegap gempita.
Meski pada akhirnya, tetap ada pihak yang mempertanyakan ‘minal-Iman’ Banser tadi. Pertanyaannya pun tidak ujuk-ujuk. Muncul setelah sebagian mereka menjadi sekuriti gereja. Setelah sebagian mereka bukan lagi dari Muslim. Setelah sebagian mereka ‘terkesan’ memprovokasi perpecahan. Apakah masih minal-Iman? Lalu iman yang mana?
Ternyata. Dari redaksi (matan) ‘hadis’- nya saja, para ulama sudah tarik ulur. Terlebih substansinya.
Mayoritas ulama mengatakan Hubbul-Wathan minal-Iman bukanlah hadis. Melainkan pekataan ulama. Namun demikian, perkataan tersebut dinilai benar, karena sesuai dengan hadis Rasulullah.
عَن أنس أَن النَّبِي، صَلَّى الله علَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَة أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِن كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
Dari shahabat Anas, ketika Nabi datang dari suatu perjalanan, lalu melihat tembok Madinah, beliau mempercepat untanya, jika beliau menaiki hewan kendaraan, beliau menghelanya karena kecintaan beliau kepada kota Madinah (Umdatul-Qari, X/135)
Mengomentari hadis di atas, Imam al-Asqalani mengatakan: “Dalam hadis ini terdapat dalil keutamaan kota Madinah, dalil mencintai tanah air dan anjuran merindukannya.” (Fathul-Bari Syarh Shahih Bukhari, III/621)
Jadi, secara redaksi, mayoritas ulama mengatakan bukan hadis, akan tetapi substansinya benar. Syekh Abdurrahman as-Sakhawi (831-902 H.) dalam kitab beliau, al-Maqasid Al-Hasanah fi Bayani Katsirin Minal-Ahadits Al-Masyhurah fil-Alsinah, mengatakan: “Hadis Hubbul-Wathan minal-Iman, belum saya temukan sumbernya, tetapi makna pernyataan tersebut benar.”
Baca Juga: Beginilah Hubbul Wathan
Dalam beberapa dekade, perdebatan ‘hadis’ ini masih seputar redaksi, belum pada substansi. Hingga akhirnya, beberapa tokoh sekuler menggunakan hadis ini untuk memecah belah persatuan umat Islam. Maka mulai banyak ulama yang memperdebatkan substansinya.
Syekh Jamaluddin al-Qasimi (w. 1332 H.) dalam kitab Qawa’idut-Tahdits Min Fununil-Musthalahil-Hadits, mengatakan, bahwa Hubbul-Wathan minal-Iman merupakan salah satu hadis palsu terkenal, yang isinya menyesatkan dan berbahaya bagi persatuan Islam yang disatukan oleh ikatan keimanan.
‘Hadis’ ini akan mendorong umat Islam di Suriah merasa lebih mulia dibanding Mesir, dan seterusnya. Padahal, seharusnya umat Islam bersatu dalam ikatan keislaman, dan ikatan ini lebih didahulukan dibanding ikatan kesukuan. (Qawa’idut-Tahdits Min Fununil-Musthalahil-Hadits, 155)
Syekh Ali Al-Qari menyatakan bahwa arti al-wathan dalam ‘hadis’ Hubbul-Wathan minal-Iman mempunyai beberapa kemungkinan pengertian. Beliau tidak menerima mentah-mentah pernyataan ulama yang mengatakan makna ‘hadis’ tersebut hanya tanah air.
Beliau memberi catatan bahwa tidak ada korelasi antara cinta tanah air dan iman. Karena cinta tanah air juga dimiliki oleh orang-orang munafik seperti digambarkan dalam QS. an-Nisa: 66 (artinya):
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka…”
Baca Juga: Merdeka Tanpa Bendera
Dan seandainya ‘hadis’ ini harus dipakai, maka banyak ulama yang merepresentasikan wathan bukan sebagai tanah air, melainkan akhirat.
Syekh Allan ash-Shiddiqi mengatakan: “Tanah air hakiki adalah akhirat yang tiada punya akhir, karena kehendak dan kuasa Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis, “Wahai surga, kamu akan abadi tanpa kematian. Wahai neraka, kamu akan abadi tanpa kematian.” Sebagian ulama mengatakan, inilah yang dimaksud dengan ‘hadis’ Hubbul-Wathan minal-Iman (Dalilul Falihin Syarh Riyadhush-Shalihin, I/37).
Begitulah lika-liku hubbul Wathan minal-Iman. Di satu kondisi sangat bermanfaat guna membakar jiwa nasionalisme. Tapi di kondisi yang berbeda harus direpresentasikan berbeda pula, ketika logika sekuler mulai menunjukkan kenakalannya. Wallahu A’lam.
M. Muhsin Bahri/sidogiri