Ini adalah kisah runyamnya sistem pendidikan di negeri +62. Setidaknya Anda ikut berduka.
Namanya Sinta, bukan nama sebenarnya. Dia seorang perempuan cerdas, tangkas dan lugas ketika berbicara. Otaknya luas di atas rata-rata. Nilainya selalu tinggi. Dan yang pasti, Sinta selalu juara di sekolahnya.
Otak kirinya brilian. Ilmu menghitungnya canggih. Super canggih malah. Untuk 5 digit angka, Sinta tidak perlu bantuan kertas, kalkulator, atau alat hitung lainnya. Jutaan sel di otaknya akan berlarian lincah menemukan jawaban. Nyaris semua jawabannya tidak meleset. Benar.
Sehabis SMA, Sinta melanjutkan kuliah. Dia memilih universitas ternama. Yang diidam-idamkan oleh semua siswa waktu itu. Tidak terkecuali adalah dirinya. Dan mutlak, Sinta lulus tes seleksi.
Tapi tidak dinyana, kini Sinta hanya menjadi ibu rumah tangga sebagaimana perempuan-perempuan lain pada umumnya. Tidak banyak manfaat diperoleh dari ilmu yang selama ini digelutinya.
“Kok tidak jadi karyawan bank, atau jadi bagian akuntansi?,” selidik Salman, salah satu sahabat semasa di SMA.
“Mau gimana lagi, lamaranku gak ada yang diterima. Wajahku kurang mendukung kali. Kalah sama mereka yang cantik-cantik dan menarik,” Sinta menjawab asal sambil tertawa.
Tapi sepertinya jawaban Sinta tidak asalan. Memang realitanya begitu. Yang cerdik masih kalah dengan yang cantik. Masalah ilmu keuangan? akuntan? Itu bisa dipelajari singkat. Dua-tiga kali diklat saja sudah mahir. Karena semuanya sudah tersedia dalam jaringan sistem.
Baca Juga: Cerita Negeri Kita
Ah, Sinta… Korban pendidikan negeri +62.
Berbeda dengan Andi. Sejak duduk di sekolah usia dini dia telah diajari bahasa Inggris. Diawali dengan kaidah-kaidah paling dasar.
Pelajaran yang sama juga Andi terima di kelas-kelas jenjang berikutnya. Bahkan sampai di kelas XII. Mencapai kaidah yang paling rumit. Tidak semua orang mengerti.
Hingga tiba saatnya Andi ingin bekerja. Sebagai persyaratan, dia diminta interview menggunakan bahasa Inggris. Aneh bin ajaib, belasan tahun dia dicekoki pelajaran Bahasa Inggris, dia baru sadar kalau sampai sekarang dia belum bisa berkomunikasi dengan bahasa itu. Ada apa?
Ah, Andi… Korban pendidikan negeri +62.
Cerita Budi lain lagi. Belasan tahun pelajaran Bahasa Indonesia disajikan padanya. Bahasa sehari-hari. Bahasa ibu Pertiwi. Tentang puisi, artikel, bahasa yang baik dan benar, surat-menyurat, majaz, dan seabrek penjelasan lainnya.
Hingga sekarang, jangankan untuk menulis buku, membuat sebuah puisi pendek tentang ‘ibu’ pun sulitnya minta ampun.
Mungkin yang paling Budi ingat hanyalah ceritanya bersama Ani. Sejawatnya sejak zaman yang sangat dahulu.
Baca Juga: Wathan
“Ini Ani. Ini Budi. Ani membaca buku. Budi membaca nasib.”
Menyedihkan. Tapi tak apalah, yang jelas semuanya tetap tergelak lucu. Baik Sinta, Andi ataupun Budi.
Tertawa melihat tingkah konyol pendidikan negeri +62 ini. Di kala semua siswa, guru, bahkan pimpinan sekolah, berdoa bersama memohon kelulusan. Sowan wali ini, sowan wali itu. Semua wirid dirapal, istighatsah tanpa henti. Tapi ujian akhirnya belum digelar, bener ‘Lulus Murni 100%’ sudah dicetak.
Bagaimana mungkin? Ujian belum digelar kok sudah ketemu akan lulus murni 100%? Maaf, ini negeri +62, Bung! Semuanya bisa menjadi mungkin.
Menggelikan bukan? Hahaha… Pun tak kalah bikin geli adalah kerjaan para mahasiswa. Membuat semuanya terpingkal-pingkal. Semester akhir, skripsinya beli. Atau setidaknya ngopy, asal tidak terdeteksi. Tapi mereka bisa lulus predikat tinggi.
Maka lulusannya, semakin lucu tidak tertahankan. Sarjana Ekonomi mengajar Bahasa Inggris. Sarjana Pendidikan menjadi guru agama. Sedangkan yang Sarjana agama? Seakan tanpa dosa diminta jadi guru olahraga.
Semua itu adalah kisah Sinta, Andi dan Budi. Bagaimana dengan kisah Anda?
M. Muhsin Bahri/sidogiri