Awal Ramadan lalu, terjadi insiden penutupan warung seorang warga di Serang, Banten, oleh Satpol PP. Penutupan ini berdasarkan Perda Nomor 2 tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Di dalamnya terdapat kegiatan yang dilarang pada bulan Ramadan, termasuk melayani dan menyediakan tempat bagi orang yang makan dan minum di siang hari. Pro kontra semakin marak atas peristiwa tersebut.
Tetapi, ada yang memanfaatkan masalah ini untuk mendiskreditkan Islam dan Ibadah puasa. Dorongannya adalah politis, bukan dorongan nurani A beragama. Apa sebab? Karena yang diangkat cuma satu saja. Padahal, masalah penggusuran itu sangat sering terjadi, tapi tidak ada dorongan membelanya.
“Orang yang puasa hendaknya menghormati orang tidak berpuasa,” demikian kata-kata seorang untuk membela orang tidak puasa. Yang aneh, dia juga percaya bahwa orang yang puasa lebih banyak (mayoritas) daripada yang tidak puasa (minoritas). Lalu bagaimana logikanya, mayoritas harus mengalah kepada yang minoritas?
Bukan jumlah/kuantitas itu masalahnya. Tapi bermaksiat kok dibela? Jelas logikanya bukan logika agama. Jika logika tersebut diteruskan, bagaimana kalau orang yang nikah harus menghormati orang yang berzina. Jadi biarkan saja anak-anak muda kita berzina. Hormatilah! Akan menjadi bangsa apa kita?
Sejatinya hal-hal yang mengganggu negara wajib dicegah. Inilah kewajiban negara, mendidik warganya menjadi orang yang taat agama, bukan mendidik melanggar agama. Dengan logika Pancasila saja, kita boleh simpulkan bahwa orang berpuasa berhak dilindungi oleh negara. Pancasila itu mendidik warga Indonesia untuk menjadi warga yang taat beragama, bukan warga yang menentang aturan agama.
Rupanya kaum liberal betul-betul memanfaatkan kisruh tersebut untuk menjalankan misinya menjauhkan kita dari Islam dengan modus toleransi. Mereka membuat poster-poster kecil yang disebar di jejaring sosial. Poster itu berisi sikap nyinyir atas perlakuan pemerintah kepada pedagang kecil yang hendak mencari nafkah. Sikap nyinyir juga ditujukan kepada syariat Islam.
Memahami Tolesansi yang Sesungguhnya
Suatu hari jenazah orang Yahudi melintas di depan Nabi Muhammad dan para Sahabat. Nabi Muhammad pun berhenti dan berdiri. Para Sahabat terkejut, kemudian bertanya: “Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah? Sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi”. Nabi pun menjawab: “Bukankah dia juga manusia?” (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah tegas mengatakan, siapa saja orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengakui kenabiannya, adalah kafir. Rasulullah bersabda: “Tidak seorangpun di kalangan umat ini yang mendengar tentangku dari kalangan Yahudi maupun Nasrani kemudian ia meninggal dan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa kecuali ia tergolong penghuni neraka” (HR. Muslim).
Inilah toleransi yang sesungguhnya, menghormati tanpa mengakui keimanan non-Muslim. Iman tidak perlu digerus untuk menjadi toleran. Iman Nabi dan Sahabat sempurna, tapi juga mereka bisa toleran.
Ketika Rasulullah tiba-tiba berdiri, tentu saja para Sahabat kaget. Namun, para Sahabat akhirnya paham ternyata Rasulullah tidak mengikuti ritual pemakaman orang Yahudi tersebut. Beliau cuma berdiri, tidak sampai ikut menghantarkan ke liang lahat dengan berbagai ritualnya.
Nah, bisa disimpulkan toleransi Islam antarumat beragama itu hanya menyentuh ranah sosial. Coba perhatikan, beliau berkata alasannya menghormati; “Bukankah dia manusia”. Sehingga, toleransi yang melampaui wilayah sosial ini tidak tepat. Karena itu, Nabi tidak mengatakan; “Bukankah dia Yahudi”. Sebab toleransi bukan dengan membenarkan ke-Yahudiannya.
Membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi pluralisme agama. Sedangkan term pluralisme tidak ada dalam kamus Islam.
Setiap Muslim, harus komitmen dengan keyakinannya. Para ulama mendefinisikan iman dengan tiga pilar; pembenaran dalam hati (al-tashdiq bi al-qalb), pernyataan dengan lidah (aliqrar bi al-lisan) dan perbuatan anggota tubuh (al-‘amal bi al-arkan).
Orang yang telah percaya (tashdiq) dianggap benar kepercayaannya jika kepercayaan itu diikuti dengan qabul (penerimaan), muwalah (kesetiaan), dan idh’an (ketundukan). Karena itu, seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak setia dengan ajaran Nabi bahwa Yahudi dan Nasrani kafir, maka pengakuannya otomatis batal. Berarti ia tidak tunduk dan setia dengan Nabi Muhammad.
Terkait dengan ini, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pernah berfatwa yang tertera di kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, “Barangsiapa mengakui ketuhanan Allah akan tetapi ia juga meyakini Dia memiliki anak dan sekutu, maka ia keluar dari agama, berdasarkan kesepakatan ulama”. Artinya, pengakuannya batal karena tidak setia kepada Allah.
Selain ‘toleransi’ yang melampaui batas, toleransi juga kadang dimaknai dengan kebebasan ala liberal. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’ dengan menyodorkan al-Quran surat al-Baqarah: 256 yang berbunyi: “Lâ Ikrâha fi al-Dîn”. Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis nonIslam. Bahwa, dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan mutlak untuk beragama, atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam, atau beragama non-Islam.
Sedangkan untuk memahami ayat, tidak semestinya kita memakai metode “mutilasi ayat” (memotong-motong ayat tanpa dikaitkan dengan ayat berikutnya). Metode ini sama saja akan ‘membunuh’ kesucian ayat itu. Ayat di atas harus dibaca utuh. Bunyi ayat lengkapnya adalah:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam. Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orangorang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta.
Jadi, ayat di atas bukanlah justifikasi kebebasan tanpa batas. Sama sekali ayat itu bukan menjelaskan konsep kebebasan. Justru inti ayat di atas ada di kalimat akhir, yaitu, perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang tertutup kesesatan (kafir).
Ketika Islam pun menegaskan kebenaran risalah Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad ia tidak bermakna bahwa umat Islam harus memusuhi dan membunuh umat agama lain. Sejarah mencatat, bahwa Islam agama yang cukup toleran dan hormat kepada agama lain.
Sedangkan Islam, menguatkan konsep toleransi tersebut dengan mengikatnya dengan konsep Tauhid. Dengan kata lain, ketika umat Islam bertoleransi, hendaknya membuat dia lebih meyakini bahwa hanya Allah Tuhan Yang Maha Benar.
Faiz Jawami’ Amzad/sidogiri