Dalam al-Quran, terdapat beberapa ayat yang memiliki maksud qitâl (perang). Sebagian orientalis ada yang menggunakan ayat-ayat tersebut untuk menjustifikasi agama Islam sebagai “agama perang”. Keadaan di Timur Tengah yang saat ini menjadi pusat konflik dunia seakan semakin memperkuat opini tersebut. Di sisi lain, sebagian orang ekstrimis menggunakan ayat tersebut untuk mendukung opini mereka. Dibuatlah propaganda-propaganda jihad dengan berlandaskan ayat-ayat qitâl tersebut.
Padahal sebagaimana dalam kitab al-Fiqhul-Manhaji juz.8 hal.119, jihad qitâlî (perang) merupakan syariat yang dulunya dilakukan secara bertahap (tadriji) dan menyesuaikan dengan keadaan umat Islam saat itu. Tidak selalu dengan perang dan tidak selalu lunak. Tergantung pada kuat-tidaknya umat Islam. Jika kita urut, tahapan turunnya ayat qitâl tersebut adalah sebagaimana berikut:
Periode Makkah
Sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dalam al-Fiqhul-Manhaji disebutkan bahwa selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah selalu menyebarkan dakwah secara santun dan tidak pernah menghadapi musuh-musuh Islam dengan cara perang.
Jika kita teliti dalam tafsir yang ditulis oleh Syekh Ali ash-Shabuni (lihat: Tafsir Rawai’ul-Bayan I/228), beliau menyebutkan bahwa ayat-ayat yang turun saat itu hanya berkisaran pada:
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Mâ’idah : 13)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَصِفُونَ
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan” (QS. al-Mukminûn : 96)
Serta ayat-ayat yang senada dengan ayat di atas. Artinya, melihat keadaan umat Islam yang saat itu masih sedikit dan masih lemah, cara yang paling tepat untuk menyampaikan dakwah saat itu adalah dengan cara memaafkan dan berbuat baik pada mereka. Syekh al-Buthi menyebut pengertian jihad pada periode itu lebih ditujukan pada membela dengan memberi nasihat pada orang-orang kafir, memaparkan hujah, dan bersabar ketika mereka menolak. Karena meninjau pada keadaan umat Islam yang masih lemah dan belum memiliki daulah.
Rasulullah dan para sahabat bertahan di tengah-tengah keadaan yang sangat menyiksa saat itu. Bahkan, di saat-saat itulah Rasulullah mengalami masa-masa sulit. Ketika ke Thaif, beliau dilempari dengan batu, para shahabat yang masuk Islam banyak ditawan dan masih banyak peristiwa-peristiwa lain yang dihadapi oleh Rasulullah dan para shahabat.
Pada akhirnya, Rasulullah hijrah ke Madinah dan menemukan oase yang sangat membantu perjalanan dakwah beliau. Akan tetapi, ayat qitâl yang turun saat itu tidak lantas langsung memerintahkan umat Islam berperang dengan tanpa adanya batasan-batasan. Al-Quran masih membuat proses-proses yang setiap tahapnya oleh umat Islam diaplikasikan dengan begitu apik.
Periode Madinah
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, dimulailah tahapan-tahapan jihad qitâlî yang ada. Ayat tentang qitâl mulai turun ke Rasulullah. Terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat qitâl yang pertama kali turun dalam pensyariatan jihad qitâlî. Hanya saja, dalam riwayat yang disebutkan oleh banyak shahabat seperti Shahabat Abu Bakar, Ibnu Abbas, dan Said bin Jubair dikatakan bahwa ayat qitâl pertama yang turun adalah:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. al-Hajj : 39).
Imam ath-Thabari menyebutkan bahwa tak lama setelah Rasulullah keluar dari kota Makkah untuk hijrah, turunlah ayat ini. Lantas Abu Bakar t berkata, “Dari turunnya ayat itu, aku tahu bahwa sebentar lagi akan terjadi perang.” Ternyata apa yang dikatakan oleh Abu Bakar t benar, selama di Madinah Rasulullah dihadapkan dengan beberapa peperangan. Setelah ayat ini turun, peperangan masih sangat dibatasi. Yaitu umat Islam bisa berperang ketika mereka diserang. Meskipun pada dasarnya tujuan umat Islam berperang saat itu sudah berpindah status menjadi himâyatud-daulah (menjaga stabilitas negara). Sebab saat itu umat Islam sudah memiliki negara di bawah pimpinan Rasulullah.
Semakin berlalu, negara yang dibangun oleh Rasulullah semakin kuat. Tak lama setelah itu, turunlah ayat qitâl yang menegaskan bahwa umat Islam boleh saja menyerang terlebih dahulu asalkan tidak bertepatan dengan bulan-bulan haram. Hal ini ditegaskan dalam QS. At-Taubah ayat 5 setelah terjadinya shulhul-hudaibiyah.
Nah, setelah ayat ini turun, keadaan umat Islam semakin kuat baik dalam segi militer, ekonomi, dan lain-lain. Maka turunlah ayat yang sangat tegas menjelaskan tentang jihâd qitâli yang dapat menggentarkan musuh. Ayat ini sekaligus menghapus ketidakbolehan berperang di bulan-bulan haram (mulia) serta batasan-batasan yang telah disebutkan sebelumnya. Ayat tersebut berbunyi:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah)” (QS. al-Baqarah : 191)
Dari sini terjadilah perselisihan di antara ulama: ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut telah me-nasakh ayat-ayat sebelumnya secara keseluruhan, yang berarti seterusnya umat Islam wajib memerangi orang kafir dengan cara menyerangnya terlebih dahulu, dan ada ulama yang mengatakan ayat tersebut tidak mansûkh (di-nasakh), bahkan masih muhkam. Artinya, semua ayat yang telah disebutkan di atas tetap berlaku meninjau pada kekuatan umat Islam yang ada.
Pendapat ini diamini oleh Imam Zarkasyi dalam kitab al-Burhân fî ‘Ulûmil-Qurân dan Imam as-Suyuthi dalam al-Itqân fî ‘Ulûmil-Qurân. Imam az-Zarkasyi menyebutkan:
“Dengan penjelasan ini, jelaslah kelemahan apa yang banyak menjadi keteledoran para Mufassirin ketika membahas ayat-ayat memerintahkan untuk takhfîf (lemah lembut pada orang kafir) bahwasanya ayat tersebut telah di-nasakh dengan ayat Saif. Padahal tidak demikian, bahkan itu masih menjadi sumber hukum, dengan artian setiap perintah yang wârid wajib untuk dikerjakan di masa kapan pun karena ‘illat yang mewajibkan hukum tersebut. Kemudian hukum tersebut pindah dengan adanya perpindahan ‘illat pada hukum yang lain, bukannya di-nasakh. Karena yang dimaksud nasakh adalah menghilangkan hukum, sehingga tidak dapat dilakukan selama-lamanya.”
Abdul Muid Shonhaji\Sidogiri